Usaha-Usaha Untuk Mengefektifkan Hukum Internasional
Meskipun semua pihak menyadari bahwa hukum internasional merupakan hukum yang lemah, tidaklah berarti bahwa tidak ada usaha-usaha masyarakat internasional untuk mengefektifkan hukum internasional. Pada dasarnya, usaha pengefektifan hukum internasional ditempuh dengan kesediaan negara-negara untuk mengurangi kedaulatannya. Tanga kesediaan mengurangi kedaulatan, mustahil hukum internasional bisa efektif. Namun patut pula ditegaskan, bahwa kesediaan negara-negara mengurangi kedaulatannya adalah juga berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan faktor politik. Tegasnya, dengan kesediaan mengurangi kedaulatannya, sejauh manakah kepentingan negara-negara itu akan terakomodasikan secara politik? Jadi, tetap saja faktor politik yang berperan secara dominan. Meskipun demikian, dengan usaha-usaha untuk mengefektifkan hukum internasional, meskipun kelemahan-kelemahannya masih tetap ada, dalam beberapa hal sudah menunjukkan hasil yang patut diperhitungkan.
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa usaha yang dapat mengefektifkan berlakunya hukum internasional meskipun usaha-usaha itu lebih merupakan langkah yang kasuistis, bukan langkah yang terkonsepsikan secara sistematis, seperti antara lain:
- Melalui pembentukan organisasi-organisasi internasional yang disertai dengan organ-organ ataupun sub-sub organnya serta peraturan-peraturan hukum internalnya baik yang substansial maupun prosedural, yang bersifat mengikat sebagai hukum organisasi internasional terhadap negara-negara anggotanya, dan diterapkan dalam hubungan antar mereka maupun dalam kerangka organisasi internasional itu sendiri. Dalam kerangka organisasi internasional dalam skala global atau universal, termasuk pula penerapan kaidah-kaidah hukum internasional oleh organisasi internasional itu sendiri. Pembentukan PBB (sebelumnya LBB) pada tahun 1945 ddalah juga dalam rangka mengefektifkan hukum internasional itu sendiri meskipun hasilnya masih belum optimal. Onganisasi internasional yang cukup efektif dalam penegakan hukum internasional adalah Uni Eropa. Dewasa ini WTO juga sudah tampak keefektifannya dalam menerapkan hukum ekonomi dan hukum perdagangan internasional. Sebagai contoh adalah sanksi yang dikenakan oleh WTO terhdap Indonesia dalam kasus Mobil Nasional (Mobil Timor) setelah melalui proses pemeriksaan perkaranya yang memakan waktu cukup lama. Namun patut diberikan catatan, bahwa setiap organisasi internasional yang ada di dunia ini memang tidak sama keefektifannya. Ada yang dengan efektif dapat menerapkan hukum internasional ada pula yang kurang efektif, bahkan tidak jarang yang tidak efektif sama sekali. Berbagai faktor dapat menjadi penyebab dan perbedaan-perbedaan ini.
- Melengkapi penjanjian-perjanjian internasional multilateral dengan organ-organ pelaksananya. Seperti diketahui, suatu perjanjian internasional pada hakekatnya adalah merupakan hasil kata sepakat antara negara-negara yang terikat pada perjanjian itu. Praktek negara-negara menunjukkan, bahwa mengandalkan kesadaran hukum negara-negara untuk mentaati perjanjian internasional ternyata tidak efektif. Supaya suatu perjanjian internasional bisa lebih efektif dalam penerapannya terhadap Negara-negara yang terikat, perjanjian internasional itu sendiri dilengkapi dengan organ pelaksananya. Beberapa, contohnya adalah, Konvensi Hukum Laut PBB 1982 yang memiliki organ-organ seperti International Sea-Bed Authority (Otorita Dasar Samudera Dalam Internasional), Commi-ssion on the Continental Shelf (Komisi tentang landas Kontinen), dan International Tribunal for the Law of the Sea (Mahkamah Hukum Laut Internasional). Demikian pula Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 1984 (Konvensi Anti Penyiksaan dan Kekejaman Lain, Perlakuan atau Penghukuman yang Tidak Manusiawi atau yang Merendahkan Martabat Kemanusiaan 1 984) dilengkapi dengan Committee Against Torture (Komisi anti Penyiksaan)19.
- Mencantumkan klausula penyelesaian sengketa (dispute settlement clause) dalam perjanjian-perjanjian internasional, baik perjanjian internasional bilateral maupun multilateral. Dengan pencantuman klausula ini, jika terjadi persengketaan antara negara-negara yang terikat pada perjanjian internasional yang bersangkutan, para pihak yang bersengketa dapat menempuh jalur penyelesaiannya sesuai dengan klausula tersebut. Dalam prakteknya, klausula itu misalnya menyatakan, jika terjadi persengketaan antara para pihak yang terikat pada perjanjian, maka sengketa itu akan diselesaikan melalui perundingan antara para pihak, namun jika perundingan itu tidak berhasil, maka para pihak sepakat mengajukan sengketa itu ke hadapan badan arbiterase atau badan peradilan internasional. Apapun hasil akhir dan penyelesaiannya, diharapkan akan ditaati oleh para pihak yang bersangkutan.
Dengan melalui langkah-langkah seperti ini, ternyata hukum internasional relatif bisa lebih efektif meskipun tidak secara keseluruhannya. Namun seperti telah dikemukakan di atas, upaya seperti ini bukanlah cara yang terkonsepsikan secara sistematis, melainkan tumbuh dan berkembang dalam praktek-praktek hubungan internasional secara kasuistis. Itulah sebabnya, cara-cara seperti ini tidaklah menjamin sepenuhnya bahwa hukum internasional akan menjadi efektif. Masih banyak perjanjian-perjanjian internasional yang tidak mencantumkan organ-organ pelaksana maupun klausula penyelesaian sengketa, sehingga tidak menjamin bahwa perjanjian yang belakangan ini akan ditaati dalam prakteknya. Bahkan perjanjian internasional yang mencantumkan kedua hal itupun, juga belum tentu ditaati sepenuhnya. Mengapa demikian? Hal ini tidak terlepas dari persoalan klasik, yakni kedaulatan negara dan tiadanya badan supra-nasional seperti telah dipaparkan di atas secara panjang lebar.
Kesediaan suatu negara masuk menjadi anggota suatu organisasi internasional, maupun kesediaan suatu negara tintuk menyatakan persetujuannya terikat dan tunduk pada suatu perjanjian internasional, baik perjanjian itu disertai dengan organ pelaksana maupun klausula penyelesaian sengketa ataukah tidak, pada hakekatnya adalah manifestasi dan kesediaan mereka untuk mengurangi substansi kedaulatannya. Akan tetapi, jika pada suatu waktu negara yang bersangkutan memandang bahwa keterikatannya itu merugikan kepentingan nasionalnya, negara itupun tidak segan-segan menolak untuk menaati perjanjian ataupun keputusan dan organisasi internasional ataupun organ-organ pelaksana perjanjian itu ataupun hasil atau keputusan dan badan penyelesaian sengketa yang bersangkutan. Contoh nyata dapat dikemukakan adalah, pembangkangan Israel terhadap resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan supaya Israel menarik diri dari wilayah-wilayah negara-negara Arab yang didudukinya sejak tahun 1967, penolakan Iran untuk menaati keputusan Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa tindakan Iran menyandera diplomat Amerika Serikat di Kedutaan Besarnya di Teheran pada tahun 1979 merupakan pelanggaran atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional dalam bidang diplomatik20. Demikian juga tindakan Amerika Serikat dalam kasus pemasangan ranjau-ranjau laut di perairan teritorial Equador pada tahun 1989 yang oleh Mahkamah Internasional dinyatakan sebagai pelanggaran atas hukum internasional, ternyata tidak mau ditaati oleh Amerika Serikat.21
Jadi dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa selama kedaulatan negara masih tetap ada dan struktur masyarakat dan hukum internasional yang koordinatif, dalam pengertian tiadanya badan supra-nasional, selama itu Pula hukum internasional merupakan hukum yang lemah. Namun, semakin bersedianya negara-negara mengurangi kedaulatannya, ataupun karena semakin derasnya arus globalisasi dan transparansi yang melanda dunia, maka hukum internasional-pun lama kelamaan, akan dapat lebih efektif jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Meskipun usaha pengefektifan hukum internasional ditempuh melalui cara kasuistis seperti telah dikemukakan di atas, sehingga hasilnya hingga kini masih belum memuaskan, namun langkah-langkah kasuistis semacam itu masih tetap merupakan langkah yang paling layak untuk dilakukan.