Membongkar Hakim Agung Beraroma “Politik”
POLEMIK membatasi kewenangan DPR untuk terlibat dalam perekrutan hakim agung kini mulai dipermasalahkan. Gagasan itu, muncul gara-gara terkuaknya salah seorang Calon Hakim Agung (CHA) Sudrajad Dimyati melobi Anggota DPR, Bachrudin Nasori dari Fraksi PKB. Sudrajad dituding memberikan “amplop” kepada Bachrudin saat buang air kecil di Urinoir, salah satu ruangan toilet di gedung senayan wakil rakyat kita.
Meski tudingan tersebut, telah disangkal oleh yang bersangkutan, tetapi media sudah terlanjur mengeksposenya di ranah publik. Sehingga apa jadinya, mau tidak mau parlemen kembali tercoreng namanya, sebagai lembaga yang pantas diberi label “terkorup”. Kasus ini juga kembali mempertegas kalau citra parlemen atas hasil rilis TII (Transparency International Indonesia) berada dalam rangking kedua terkorup, berada dibawah lembaga kepolisian.
Bau tidak sedap, laku korupsi berupa gratifikasi terhadap DPR terkait dengan perekrutan calon hakim agung pun diamini oleh Ketua Komisi Yudisial, Imam Anshori kalau Komisi III pernah menawarkan uang sogok kepada Komisioner Komisi Yudisial (KY) agar meloloskan calon tertentu. Tiap komisioner telah disiapkan 200 juta rupiah.
Tidak berhenti sampai di situ saja, pengakuan Busyro Muqoddas, Mantan Ketua KY, yang kini menjabat Wakil Ketua KPK mengaku tak heran akan praktik cela seleksi pejabat publik di DPR yang masih menggurita, kata Bosyro “jangan berharap bisa lolos sebagai hakim agung bila tak mampu membayar uang pelicin dengan tarif 2 miliar rupiah.” Rentetan peristiwa ini semakin menambah deretan panjang kalau citra DPR kian hari makin terpuruk, berada dalam titik nadir.
Cita Rasa “Politik”
Kita sudah pasti mahfum, tidak perlu tersontak kaget, bukan kepalang, sudah terbiasa mendengar penghianatan yang dilakukan oleh wakil rakyat kita. Sejatinya, parlemen telah menjadi rahasia umum, tempat para oknum DPR melakukan perburuan rente, ATM Parpol. Sehinga jangan heran kalau posisi pejabat publik ini (CHA) yang akan diseleksi oleh DPR, dan siapa yang diloloskan adalah calon yang dapat mengamankan posisi oknum DPR. Tujuannya, tidak lain, agar oknum tersebut tetap dapat melancarkan aksinya, mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari anggaran Negara yang telah disediakan. Pun dengan berbagai macam modus operandinya, untuk me-mark up anggaran, yang telah dialokasikan melalui APBN.
Ibarat mata pisau yang bermata dua, dampak negatif dari pola rekrutmen yang dilakukan oleh DPR, melalui proses lobi-lobi dan barter jatah kekuasaan atas posisi calon hakim agung, lalu mendaulat hakim agung terpilih, maka hakim agung yang lahir dari “rahim” DPR, tidak berlebihan untuk mengatakan itulah hakim agung, yang memiliki cita rasa politik. DPR-nya sudah jelek, diikuti lagi oleh hakim agung yang direkrut juga minim moral dan etika. Dua mata pisau, DPR dan Hakim pada akhirnya akan memberangus makna subtnatif “keadilan” untuk rakyat.
Harapan untuk melahirkan hakim agung sebagai profesi luhur (officium nobille) yang bersandarkan pada simbol; kartika, cakra, candra, sari dan tirta, tinggal “pepesan kosong”, hanya sebagai konsep hukum yang tersusun rapi, dan melahirkan hakim yang gampang “membebek” dari kepentingan oknum DPR, para pemburu rente.
Kondisi ini lebih diperparah, dengan bergesernya “kewenangan besar” ranah kekuasaan eksekutif ke lapangan legislatif (legislative heavy). Legislatif saat ini tidak hanya berfungsi sebagai perancang dan pembentukan naskah perundang-undangan (legislasi). Namun diberi kewenangan tambahan “fungsi rekrutmen pejabat publik”. Sebagaimana diketahui saat ini, untuk menjadi pejabat-pejabat negara seperti hakim agung, hakim konstitusi, anggota BPK, komisioner KPU, komisioner Komisi Yudisial, gubernur Bank Indonesia, deputi gubernur Bank Indonesia, penentuan duta besar harus dilakukan melalui persetujuan atau pertimbangan dari DPR.
Akibat legislative heavy yang bergeser dalam tiga lapangan kekuasaan itu (eksekutif, legislatif, yudikatif: Montesqiue, dalam De l’Esprit des Lois: 1748) menyebabkan DPR satu-satunya “ujung tombak” penentu segala kebijakan pemerintahan. Sistem hukum yang berjalan dari “hulunya” yakni undang-undang, ada di tangan DPR. keran DPR untuk mengangkangi kekuasaan demikian semakin terbuka.
Mari kita lihat, dalam UUD NRI 1945, hal kewenangan DPR dalam seleksi hakim agung, ditegaskan dalam Pasal 24 A ayat (3) hanya berada pada tataran memberikan “persetujuan” (right to confirm) dari calon-calon yang diusulkan Komisi Yudisial. Namun DPR sebagai lembaga legislasi, melegitimasi kewenangan ilegalnya, melalui Pasal 8 ayat (2), (3), dan (4) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 18 ayat (4) UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (KY) pada dasarnya menegaskan calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dipilih satu dari tiga nama untuk setiap lowongan.
Komposisi tiga hakim yang harus diajukan oleh KY, untuk selanjutnya dipilih satu dari CHA yang diusulkan, mengindikasikan bahwa DPR melakukan perekrutan atas hakim agung bukanlah persetujuan semata, melainkan pemilihan yang mesti diawali dengan tahapan seleksi.
Jadi, DPR memang sengaja melakukan “korupsi politik” melalui “deligitimasi” KY sebagai lembaga yang “concuren” untuk menyeleksi CHA. DPR sengaja menciptakan “hulu” yang mana CHA yang tidak kompatibel dalam menjalankan fungsinya, sebagai benteng terakhir keadilan. Hakim agung tetap akan begitu-begitu saja, yakni hakim yang beraroma politis. Inilah yang dimaksud politisasi hakim agung.
Bongkar Kewenangan DPR
Untuk membongkar hakim agung yang beraroma “politik” ini, maka mari kita memperbaiki hulunya, undang-undangnya, sebagaimana yang dideskripsikan diatas. Membongkar hakim agung yang sarat politis, harus sejalan dengan “niat baik” pula membongkar undang-undang yang memberi legitimasi terhadap DPR untuk terlibat menyeleksi hakim agung.
Meskipun gugatan kewenangan DPR ihwal seleksi hakim agung sudah diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sejak April 2013 yang lalu oleh Koalisi Masyarakat untuk Peradilan Profesional. Proses persidangan sudah selesai, dan saat ini tinggal menunggu “ketok palu” hakim konstitusi. Saya agak berbeda dengan pendapat sebagian pengamat, dan praktisi hukum, kalau harus menunggu amandemen kembali UUD NRI 1945. Lalu bisa dicabut kewenangan DPR untuk menyeleksi hakim agung.
Tanpa mengamandemen UUD NRI 1945, juga dapat dihentikan keterlibatan DPR dalam penentuan pejabat publik melalui UU. Perihal persetujuan dan pertimbangan dilakukan melalui fit and proper tes “tidak ditegaskan” dalam UUD NRI 1945, hanya diatur dalam UU MA dan UU KY.
Maka cara yang dapat dilakukan, cukup dengan perubahan UU yang terkait dengan itu, dan konsisten menerapkan Pasal 24 A ayat (3) UUD NRI 1945, kalau DPR hanya memberikan persetujuan dalam pengangkatan hakim agung. Pemberian persetujuan dan pertimbangan itu sekiranya cukup melalui surat pimpinan DPR saja, kalau UU terkait perekrutan Hakim Agung hendak direvisi.
Kini faktor penentu itu, bola liar menggelinding ke DPR, karena DPR sebagai lembaga legislasi yang dapat melakukan revisi atas perundang-undangan. Toh, itu butuh keberanian oleh semua anggota DPR, kalau mau bersih-bersih, dan kembali dipercaya oleh publik. Jutaan rakyat Indonesia menaruh “simpul harapan” dipundak DPR, lembaga yang konon katanya, mewakili suaranya. (*)
Tulisan Ini Juga Dimuat diwebsite: Luwuraya.net