Menyoal “Bad Practice” Penahanan John Kei
Lagi-lagi pemberitaan media massa menunjukan bahwa aparat kepolisian kita. Di negeri ini, belum mampu bekerja professional, dan cerdas sebagai pengayom masyarakat. Padahal kepolisian adalah lembaga penegak hukum dalam ruang lingkup criminal justice system, yang diberi kewenangan oleh UU (baca: KUHAP) untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Alih-alih Kepolisian mempertontonkan kinerja buruk, bad practice dalam upaya paksa penahanan terhadap John Kei. Tersangka pembunuhan bos PT Sanex Steel itu. John Kei diperpanjang lagi masa penahanannya dengan cara pembantaran di rumah sakit Polri, Raden Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur. Padahal masa penahanannya sudah melewati batas waktu 120 hari pada hari sabtu (7/7) Pukul 00.00 WIB kemarin.
Dikeluarkan Demi Hukum
Sebelum mengurai polemik penahanan John Kei. Yang perlu diketahui lebih awal untuk meluruskan banyak kesalahan berpikir, seputar masalah penahanan. Bahwa penahanan itu bukanlah bersifat mutlak atau wajib dilakukan.
Penahanan hanya dapat dilakukan jika memenuhi syarat (vide: Pasal 21 KUHAP). Pertama tersangka atau terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Kedua, adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri. Ketiga ditakutkan akan merusak atau menghilangkan barang bukti.
Di Pasal 29 KUHAP juga ditegaskan bahwa perpanjangan penahanan dapat dilakukan jika dengan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena; (1) tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; (2) perkara yang sedang diperiksa diancam pidana penjara Sembilan tahun atau lebih.
Bagaimana dengan penahanan John Kei ? kiranya melihat dan menafsirkan pasal-pasal penahanan tidaklah menyimpang dari ketentuan di atas. Karena memang tindak pidana yang disangkakan terhadap John Kei dapat diperpanjang berdasarkan Pasal 29 ayat 2 KUHAP. Karena John kei memang disangka turut serta dalam pembunuhan bos PT Sanex Steel. letak kekeliruannya adalah pemakaian teks, John kei harus dibebaskan demi hukum.
Banyak sekali kekeliruan, baik di media, pengacara, maupun kalangan yang awam hukum. Mengatakan bahwa jika saja melewati batas penahanan, maka penyidik harus membebaskan seorang tersangka dari tahanan. Tofik Chandra, Pengacara John Kei dibeberapa harian media massa mungkin keceplosan atau memang keliru, mengatakan bahwa klienya harus dibebaskan..
Kuasa hukum John Kei, mengatakan, “Sabtu (7/7) pukul 00.00 WIB, kliennya seharusnya bebas dari sel tahanan. Sebab, masa penahanan John Kei yang 120 hari akan segera habis malam ini. Katanya, menurut undang-undang, masa penahanan Bang John sudah habis dan berkas perkaranya sampai saat ini belum P-21 juga. Seharusnya Bang John sudah bebas malam ini.”
Pendapat demikian adalah penggunanan bahasa (term) hukum yang salah (eror). Karena Pasal 24 ayat 4 menegaskan jika saja telah melewati batas waktu penahanan maka tersangka itu harus dikeluarkan (….. penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum).
Inilah validitas (baca: keabsahan hukum) yang memerlukan pemahaman tersendiri. Hukum harus disingkap tabirnya, pasal dan ayatnya yang belum jelas. Entah dengan penafsiran hukum atau konstruksi hukum. Mempelajari hukum itu, ibarat mengembara dibelantara hukum sebagaimana Almarhum Prof Achmad Ali sering mengulang-ulang dalam ceramah dan kuliahnya. Sehingga tidak semua orang dapat menafsirkan hukum secara serampangan dan kebablasan saja. Intinya, penggunaan bahasa hukum harus tepat penggunanaan dalam setiap terminology dan penerapannya.
Meskipun John Kei kiranya dikeluarkan dari tahanan. Berkas perkara yang belum juga memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai terdakwa, karena belum cukup alat bukti. Kepolisian sebagai penyidik tetap dapat melengkapi berkas perkara. Hingga akhirnya dugaan tindak pidana itu terpenuhi oleh kejaksaan untuk melakukan tuntutan.
Tidak berarti dengan dikeluarkannya Joh Kei dari tahanan. Perkaranya kemudian di hentikan atau di-Sp3-kan. Kepolisian tetap dapat melengkapi berkas perkaranya. Agar John Kei dapat ditingkatkan statusnya menjadi terdakwa.
Demikian juga, hemat penulis Penyidik tidak perlu melakukan pembantaran terhadap John Kei. Hanya dengan alasan ia harus mendapatkan perawatan dari rumah sakit. Dengan alasan, luka bekas tembakan di kakinya membengkak. Karena Persoalan perawatan menyangkut hak tersangka. Bukanlah upaya paksa yang dapat dilakukan oleh Penyidik.
Seyogianya kepolisian tidak perlu menggunakan cara-cara perpanjangan penahanan dengan metode pembantaran. Oleh karena SEMA No. 1 Tahun 1989 tentang pembantaran ini, Masa atau tenggang waktunya seorang yang ditahan dapat dibantarkan tidak diatur kapan berakhir.
Bad Practice
Bad practice yang ditunjukan oleh penyidik dan penuntut umum, dalam hal ini kepolisan dan kejaksaan adalah pelimpahan berkas perkara yang berkali-kali. Ini adalah penerapan pasal yang keliru. Ketika mestinya hanya satu kali terjadi pelimpahan berkas perkara.
Dengan waktu yang sangat banyak, menyita waktu bagi kepolisian untuk melengkapi berita acara penyidikan. Praktis saja waktu atau masa penahanan tersangka akan berjalan terus-menerus, hingga melewati masa penahanan.
Ini adalah kesalahan penafsiran dalam Pasal 138 KUHAP, yang menyebutkan “dalam hal hasil peyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal-hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.”
Sebenarnya, pasal tersebut membatasi kejaksaaan agar tidak melimpahkan berkas perkara hingga berkali-kali. Hanya dapat dilakukan pelimpahan satu kali (P 19, P 21) saja. Namun di lapangan kepolisian dan kejaksaan, tetap saja melakukan bad practice dalam penerapan hukum pidana formil ini. Mungkin karena penyidiknya belum bisa bekerja secara professional ! Maka diabaikan batas waktu bolak-balik perkara tersebut.
Jika memang tidak dapat memenuhi syarat untuk ditingkakan perkara tersebut, ketingkat penuntutan, maka lebih baik Kejaksaan mengeluarkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan. Berdaskan Pasal 139 KUHAP, penuntut umum dapat mengentikan penuntutan jika memang tidak cukup alat bukti.
Lalu mengapa dalam kasus penahanan John Kei, antara Kepolisan dan Kejaksaan tidak bekerja secara efektif, antara kepolisian dan kejaksaan tetap melakukan pelimpahan berkas perkara berkali-kali ? Mengapa Kejaksaan, jika memang kasus John Kei tidak cukup alat buktinya, perkara John Kei dihentikan penyidikannya saja ?
Jawabannya, boleh jadi kejaksaan takut di praperadilankan oleh Penyidik. Karena masih terbuka ruang bagi penyidik dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP, mengajukan praperadilan terhadap tidak sahnya penghentian penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum.