Amputasi Demokrasi

Abraham Lincoln menyampaikan pidatonya yang sangat terkenal di Gettysburg pada tahun 1863, secara sederhana ia menggambarkan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (goverment of the people, by the people and for the people).[1] Perkataan Abraham Lincoln tersebut jika dikaitkan dengan demokrasi di Indonesia saat ini belum menemui relasinya, seandainya ada relasinya, pasti persoalan sosial kemasyarakatan dapat berkurang. Di Indonesia sekarang demokrasi hanya “berwajah” sedih dan “bermandikan” kebohongan publik disebabkan oleh logika-logika yang dipakai para elit tidak solutif, demokrasi hanya sampai pada tatanan pragmatis, dimana demokrasi hanya alat untuk menciptakan kelas ditengah-tengah masyarakat.

Sejarah penerapan demokrasi pertama yaitu setiap warga negara mempunyai hak untuk ikut serta membentuk pemerintahan, secara struktural masyarakat diberi kesempatan untuk ber-proses, tapi kenyataannya berbeda, masyarakat Indonesia ibarat jatuh, tertimpa tangga juga, bagaimana bisa masyarakat indonesia sampai saat ini masih mengalami kemiskinan struktural, apa artinya demokrasi kalau didalam negara yang menganut paham demokrasi menindas rakyatnya secara kasat mata, masyarakat sudah tidak bisa menjadi pengontrol terhadap para wakilnya, elit politik sebagai aktor dalam menjalankan hak-hak politik rakyat melakukan amputasi atas pengertian demokrasi seperti yang dikatakan oleh Abraham Lincoln, melihat realitas seperti ini, maka dapat diasumsikan bahwa rakyat adalah “korban” amputasi yang sengaja dilakukan oleh elit politik, sehingga rakyat tidak memiliki opportunity (peluang) serta merupakan threat (ancaman) atas keberlangsungan demokrasi kedepan.

Amputasi demokrasi mengalami penyumbatan pada sebatas pengertian pemerintahan dari rakyat, secara nalar hal ini tentunya proses ke oleh rakyat, dan untuk rakyat tidak menemui tempatnya, berarti struktur pemerintahan adalah bentuk keikhlasan rakyat dalam memberikan mandatnya tanpa ada jaminan kesejahteraan. Hal Ini tentunya sangat memperihatinkan, masyarakat seakan dipaksa untuk menjadi konsumen kebijakan dari struktur pemerintahan, kejahatan struktural ini seharusnya tidak dialami oleh negara penganut demokrasi. Kejahatan struktural adalah kejahatan yang dilakukan oleh negara atas mereka yang dianggap sebagai kelompok subversi, mengancam keamanan atau mereka yang mengganggu stabilitas nasional – suatu istilah yang digunakan pada masa Orde Baru.[2]

Jika tuntutan-tuntuan rakyat yang direpresentasikan melalui aksi-aksi demonstrasi dianggap sebagai ancaman keamanan dan stabilitas nasional, maka menjadi pengetahuan kepada rakyat Indonesia bahwa telah terjadi upaya penerapan sistem otoriter pasca reformasi. Melihat perkembangan rakyat Indonesia yang semakin demokratis, dimana hal-hal yang tidak mempunyai kesesuaian dengan realitas kemudian dianggap merupakan masalah, sebagai negara demokrasi rakyat berhak melakukan tuntutan-tuntutan melalui gerakan-gerakan sosial yang bersifat non-kelembagaan yang bertujuan untuk menghalangi perubahan sosial didalam masyarakat. Tumbuh berkembangnya negara demokrasi ditandai oleh tindakan-tindakan kolektif masyarakat dalam menyirami kebijakan-kebijakan pemerintah dengan kritikan, masyarakat dalam hal ini merupakan oposisi non-institusionalisme. Perjuangan masyarakat dalam usaha pencapaian kepentingan mereka perlu diapresiasi, negara mempunyai tanggung jawab terhadap rakyatnya untuk memberikan kebebasan mengeluarkan pendapat.

Kebebasan itu harus direspon oleh penyelenggara negara, jika tidak, ancaman disintegritas adalah ancaman buat persatuan negara ini. Penyelenggara negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan represif atas aksi-aksi rakyat, penyelenggara negara jangan menggunakan polisi untuk membungkam tuntutan-tuntutan rakyat. Pengalaman buruk dalam berdemokrasi pasca Orde Baru ternyata masih terjadi juga, kita tentu tersadarkan dengan penangkapan Nanang Mamija dan Muzzakir yang ditahan dengan tuduhan melakukan “penghinaan” terhadap Presiden Megawati pada saat terjadi demo pada Juni 2002, mereka memprotes atas meningkatnya angka kemiskinan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, lebih parahnya Megawati pada waktu itu  menanggapi aksi yang terjadi dengan mengatakan agar para demonstran menjadi “warga negara lain” saja.[3] pada pemerintahan SBY tepatnya pada tahun 2005 terjadi demo menentang pencabutan subsidi BBM yang diikuti demo diberbagai kota seperti makassar, Mataram, Denpasar, Surabaya, Solo, Semarang, dan Yogyakarta. Melihat kejadian-kejadian tersebut, adakah jaminan negara atas kebebasan mengeluarkan pendapat di negara yang menganut paham demokrasi?.

Penyelenggara negara yang telah mencederai demokrasi semacam ini harus digugat, karena kebebasan berpendapat telah dipasung, ditutupi, telah diamputasi, sampai-sampai pelaku demonstrasi dikriminalisasikan oleh negara.


[1] Lihat Abraham Lincoln dalam Muhammad Taufiq, Terorisme Dalam Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2005, Hal, 4

[2] Fajlurrahman Jurdi. Predator-Predator Pasca Orde Baru. Pukap. Makassar. 2008. Hal. 45

[3] Emilianus Afandi. Menggugat Negara: Rasionalitas Demokrasi, Ham dan Kebebasan. PBHI. Jakarta. Hal. xxxiv

Novalliansyah Abdussamad, S.IP.

DOSEN FISIP UNISAN GORONTALO

You may also like...