Reformasi dan Kegagalan Supremasi Hukum (Catatan Singkat Memperingati 14 Tahun Orde Reformasi)
Empat belas tahun sudah berlalu, pemerintahan Soeharto tumbang. Pemerintahan di era reformasi silih berganti. Pemerintahan ideal sebagaimana dicita-citakan pasca runtuhnya orde baru tak kunjung datang. Agenda reformasi tinggal catatan sejarah.
Amin Rais tokoh reformasi 1998 dalam diskusi bertajuk “reformasi sudah basi” di suatu stasion Tv swasta mengatakan bahwa pemerintah telah jauh meninggal semangat reformasi. Reformasi bagaikan menu yang harusnya menyehatkan, kini telah basi. Pihak eksekutif lebih memiliki menu lain. Sehingga terjadi kebablasan atau keluar dari rel reformasi.
Masih hangat diingatan kita bersama, kala suara “Reformasi” bergemah di negeri ini. Semua elemen masyarakat turun ke jalan. Para demonstrasi menuntut agenda reformasi yang menghendaki perubahan di segala bidang. Pertama, Penegakan Supremasi Hukum. Kedua, Pemberantasan KKN. Ketiga, Mengadili mantan Presiden Soeharto dan para kroninya. Keempat, Amandemen Konstitusi. Kelima, Pencabutan dwifungsi TNI/POLRI. Keenam, Pemberian Otonomi Daerah seluas-luasnya.
Dari agenda reformasi tersebut, tentunya penegakan supremasi hukumlah yang menjadi sorotan. Hal yang wajar, karena pada masa orde baru hukum takluk ditangan penguasa. Pertanyaan kemudian, Apakah penegakan hukum saat ini telah sesuai dengan apa yang dicita-citakan?
Gagalnya Supremasi Hukum
Mungkin ada yang sepakat dan tidak sepakat dengan pendapat kegagalan supremasi hukum. Tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa supremasi hukum yang didengungkan selama ini belum terwujud. Penegakan hukum bagaikan panggangan jauh dari api.
Adapun bentuk kegagalan supremasi hukum di era reformasi. Pertama, Praktik KKN semakin menjamur. Korupsi bukannya hilang malah tumbuh subur di rahim reformasi. Politik desentralisasi yang diharapkan dapat mensejahterakan rakyat justru menjadi lahan basa praktik korupsi. Kementrian Dalam Negeri merilis jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Kementerian ini mencatat diantara 524 kepala daerah, 173 orang terlibat kejahatan kerah putih pada 2004-2012. Dari jumlah tersebut 70% telah diputus bersalah dan diberhentikan dari jabatannya.
Kepiawaian kepala daerah dalam melakukan praktik korupsi, “berbanding lurus” dengan praktik korupsi yang dilakukan anggota DPRD. Hal tersebut dapat dilihat dari temuan Indonesian Corruption Watch (ICW). Lembaga penggiat antikorupsi ini, pada tahun 2010 merilis data anggota legislatif/ DPRD yang melakukan praktik korupsi sepanjang tahun 2004-2009 berjumlah 1.243 anggota. Selain dari banyaknya elit lokal yang terlibat kasus korupsi. Ternyata praktik korupsi juga merambah ke gedung senayan dan beberapa lembaga negara lainnya.
Kedua, Penuntasan kasus megakorupsi yang belum memperlihatkan titik terang. Kasus megakorupsi yang menyita banyak perhatian masyarakat Indonesia diantaranya kasus Century, kasus suap proyek wisma atlet, kasus hambalang, kasus rekening gendut perwira Polri, dan kasus mafia banggar. Penuntasan kasus megakorupsi ini, mengundang banyak tanda tanya. Apalagi megakorupsi yang sangat bersentuhan dengan penguasa (pemerintah) dan para petinggi Polri.
Ketiga, penuntasan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia. Era reformasi ternyata menyimpang banyak piluh di hati. Gelombang demonstrasi mei 1998, telah merenggut nyawa “sang demonstran”. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Tragedi Semanggi I dan II. Tragedi penembakan mahasiswa oleh militer yang belum juga diproses. Padahal Komnas HAM telah selesai melakukan penyelidikannya dan menyatakan kasus tersebut merupakan pelanggaran HAM Berat. Akan tetapi, berkasnya kemudian mental di tangan Mahkamah Agung. Kasus ini pun tidak jelas penuntasannya hingga sekarang.
Selain kasus semanggi dan Tri Sakti, masih ada kasus pelanggaran HAM yang belum tersentuh. Kasus pelanggaran diakhir masa Orde Baru, seperti kerusuhan mei 1998, dan kasus penghilangan orang secara paksa pada tahun 1997-1998.
Tentunya, jika tidak ada perubahan dari para petinggi negeri ini. maka era reformasi hanyalah slogan semata. Era baru yang hanya berganti baju (baca: reformasi), tetapi aktornya masih penganut faham orde baru.***