Hegemoni Parpol Korup

Adakah negara yang mengklaim diri sebagai negara demokratis tanpa parpol di dalamnya? Atau negara tanpa parpol. Saya kira jawabannya hampir tidak ada. Negara manapun di dunia ini, jika mengklaim diri sebagai negara demokratis, “wajib” memiliki parpol sebagai “pilar demokrasi”. Namun bagaimana jika parpol yang ditasbihkan sebagai pilar demokrasi itu ternyata gagal menopang demokrasi? Bahkan ia menjadi biang kerok hancurnya demokrasi.
Agak mustahil membayangkan negara eksis tanpa ditopang parpol. Karena parpol memiliki posisi sentral dalam sebuah negara. Peran dan fungsi parpol sangat signifikan. Tidak hanya seputar pendidikan politik, rekrutmen politik dan sarana pengatur konflik. Peran parpol lebih penting sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state) dan warga negaranya (the citizen). Ketika rakyat tidak mampu menembus tembok birokrasi negara untuk menyampaikan tuntutannya, maka parpol menjadi media penghubung antara rakyat dengan negara. Inilah fungsi parpol yang utama. Bahkan, menurut Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”, partai politiklah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya.

Hegemoni Parpol Korup
Cerita tentang parpol dan demokrasi adalah cerita yang tidak ada habisnya. Begitu pula dengan cerita tentang parpol dan korupsi. Korupsi parpol adalah genealogi kekuasaan. Dan kekuasaan selamanya akan berkelindan dengan parpol. Karena memang sudah “kodrat” parpol sebagai organisasi kekuasaan. Sumberdaya parpol terdistribusi di sebagian besar badan atau instansi strategis. Mulai dari lembaga negara, departemen hingga BUMN.
Di lembaga negara, sumberdaya parpol tersebar di berbagai lembaga; mulai dari Presiden, DPR, DPRD hingga Menteri. Undang-undang mensyaratkan presiden dari unsur parpol. Demikian pula dengan DPR dan DPRD Kab/Kota. Semuanya dari parpol, terkecuali DPD. Beberapa Menterti Negara juga berasal dari unsur parpol. Demikian pula di sejumlah departemen dan BUMN strategis. Pejabatnya diisi oleh kalangan parpol tertentu. Mereka bekerja dengan terikat “kontrak” dengan parpol. Semuanya untuk satu tujuan. Menambah pundi-pundi pemasukan parpol.
Kekuasaaan yang besar ini jika tidak dikelola secara professional berpotensi melahirkan korupsi. Sesuai dictum Lord Acton bahwa “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” . Bahwa kekuasaan yang besar cenderung korup. Di Indonesia, cerita tentang korupsi parpol bukanlah isu yang baru muncul. Apalagi pasca tertangkapnya Nazaruddin, mantan bendahara umum partai Demokrat yang membeberkan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan partainya. Termasuk keterlibatan Anas Urbaningrum selaku ketua umum Demokrat dan Kemenpora Alfian Malarangeng.
Sebelumnya, telah banyak anggota dewan yang tersangkut korupsi dan menjadi terpidana. Sebut saja Al Amin Nasution, Hamka Yandhu, termasuk “sang whistleblower” Agus Condro, hingga beberapa nama yang terseret kasus suap pemilihan Gubernur BI. Belakangan, kasus korupsi wisma atlet Palembang telah menyeret sejumlah nama elit parpol dan menggemparkan jagad politik tanah air. Meski keluar bantahan dari mereka, namun rakyat sudah bisa menerka dan menilai bahwa orientasi parpol telah bergeser. Dari pilar demokrasi menjadi sekedar hanya sebagai organisasi pemburu rente.
Badan Anggaran (Banggar) DPR juga tidak luput dari korupsi. Praktik mafia anggaran mulai terkuak setelah pengakuan seorang anggota DPR tentang dugaan adanya praktik mafia anggaran. Publik ramai-ramai mengkritisi Banggar yang dianggap menghidupkan calo anggaran di DPR. Calo anggaran dengan beragam topeng dan profesi. Mulai pengusaha sampai pejabat. Topengnya mulai dari keluarga hingga rekan bisnis. Semuanya berkontribusi melanggengkan praktik korupsi di tanah air.
Pada akhirnya, kuatnya hegemoni parpol ini telah mereduksi kedaulatan negara. Kedaulatan negara berubah menjadi kedaulatan parpol. Semuanya diatur oleh parpol. Negara hanya sebagai alat untuk melegitimasi “birahi kekuasaan” parpol. Undang-undang dan penegak hukum hanya sebagai instrument formal sebagai syarat adanya sebuah negara. Ketika berhadapan dengan kekuatan politik, penegak hukum “sungkan” bahkan takut memprosesnya.
Lihat saja bagaimana penyelesaian kasus korupsi besar di tanah air. Hampir semuanya selesai di meja politik. Dengan mengorbankan pelaku teri dan melindungi pelaku kakap. Kasus Century selesai pada Robert Tantular. Kasus Mafia Pajak selesai pada Gayus dan pejabat Dirjen Pajak. Kasus surat palsu (mungkin) selesai di Hasan seorang diri. Dan kasus wisma atlet juga (mungkin) selesai di seorang Nazaruddin.
Beragam kasus tersebut memperlihatkan betapa kuatnya hegemoni parpol korup dalam sebuah negara. Orientasi Parpol yang seharusnya memperjuangkan aspirasi masyarakat, bergeser menjadi mesin ATM yang tugasnya mengumpulkan rupiah. Oleh anggotanya, Parpol selama ini hanya diposisikan sebagai “kendaraan politik”. Orientasi ini telah mereduksi fungsi parpol sebagai organisasi politik yang memfasilitasi dan memperjuangkan aspirasi politik masyarakat. Konsekuensi dari sikap meletakan parpol sekedar sebagai kendaraan politik hanya akan melegitimasi elitisme parpol di Indonesia.
Dalam kondisi demikian, publik melihat Parpol sebenarnya tidak lebih dari sekedar kendaraan politik bagi sekelompok elit yang berkuasa untuk memuaskan “birahi kekuasaannya” sendiri. Parpol hanya berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui melalui pemilihan umum, untuk memaksanakan berlakunya kebijakan-kebjiakan publik tertentu untuk kepentingan segolongan orang, “at the expense of the general will” (Rosseau, 1762). Bahkan menurut Robert Michels, Parpol seperti organisasi pada umumnya, selalu melahirkan dominasi yang bersifat oligarkis.

Let’s Kill all the Political Party?
The first thing we do, let’s kill all the lawyer! Teriakan Dick the Butcher, tokoh yang mengkreasi William Shakespeare dalam Henry IV, Part II sering dikumandangkan masyarakat yang kecewa dengan aparat penegak hukum yang korup. Let’s kill all the lawyer adalah ekspresi kekecewaan masyarakat pada aparat penegak hukum yang korup, khususnya terhadap advokat (lawyers).
Bisa saja, teriakan itu juga dialamatkan pada parpol korup. Let’s Kill all the Political Party! Jika dari sekarang parpol tidak memperbaiki komitmennya pada negara, utamanya pada rakyat sebagai konstituennya, dengan tidak melakukan atau membuka ruang bagi korupsi.
Kita tentu tidak memaknai ekspresi Dick tersebut adalah sebuah keharusan yang ditempuh sebagai sebuah pilihan. Membunuh pengacara atau parpol korup sebagai pelampiasan kekecewaan bukanlah keputusan bijak. Sebuah tindakan yang tidak akan merubah keadaan, bahkan memperparah. Karena seharusnya penegak hukum dan parpol menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Keduanya adalah komponen vital dalam sebuah negara. Yang perlu dibenahi dan diperkuat adalah adalah konteks kerjasama keduanya.
Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga diidealkan sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan check and balances. Namun, jika lembaga-lembaga negara tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang sering terjadi adalah penegak hukum dan parpol koruplah yang merajalela, menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan. Karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem berdasarkan prinsip check and balances dalam arti luas.

tulisan ini diambil dari Wiwin Suwandi (Pengamat Hukum dan Politik Pemerintahan
Pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas)

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...