Pilihan Dilematis (Figur Atau Parpol)
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 11 Juli 2012 baru saja, selang beberapa hari dihelat. Meskipun belum diumumkan oleh KPUD legalitas hasil perhitungan suara di Ibukota Negara itu. Tim pemenang Foke-Nara sudah tidak sabar. Sudah melakukan serangan udara terhadap Jokowi-Ahok. Tim pemenang Jokowi-Ahok dianggap melakukan black campaign, money politik terhadap calon-calon pemilih sebelum hari “H” Pemilukada diselenggarakan.
Namun setidaknya hasil quick count Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang bekerja sama dengan SCTV dan Indosiar. Dimana Jokowi-Ahok menempati peringkat paling atas dengan kisaran 42,74% lalu diikuti Foke-Nara yang menempati peringkat kedua dengan perolehan 33,57%. Sudah menjadi pelajaran “berdemokrasi” buat bangsa ini, ketika masih mencari sistem demokrasi dan sistem pemerintahan menuju tata kelola yang baik (good government).
Setidaknya pelajaran yang dapat kita petik, yakni Parpol tidak terlalu dikenang lagi sebagai mesin politik yang dapat menggapai dambaan kesejahteraan rakyat. Ini terbukti dengan terbantahkannya beberapa survey awal, yang dulunya mengunggulkan Foke-Nara. Tampaknya Ia akan dipaksa berduet dengan Jokowi-Ahok di Pemilukada tahap kedua, dua bulan ke depan.
Alih-alih pemilih berbicara lain. Lebih banyak menjatuhkan pilihan kepada Jokowi-Ahok. Jokowi dianggap sebagai kekasih media (media darling). Gara-gara kebijakannya yang merelokasi pedagang kaki lima tanpa perlawanan. Menolak pembangunan Mall demi pelestarian budaya Kota Solo.
Gara-gara kehebatannya inilah. Sehingga Ia dinobatkan sebagai Wali Kota terbaik dunia karena pengelolaan pemerintahan Solo di tangan Jokowi mengalami perbaikan yang luar biasa.
Kemenangan Jokowi-Ahok bukan kemenengan partai politik. Bukan kemenangan PDI atau Gerindra yang mengusungnya, meski kelihatan kedua partai ini soliditasnya kuat, berdasarkan data Exit Pool LSI bahwa 80 % partai benar-benar solid memilihnya. Kemenangan Jokowi-Ahok adalah kemenangan figur.
Selain kemenangan Figur, kemenangan Jokowi-Ahok. Juga adalah kemenangan arus bawah. Kemenangan kelas menengah ke bawah. Dengan meminjam antitesa Marx, kemenanganya adalah kemenangan kaum proletariat melawan kaum borjuis. Jokowi sebagai walikota Solo, lebih banyak bermain pada arus bawah. Bukan pada kemauan penguasa atau pengusaha (baca: pasar) yang merugikan rakyat “kecil”.
Cara bermain atau dengan kata lain strategi politik Jokowi sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh tim Foke-Nara dengan melakukan “serangan udara”. Ia dapat mencari teman sehaluan pada kelas atas, seperti kelas pengusaha. Namun lagi-lagi pemilih membuktikan bahwa “figur” hanya “benalu” pada kelas-kelas atas (upper class).
Ada dugaan, Jokowi-Ahok bermain politik uang sehingga ia mendapat suara terlampau jauh berbeda dengan Foke-Nara.
Untuk membuktikan dugaan ini, mudah mengukurnya. Dapat dilihat dari spending kampanye kedua kandidat ini. Ternyata kekuatan finansial dan sosialisasi kampanye lebih banyak dilakukan oleh tim Foke-Nara. Hasil Exit Pool LSI membuktikan bahwa ketika ditanyakan kepada semua responden, iklan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur mana yang paling banyak dibaca di koran dalam sebulan terakhir, mayoritas menjawab Foke-Nara (48%). Responden juga paling sering melihat iklan pasangan Foke-Nara di televisi (46,5%) dan paling sering mendengar iklan Foke-Nara di radio (34,4%). Spanduk/stoker/poster Fauzi-Nachrowi juga paling banyak dilihat warga di lingkungan mereka (50,7%).
Logikanya, dengan hasil survey itu, kalau berbicara politik uang sangat “minim” atau nihil sekali terjadi indikasi praktik money politic pada tim Jokowi-Ahok.
Semua itu, semata karena ketokohan, kesederhanaan, kehebatan Jokowi dalam penciptaan semiotik (baju kotak-kotak). Dengan tidak memakai warna partai sebagai tanda dan simbol untuk menggugah simpati pemilih.
PEMILIH DILEMATIS
Figur kandidat menjadi solusi alternatif pemilih. Ketika pemilih berada dalam tawanan untuk tidak memilih. Bingung menjatuhkan pilihan. Dari pada Golput karena partai politik tidak memberi harapan. Mumpung ada obat mujarab, terbukti khasiatnya, maka untuk sementara lebih memilih figur tersebut. Itulah Jokowi, mampu mengobati “penderitaan” warga Kota Solo.
Dalam konteks ini menarik untuk melihat apa yang dikemukakan oleh Biorcio dan Mannheimer (1995) bahwa relasi partai dengan massa pemilih dapat diukur melalui dua dimensi, yaitu identifikasi diri dengan partai (dimensi afeksi) dan evaluasi massa pemilih atas fungsi intermediasi partai (dimensi rasional). Dalam ulasan ilmu politik identifikasi dengan partai disebut dengan istilah party identification (party id), adalah perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya, bahwa ia mengidentikkan diri sebagai orang partai tertentu, atau bahwa ia merasa dekat dengan partai politik tertentu. Sedangkan intermediasi partai berbentuk evaluasi pemilih terhadap fungsi penghubung atau perantara aspirasi publik. Party id lebih didorong oleh alasan-alasan emosional dan psikologis, sementara dimensi intermediasi lebih bersifat rasional.
Kelompok pemilih semakin sulit ditakar. Dalam rangka mendapat suara terbanyak, hanya melalui sosialisasi kampanye. Harus diikuti dengan kualitas popularitas. Bukan hanya dengan kuantitas popularitas. Pemilih lebih banyak tergerak sebagai pemilih yang intermediasi. Pemilih yang rasional.
Terlihat dari Pilgub DKI Jakarta. Demokrat yang mengusung Foke-Nara tampaknya, terjadi split ticket voting. Antara calon pemilih identification dengan kandidatnya. Golkar sebagai partai besar yang mengusung Alex-Nono, malah kalah dibanding calon independen Faisal-Biem. Tidak terkecuali PKS dekat dengan kadernya (party id), yang dikenal basisnya berada di DKI Jakarta. Praktis dengan suara di bawah Jokowi-Ahok dan Foke-Nara, dipastikan juga tidak mengantarkan Hidayat-Didik akan ikut berduet di putaran kedua nanti.
Inilah Suatu gejala pemilih yang mengalami deparpolisasi. Ketika Parpol sebagai kendaraan politik tidak bisa menjadi ukuram kemenangan seorang kandidat. Beruntung saja masih ada calon pemimpin memilki figur. Maka pemilu masih berjalan. Karena kalau sudah tidak ada pemilih yang datang di TPS. Berarti awal kegagalan demokrasi di negeri ini. Awal kegagalan partai politik memberikan pendidikan politik.
Rupanya masih ada warga Negara yang sadar, bukan berada dalam Golongan Putih/ Golput. Entah itu Golput tekhnis, Golput pragmatis ataukah Golput ideologis.
Perhelatan Pilgub DKI Jakarta kiranya menjadi bayangan Pemilu 2014 nanti. Ketika Parpol lebih banyak diberitakan terindikasi korupsi oleh beberapa Media. Dan beberapa Parpol “curi start” menobatkan Capresnya (untuk periode 2014).
Kini Parpol harus kembali berbenah diri ketika pemilih yang dilematis, lebih banyak menjatuhkan hati pada figur. Apalagi hingga sekarang, Capres yang diusung oleh beberapa Parpol masih stock lama. Bukankah calon-calon pemilih kita saat ini, lebih suka wajah-wajah baru, diman memiliki loyalitas buat rakyatnya ? Kini jawabannya ada ditangan Parpol yang akan mengusung Capres pemilu periode 2014 mendatang. Capres dari kalangan internal partai ataukah dari kalangan profesional.