Bubarkan KPK, Melawan Rakyat
Dalam hukum sebab akibat (kausalitas), sesuatu terjadi karena ada sebabnya. Ada asap karena ada api. Air membeku dan mendidih karena penurunan dan peningkatan suhu. Hukum pun demikian, ia ada karena (sengaja) diadakan. Dimulai dari suatu kejadian yang kemudian melahirkan hukum; pidana, perdata, dan bidang-bidang hukum lainnya. Jadi, hukum tidak serta merta lahir tanpa sebab. Karena “hukum” sebagaimana yang kita pahami saat ini, adalah juga merupakan bagian dari “hukum sebab akibat”.
Tampaknya, hukum sebab akibat ini yang tidak dipahami oleh mereka yang mewacanakan pembubaran KPK. Hanya karena melihat satu atau dua “telur busuk” di KPK, kemudian mengambil kesimpulan subyektif kalau telur lainnya juga busuk. Padahal, masing-masing dari telur itu punya “induk” yang berbeda. Induk itu yang memasukan telur busuk ke KPK dengan atau tanpa sepengetahuan lainnya. Sehingga seharusnya, bukan KPK yang harus disalahkan atau dibubarkan, tetapi telur busuk dan induknya itu yang harus dikeluarkan dari KPK.
Karena kalau hanya persoalan satu-dua telur busuk dijadikan alasan pembubaran suatu lembaga negara, taruhlah KPK, maka seharusnya republik ini berdiri tanpa sebuah lembaga negara. Tanpa Polri, Kejaksaan dan Pengadilan. Karena begitu banyaknya raport merah ketiganya terkait perilaku korup aparatnya. Lantas apakah demikian, ketiganya harus dibubarkan? Jelas tidak.
Lagi pula, menjadikan risalah pembentukan KPK dalam UUKPK No 30/2002 bahwa KPK adalah lembagaad hoc (sehingga sewaktu-waktu bisa dibubarkan jika Polri dan Kejaksaan sudah efektif ) sebagai alasan pembubaran KPK, adalah pandangan keliru. Sama kelirunya dengan memakai alasan pemborosan anggaran untuk mengkritik KPK. Karena KPK bukan lembaga negara “latah”, tidak seperti lembaga negara lain yang dibentuk karena persoalan “gila pangkat jabatan”.
KPK memiliki fungsi jelas, yaitu pemberantasan korupsi. Domain kasus yang menjadi kewenangan KPK adalah korupsi, hanya korupsi. Itupun hanya menyangkut korupsi diatas satu milyar menurut UUKPK. Berbeda halnya dengan Polri dan Kejaksaan, yang selain mengurusi korupsi, juga tindak pidana konvensional lain.
Jadi menurut hemat penulis, jikapun Polri dan Kejaksaan sudah maksimal dalam pemberantasan korupsi, KPK harus tetap ada. Mengapa? Karena KPK hanya mengurusi korupsi. Selain karena payung hukum KPK adalah undang-undang yang melibatkan pemerintah dan DPR (sebagai wakil rakyat). Berbeda lembaga lain semisal Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang hanya berdasarkan Keppres dan menguatkan citra sang Presiden.
Menafikan Sejarah
Masih terkait hukum sebab akibat, bahwa sesuatu terjadi karena ada sebabnya. Demikian pula KPK. Ia takkan ada dengan sendirinya tanpa ada yang membuatnya ada. KPK lahir atau ada karena sejarah, bukan Presiden atau ketua DPR. Sejarahlah yang membuat KPK itu ada! Jika demikian, membubarkan KPK sama dengan menafikan sejarah.
Sejarah yang mana? Sejarah reformasi. KPK adalah buah reformasi. Bersama dengan Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial serta lembaga negara “produk reformasi” lainnya. Keberhasilan menumbangkan rezim Orde Baru yang despotis dan korup ketika itu juga menuntut reformasi di segala bidang, termasuk lembaga-lembaga negara. Lembaga-lembaga negara lama (beberapa diantaranya menjadi budak rezim), dihapus. Kemudian lembaga baru yang lebih dibutuhkan untuk merekonstruksi tatanan kenegaraan yang lebih demokratis, dibentuk. Satu diantaranya adalah KPK.
Pembentukan KPK bukan tanpa sebab. Korupsi yang menjamur, terstruktur, sistematis dan masif di republik yang tidak pernah belajar ini, adalah alasan utama KPK dibentuk. Soeharto berhasil berkuasa selama tiga puluh dua tahun karena didukung oleh sistem yang despotis dan korup. Kekayaan negara dibagi-bagi kepada kerabat dan teman dekat. Akibat korupsi clientalisme Orba, Indonesia menanggung beban hutang yang tak terhitung jumlahnya. Hingga kini belum lunas. Sampai-sampai anak yang masih ada di kandungan Ibunya juga sudah menanggung hutang.
Indonesia dibawah rezim Orba adalah republik yang despotis dan korup. Dwight King menyebutnya swbagai Bureaucratic Authoritarian Regime, yang memperoleh insprirasi dari karya Juan Linz dalam studi empirisnya mengenai Spanyol dibawah pimpinan Jenderal Franco. Konsep ini kemudian dipakai oleh sejumlah ilmuwan dalam studi mengenai Amerika Latin, misalnya oleh Guillermo O’Donnell dengan negara otoriter birokratiknya. Sedemikian kuatnya negara Orba sehingga Benedict Anderson menamakannya sebagai The State-Qua State. Richard Robison menamakannya Bureaucratic Capitalist State. Olle Tornquist menyebut Indonesia sebagai Rentenir Capitalist State. Dan Mochtar Mas’oed menyebut Indonesia sebagai Negara Birokratik Otoriter Korporatis.
UUD 1945 (sebelum amandemen) dipakai Soeharto untuk melanggengkan dinasti dan memupuk oligarki. Akibatnya berkembang praktek abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) di hampir semua lini birokrasi. Penegakan hukum (law enforcement) lemah, termasuk dalam pemberantasan korupsi, karena penegak hukumnya menjadi “budak rezim”.
Juga, KPK bukan satu-satunya lembaga anti korupsi yang pernah dibentuk semenjak republik ini berdiri. Menurut catatan penulis, setidaknya ada tujuh lembaga anti korupsi yang pernah dibentuk. Dimulai dari Tim Pemberantasan Korupsi/TPK (1967), Komisi Anti Korupsi/ KAK, Komisi Empat (1970), Operasi Tertib/OPSTIB (1977), Tim Pemberantasan Korupsi/TPK (1982), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara/ KPKPN (1999), dan Tim Gabungan Pemberantasan Tipikor/TGPTPK (1999). Sebagian diantaranya tidak maksimal. Selain karena “ekornya” dipegang oleh rezim (TPK pada rezim Orba), juga “sengaja dimatikan”, seperti KPKPN yang dimatikan oleh DPR karena dianggap ‘menganggu”.
Sehingga kemudian, atas tuntutan reformasi, masyarakat menuntut dibentuknya lembaga yang khusus menangani korupsi. Seperti Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong, atauCorruption Practises Investigation Bureau (CPIB) di Singapura pun menguat. Maka dibentuklah KPK, dengan fungsi utama pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Amanat ini kemudian dituliskan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi “dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Undang-undang ini lahir karena korupsi sudah merebak di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas, sistematis dan terorganisir. Korupsi sudah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Korupsi menjadi penyebab timbulnya krisis ekonomi, merusak sistem hukum dan menghambat jalannya pemerintahan yang bersih dan demokratis sehingga menyulitkan terwujudnya pemerintahan yang baik. Dengan kata lain, korupsi sudah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa tetapi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Melawan Rakyat
Wacana pembubaran KPK juga bertentangan dengan asas kedaulatan rakyat. Karena KPK lahir dari aspirasi rakyat pasca reformasi. Rakyat yang ingin melihat Indonesia bebas dari korupsi. Rakyat yang masih memiliki martabat dan harga diri. Rakyat yang menganggap korupsi sebagai musuh bersama. Rakyat yang sadar dan cerdas bahwa korupsi hanya akan merusak sistem hukum dan ekonomi. Dan rakyat yang merasa malu, negaranya dikatakan “surga bagi para koruptor”
Rakyat sudah letih dan capek saban hari direcoki berita tentang korupsi. Tatkala negara lain sudah melesat jauh dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kita masih direcoki dengan masalah korupsi. Korupsi seolah menjadi “musuh utama negara yang belum terkalahkan” semenjak enam puluh enam tahun usia republik ini. Terorisme (mudah) dilumpuhkan, tapi korupsi, penegak hukum dibuat keok.
Jadi nampaknya, wacana pembubaran KPK hanyalah pengalihan isu dari isu lain yang lebih besar. Masalah klasik yang menghambat kemajuan negara ini adalah elitnya yang pintar mengarang dan mengalihkan isu. Bukan pintar membuat rumusan kebijakan yang pro rakyat. Jadi, kalau ada yang rusak di KPK, maka mari sama-sama kita benahi. Bukan malah dibubarkan. Karena KPK sudah menunjukan kinerja yang efektif dan produktif dalam upaya pemberantasan korupsi. Rakyat yang akan mengawal KPK. Maka jika ada yang ingin membubarkan KPK, berarti ia memilih untuk berhadapan langsung dengan rakyat.