Bentuk atau Perwujudan Dari Hukum Internasional

Secara global, bentuk atau wujud hukum pada umumnya terbagi atas dua, yakni, hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Demikian Pula halnya dengan hukum internasional. Hukum internasional dapat dikenali bentuk atau wujudnya dalam bentuk hukum internasional tertulis dan hukum internasional tak tertulis atau yang disebut juga dengan hukum kebiasaan internasional (customary law). Dalam hubungan ini, bentuk atau perwujudan dari hukum internasional, baik yang berbentuk tertulis maupun tidak tertulis dihubungkan dengan ruang lingkup berlakunya, baik ruang lingkup subyek hukumnya maupun kawasan berlakunya. Jika dipandang secara menyeluruh, maka hukum internasional baik yang berbentuk tertulis seperti perjanjian-perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional, dapat dibedakan dalam tiga kelompok bentuk perwujudannya, yaitu hukum inter­nasional umum atau universal atau global (general, universal, or global international law), hukum internasional regional atau kawasan (regional international law), dan hukum internasional khusus (special international law).

Hukum Internasional Umum, Universal, atau Global

Hukum internasional umum, universal, atau global adalah hukum internasional yang berlaku secara umum, universal atau global di seluruh dunia terhadap semua atau bagian terbesar subyek-subyek hukum internasional pada umumnya, dan negara-negara pada khususnya. Kaidah­kaidah hukum internasional semacam ini, bisa berbentuk hukum kebiasaan internasional, misalnya kewajiban setiap negara menghormati kedaulatan, kemerdekaan, dan kesamaan (derajat sesama negara; kewajiban setiap negara untuk menghormati hak-hak asasi manusia, hak menentu­kan nasib sendiri dari bangsa-bangsa, hak dan kedaulatan setiap negara atas sumber daya alam yang terdapat di dalam wilayahnya; merupakan beberapa contoh saja dari kaidah­-kaidah hukum internasional global, universal atau umum, yang berbentuk perjanjian-perjanjian internasional, misalnya, Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS III/1982), Konvensi jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang, Universal Declaration of Human Rights 1948 (Deklarasi Universal Tentang Hak-Hak Asasi Manusia), International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik), International Covenant on Social, Cultural, and Economic Rights 1966 (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sosial, Budaya dan Ekonomi), dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu di sini.

Ditinjau dari bentuk maupun substansinya, perjanjian­-perjanjian internasional semacam ini dimaksudkan sebagai suatu usaha pengkodifikasian (codification) dan sekaligus juga pengembangan secara progresif (progressive development)22 bidang-bidang hukum internasional yang diatur di dalamnya untuk dapat menjadi hukum internasional yang berlaku umum, universal, atau global. Akan tetapi karena bentuknya sebagai perjanjian internasional, maka dia tunduk pada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum perjanjian internasional, misalnya prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt23, prinsip bahwa suatu negara baru terikat pada suatu perjanjian internasional apabila negara itu sudah menyatakan persetujuannya untuk terikat; hak suatu negara mengajukan pensyaratan, dan lain-lain.24 Ini semua menjadikan suatu perjanjian internasional tidak mudah dapat berkembang menjadi hukum internasional yang berlaku umum, universal, atau global. Meskipun suatu perjanjian internasional di lihal dari bentuk, isi, maupun maksud dan tujuannya, merupakan perjanjian internasional yang berlaku dalam ruang lingkup umum atau global, dalam kenyataannya tidak jarang suatu perjanjian internasional semacam ini hanya mengikat sejumlah kecil negara saja.25

Hukum Internasional Regional

Berbeda dengan hukum internasional umum, universal, atau global, hukum internasional regional merupakan hukum yang hanya berlaku dalam ruang lingkup yang lebih terbatas, yakni hanya berlaku di dalam suatu region atau kawasan tertentu. Dia bisa tumbuh dan berkembang dalam kawasan yang bersangkutan, baik dalam bentuk hukum kebiasaan internasional atau bisa juga berbentuk perjanjian­-perjanjian internasional regional yang mengatur masalah yang khas tumbuh dan berkembang di kawasan yang bersangkutan. Dalam sejarah pernah dipermasalahkan ada atau tidak adanya kaidah hukum kebiasaan internasional regional tentang suaka politik (political asylum) di kawasan Amerika Latin ketika Mahkamah Internasional di Den Haag memeriksa perkara Haya de Ia Torre (Haya de Ia Torre Case) pada tahun 1948 antara Peru melawan Colombia.

Dalam perkembangan masyarakat internasional dewasa ini tentulah perkembangan hukum internasional regional lebih banyak tumbuh dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional regional ketimbang hukum kebiasaan internasional regional. Perjanjian-perjanjian internasional regional itu antara lain ada yang berbentuk perjanjian internasional yang terkait dengan kerjasama internasional yang dilembagakan atau dalam kerangka organisasi internasional regional. Sebagai contoh adalah hukum internasional regional yang kini lebih dikenal dengan nama Hukum Eropa (European law)26 yang berlaku di kawasan Eropa (Barat) yang dikembangkan dalam kerangka organisasi internasional regional Uni Eropa (European Union). Dalam perkembangan selanjutnya, hukum internasional regional yang hampir serupa dengan Hukum Eropa ini mulai berkembang di berbagai kawasan terutama dalam kerangka kerjasama regional yang dilembagakan, misalnya, di kawasan Afrika dalam bentuk Organisation African Unity; North American Free Trade Area di kawasan Amerika Utara; ataupun di kawasan Asia Tenggara dalam kerangka ASEAN.

 Hukum Internasional Khusus

Berbeda dengan hukum internasional umum maupun regional yang cirinya lebih tampak pada ruang lingkup (global ataupun kawasan) berlakunya, hukum internasional khusus (special international law) dicirikan oleh subyek-­subyek hukum internasional yang tunduk atau menjadi pihak di dalamnya tanpa memandang di kawasan mana subyek-subyek hukum itu berada. Bahwa subyek hukumnya itu secara geografis kebetulan berada dalam satu kawasan, bukanlah masalah yang utama. Yang lebih utama adalah, kaidah hukum internasional itu secara khusus berlaku terhadap subyek-subyek hukum yang bersangkutan. Bentuk kaidah hukum internasional seperti ini bisa dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional antara dua atau lebih negara yang berada dalam dua atau lebih kawasan dunia. Misalnya perjanjian antara Indonesia dan Amerika Serikat tentang kerjasama ilmu pengetahuan dan teknologi, ataupun perjanjian internasional bilateral antara dua atau lebih negara dalam satu kawasan, misalnya perjanjian antara Indonesia dan Malaysia tentang garis batas wilayah kedua negara di Pulau Kalimantan, atau yang berbentuk hukum kebiasaan internasional yang khusus berlaku antara dua Negara bertetangga, misalnya sebuah Negara tak berpantai (land-lock state) yang kapal-kapalnya secara tradisional berlayar menuju ke laut dengan melalui sungai yang mengalir melalui Negara pantai di depannya, tanpa pemah dihalangi oleh Negara pantai yang wilayah (aliran sungai) dari Negara pantai yang bersangkutan. Hal ini berlangsung dengan aman secara turun temurun

Hukum Internasional Pada Masa Kini dan Yang Akan Datang

Perkembangan-perkembangan baru seperti dikemuka­kan di atas, telah mengubah sendi-sendi hukum internasional yang lama (sebelum Perang Dunia II dan dasawarsa lima dan enampuluhan) menjadi hukum internasional dengan ruang lingkup dan substansi yang semakin luas serta mencermin­kan keterpaduan yang mulai tampak pada awal dasawarsa tujuhpuluhan hingga kini. Keluasannya itu tampak dalam wujud kemunculan dan berkembangnya bidang-bidang hukum internasional yang sebelumnya belum atau kurang dikenal, seperti hukum lingkungan internasional, hukum ekonomi internasional, hukum moneter internasional, hukum pembangunan internasional, hukum internasional tentang hak­hak asasi manusia, hukum humaniter internasional, hukum internasional tentang alih teknologi, hukum internasional tentang hak atas kekayaan intelektual, dan lain sebagainya.

Dikatakan mencerminkan keterpaduan, oleh karena antara bidang-bidang hukum yang satu dengan lainnya tampak saling terkait dengan erat. Keterkaitan tersebut dapat ditunjukkan pada beberapa bidang hukum yang merupakan pencabangan dari bidang-bidang hukum yang lebih luas. Misalnya, hukum ekonomi internasional menumbuhkan bidang-bidang hukum yang lebih bersifat spesifik, seperti hukum internasional tentang alih teknologi, hukum internasional tentang hak atas kekayaan intelektual, hukum moneter internasional; hukum lingkungan internasional menumbuhkan bidang hukum pencemaran laut, udara, dan lain-lain; hukum internasional tentang hak asasi manusia rnenumbuhkan bidang hukum humaniter internasional, hukum tentang pengungsi internasional; Selain dari pada itu, antara satu dengan lainnya juga terkait dengan erat. Misalnya, hukum ekonomi internasional dengan berbagai cabangnya berkaitan erat dengan hukum internasional tentang hak asasi manusa maupun dengan hukum internasional tentang lingkungan hidup.

Demikianlah hubungan antara satu dengan lainnya itu tampak tidak dapat dipisahkan lagi. Semua itu terjadi karena arah dan tujuan masyarakat internasional pada saat sekarang maupun pada yang akan datang adalah mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Setiap masalah selalu terkait dengan masalah lain, dan tentu saja hukum yang mengatur masalah tersebut juga akan selalu terkait antara bidang hukum yang satu dengan lainnya. Jika kita berbicara tentang ekonomi (nasional maupun internasional) yang diatur oleh hukum ekonomi (nasional maupun internasional) maka tidak akan dapat dipisahkan dari masalah penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana diatur di dalam hukum internasional tentang hak asasi manusia. Keduanya ini nantinya akan berkaitan lagi dengan masalah lingkungan hidup yang pengaturannya terdapat di dalam hukum tentang lingkungan hidup nasional maupun internasional. Sistem ekonomi nasional maupun internasional tidak akan terwujud dengan baik dan demikian pula tujuan negara ataupun masyarakat internasional untuk mensejahterakan urnat manusia tidak akan tercapai jika tidak disertai dengan langkah-langkah nyata dalam penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Demikian pula keduanya itu tidak akan ada artinya sama sekali, jika usaha mewujudkan keduanya itu dilakukan tanpa memperhitung­kan aspek lingkungan hidup.

Keterpaduan lainnya dapat ditunjukkan pada semakin menipisnya makna kedaulatan negara (state sovereignty). Padahal sebelumnya kedaulatan negara menjadi penyekat dan pembeda yang tajam antara masalah domestik dan internasional. Bahkan kedaulatan juga berfungsi sebagai benteng yang sangat kokoh untuk melindungi masalah domestik negara-negara dan intervensi negara-negara lain. Namun apa yang disebut kedaulatan negara, kini semakin menipis dan transparan, terutama disebabkan karena munculnya peristiwa-peristiwa ataupun masalah-masalah yang sekaligus mengandung dua dimensi yakni dimensi nasional dan internasional yang saling terkait dan tak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Sebagai contoh, pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam suatu negara tidak bisa lagi sebagai masalah domestik yang tidak boleh di sentuh oleh negara-negara lain (baca;internasional).

Demikian pula kebijakan dalam bidang ekonomi yang (diambil oleh suatu negara yang dapat menimbulkan dampak terhadap perekonomian negara lain, tidak lagi bisa ditutup-tutupi dengan alasan masalah domestik negara itu masing-masing. Misalnya, tindakan suatu negara yang menaikkan bea impor atas produk yang di impor dari negara lain, tentu saja menimbulkan dampak terhadap negara pengekspor, demikian pula sebaliknya. Atau dalam bidang lingkungan hidup, misalnya, suatu negara yang sangat lemah perlindungan hukumnya atas lingkungan hidup, akan menjadi sasaran dari negara-negara lain yang memiliki limbah yang membahayakan lingkungan hidupnya untuk selanjutnya dijual atau di ekspor ke negara tersebut. Ataupun tindakan suatu negara yang tidak berhasil mencegah ataupun mengatasi kebakaran hutan di wilayahnya sehingga menimbulkan pencemaran udara berupa beterbangannya asap dan kebakaran hutan tersebut. Contoh lain adalah pencemaran laut yang terjadi sebagai akibat dan tumpahnya minyak yang diangkut oleh sebuah kapal tanker yang terjadi di perairan territorial suatu negara selanjutnya meluas sampai ke perairan tenitonial negana lainnya.

Semua masalah yang dipaparkan di atas, tidak lagi dapat dipandang sebagai masalah domestik masing-masing negara. Pencegahan ataupun pemberantasannya pun akan lebih efektif jika dilakukan dengan kerjasama internasional ketimbang jika dilakukan secara sendiri-sendiri.

Fakta-fakta tersebut di atas menunjukkan, bahwa Semakin eratnya hubungan antara masalah-masalah nasional dan internasional yang tentu juga akan mendorong tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum nasional dan internasional yang semakin erat hubungannya, atau dengan kata lain, semakin sulit menarik garis pembeda antara dimensi nasional dan internasionalnya. lnilah yang juga disebut dengan bidang-bidang kehidupan dengan kaidah-kaidah hukumnya yang transparan. Hal ini sejalan dengan arah perkembangan masyarakat internasional dalam era globalisasi dan transparansi. Semakin lama akan semakin bertambah banyak jumlah maupun jenis dan bidang-bidang dan kaidah-kaidah hukum yang transparan, yang semakin tipis dan kabur perbedaan antara dimensi hukum nasional dan hukum internasionalnya.

Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.

Lahir di Bulukumba 2 Juli 1955, Menamatkan S1, S2 dan Program Doktor PPS Unhas 2003- 2008. Adalah Professor Hukum yang suka Sastra terbukti sudah tiga novel yang telah terbit dari buah tangannya: “Putri Bawakaraeng” (Novel) Lephas Unhas 2003; “Pelarian” (Novel) Yayasan Pena (1999); “Perang Bugis Makassar, (Novel) Penerbit Kompas (2011). Selain sebagai Staf Pengajar pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas, Golongan IV B, 1998 hingga sekarang, juga menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas; Dosen Luar Biasa Pada Fakultas Syariah IAIN Alauddin, Makassar 1990-2003; Dosen Luar Biasa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Unhas untuk mata kuliah Politik dan Kebijaksanaan Luar Negeri Cina serta Hukum Internasional 2002 – sekarang. Beberapa buku yang telah dipublikasikan antara lain “Sengketa Asia Timur” Lephas-Unhas 2000. Tulisannya juga dapat ditemui dalam beberapa Harian: Pedoman Rakyat (kolumnis masalah-masalah internasional), pernah dimuat tulisannya di Harian: Fajar dan Kompas semenjak mahasiswa; menulis pada beberapa jurnal diantaranya Amannagappa, Jurisdictionary dan Jurnal Ilmiah Nasional Prisma. Kegiatan lain diantaranya: narasumber diberbagai kesempatan internasional dan nasional, Narasumber Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) Jakarta 1987; Narasumber pada Overseas Study On Comparative Culture And Government Tokyo (Jepang) 1994; Shourt Course Hubungan Internasional PAU Universitas Gajah Mada Yogayakarta 1990; Seminar Hukum Internasional Publik Universitas Padjajaran Bandung 1992; Seminar Hukum dan Hubungan Internasional Departemen Luar Negeri RI Jakarta 2004. Juga pernah melakukan penelitian pada berbagai kesempatan antara lain: Penelitian Tentang Masalah Pelintas Batas Di Wilayah Perairan Perbatasan Indonesia-Australia Di Pantai Utara Australia dan Kepualauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara Tahun 1989; Penelitian Tentang Masalah Alur Selat Makassar dalam Perspektif Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia. Gelar guru besar dalam Bidang Hukum Internasional Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin telah dipertahankan Di Depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin “Perang Makassar (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum Perang)” pada hari Selasa 2 November 2010 (Makassar).

You may also like...