Dahlan (Jangan) Setengah Hati

Menteri BUMN Dahlan Iskan mulai gerah. Anggota DPR diduga menjadikan BUMN sapi perah. Dahlan mengaku mengantongi sekitar 10 orang anggota DPR periode 2009-2014. Ternyata praktik meminta upeti ke perusahaan plat merah sudah lama berjalan.

Upaya bersih-bersih BUMN dari praktik korupsi mendapatkan dukungan. Dahlan dianggap “berani” melakukan terobosan. Membongkar kongkalikong BUMN dengan DPR. Suatu perilaku simbiosis mutualisme menggarong uang negara.

Simbiosis mutualisme BUMN-DPR sering terjadi pada pembahasan penyertaan modal negara. Pihak Direksi perusahaan BUMN “melobi” anggota DPR, agar supaya anggaran di perusahaan bertambah. Bila permintaan Direksi terpenuhi, maka DPR pun tidak segan meminta imbalan. Modus operandi ini diakui Dahlan diacara TV Mata Najwa. Atas perilaku bawahannya, Dahlan langsung melakukan pergantian Direksi.

Berbeda dengan anggota DPR peminta upeti. Sejumlah nama yang dilaporkan Dahlan ke Badan Kehormatan DPR berlomba membantah. Dahlan dituduh mencari popularitas. Politik pencitraan guna mendapatkan simpati rakyat. Menuduh tanpa ada alat bukti cukup. Lebih ekstrim lagi pihak DPR meminta Dahlan memeriksakan diri ke dokter.

Setengah Hati

Sebelum memenuhi panggilan BK DPR, pernyataan Dahlan memang menjadi momok menakutkan. Apalagi Dahlan sempat berjanji akan membongkar nama-nama anggota DPR pemeras BUMN. Spekulasi pun bermunculan, Dahlan dituduh sengaja melempar isu pemerasan tersebut. Menggiring opini publik “menyerang” oknum anggota DPR. Tindakan ini untuk menutupi temuan BPK atas kerugian negara Rp 37 Triliun. Dahlan dituduh melakukan korupsi pada saat menjabat Dirut PLN.

Saling sandera antara Dahlan dan anggota DPR memasuki babak baru. Idris Laena, Sumaryoto, Achsanul Qosasi merasa kecewa atas tuduhan pemerasan BUMN. Sedangkan M. Ichlas El Qudsi dari Fransi PAN mengsomasi Dahlan meminta maaf 7 x 24 jam di media massa. Hal tersebut karena Dahlan tidak bisa membuktikan tuduhannya. Sebagai pejabat negara dia (Dahlan) harusnya mengedepankan asas praduga tidak bersalah.

Penulis sendiri melihat Dahlan “setengah hati” mengungkap dugaan pemerasan BUMN. Dugaan penulis sangatlah beralasan. Pertama, Dahlan hanya menyampaikan oknum anggota DPR peminta upeti ke Badan Kehormatan DPR. Meskipun setiap orang dapat mengadukan anggota DPR yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melakukan pelanggaran. Akan tetapi, oknum DPR bila terbukti hanya dikenakan sanksi teguran lisan, tertulis, diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan, dan pemberhentian sebagai anggota DPR. Artinya Dahlan tidak sungguh-sungguh ingin membersihkan negeri ini dari laku korupsi.

Kedua, Dahlan belum melengkapi bukti-buktinya. Padahal BK DPR sudah menjelaskan bahwa bukti yang dimasukkan Dahlan hanyalah bukti sekunder. Ketidakseriusan melengkapi bukti terlihat dari tidak aktifnya Dahlan dan hanya menunggu bila BK DPR meminta. Padahal sebagai pihak yang menuduh anggota DPR harusnya lebih aktif mengumpulkan/memasukkan bukti-bukti.

Ketiga, Dahlan mengatakan tujuannya telah tercapai pasca menyetor nama-nama anggota DPR pemeras ke BK DPR. Tentunya kita semua kecewa atas penyataan ini. Dahlan yang awalnya getol berani membongkar anggota DPR pemeras berhenti ditengah jalan. Keempat, setelah nama-nama anggota DPR diketahui publik, tiba-tiba Dahlan menegaskan bahwa posisinya bukan pelapor. Dia hanya diminta menyetor nama-nama anggota DPR diduga pemeras. Serta tidak mau mengurusi rumah tangga orang lain (DPR). Menteri BUMN menyerahkan sepenuhnya kepada BK DPR untuk diproses atau tidak sama sekali.

Dari sikap Dahlan yang semakin melunak. Bola liar dugaan pemerasan DPR terhadap BUMN bisa “menguap”. Meskipun sampai sekarang kita yakin Dahlan tidak mungkin berani menyebut sejumlah oknum DPR pemeras tanpa ada bukti. Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja yakin Dahlan punya bukti kuat karena laporan itu bersumber dari para petinggi BUMN. Serta berharap Dahlan melapor secara resmi ke Komisi Pemberatasan Korupsi.

Sikap setengah hati Dahlan sebenarnya telah melanggar Pasal 108 ayat 2 KUHAP. Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik. Di saat yang sama sejumlah nama anggota DPR diduga pemeras “tersandera”. Status mereka tidaklah jelas, berimplikasi rusaknya nama baik mereka.

Save Dahlan

Agar bola liar BUMN sapi perah DPR tidak menyadera para pihak. Dahlan harusnya melaporkan dugaan tindak pidana ini ke lembaga penegak hukum. Dugaan pemerasan yang dilakukan anggota DPR tergolong tidak pidana korupsi. Dirut RNI Ismed Hasan Putro diprogram TV Mata Najwa mengaku pernah diperas anggota DPR yang meminta jatah 20 ribu ton.

Tindakan meminta “upeti” berupa jatah 20 ribu ton merupakan tindak pidana korupsi (pemerasan). Pemerasan oleh penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan bagi dirinya sendiri (vide: Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001).

Apanya yang dilakukan Dahlan mengingatkan penulis tentang sosok Wa Ode Nurhayati. Mantan Anggota DPR Fraksi PAN yang mengatakan terjadi praktik percaloan disetiap pembahasan anggaran. Aktor mafia anggaran diperankan para pimpinan badan anggaran DPR, anggota DPR dan Kementerian Keuangan. Walhasil penyataan itu bukannya disambut baik para koleganya, tetapi justru menjadi bumerang. Wa Ode Nurhayati dituduh telah melakukan pencemaran nama baik dan dilaporkan ke BK DPR. Serta diseret kedalam kasus suap Pengalokasian Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID). Sedangkan pihak-pihak yang disebut terlibat mafia anggaran tidak tersentuh sampai sekarang.

Dahlan harus belajar dari kasus Wa Ode Nurhayati. Agar tidak menjadi “korban” DPR berikutnya. Perlindungan terhadap Dahlan bisa dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Status Dahlan akan menjadi whistleblower tindak pidana korupsi. Keistimewaan whistleblower salah satunya berhak memperoleh jaminan keamanan dan perlindungan hukum (vide: Pasal 1 angka 3, UU Nomor 13 Tahun 2006).

Hal ini sejalan dengan Article 33 United  Nations Convention Against Corruption, 2003 yang memerintahkan setiap negara peserta konvensi untuk memasukkan ke dalam sistem hukumnya mengenai tindakan-tindakan yang bisa diberikan kepada pelapor tindak pidana korupsi atas perlakuan tidak adil yang diterimanya.

Status seseorang juga pada waktu menyampaikan suatu informasi, saran, atau pendapat kepada penegak hukum atau Komisi Pemberantasan Korupsi dijamin tetap, kecuali dari hasil penyelidikan dan penyidikan terdapat bukti yang cukup memperkuat keterlibatan pelapor dalam tidak pidana korupsi yang dilaporkan. Pertanyaan kemudian, apakah Dahlan memiliki keberanian melapor ke KPK? Tentu jawabannya hanya Dahlan yang tahu.

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...