Pemilu legislatif tinggal menghitung hari. Pelbagai cara dilakukan calon legislatif, mulai dari bagi-bagi uang, voucher pulsa sampai pembagian sembilan bahan pokok seperti gula pasir dan minyak goreng. Tujuan hanya satu mempengaruhi pemilik suara untuk memilihnya, guna menduduki kursi parlemen.
Walhasil perilaku ini menjadi salah satu penyebab mahalnya ongkos maccaleg. Seorang teman (caleg DPRD Jeneponto) pernah mengutaran kegalauan hatinya karena harus mengocek kantong dalam-dalam untuk bertarungan 2014. Tak tanggung-tanggung ia menyediakan minimal Rp 400 juta untuk membeli suara. Karena ibarat suara adalah barang yang harus dihargai mengikuti harga pasaran.
Penuturan teman saya merupakan potret nyata betapa Pemilu diwarnai politik transaksional. Uang menjadi penentu kemenagan, tingkat kecerdasan berada diurutan belakang. Padahal seorang anggota parlemen akan menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Bukan memilih orang-orang yang tahunya lagu setuju mengutip syair lagu Iwan Fals.
Lingkaran Setan
Mahalnya ongkos maccaleg sebenarnya tidak dengan serta_merta kita langsung mengkambing hitamkan masyarakat selaku pemilik suara. Apa yang terjadi saat ini adalah imbas dari perilaku caleg itu sendiri. Mereka telah membiasakan masyarakat menerima uang. Lebih parah lagi suksesi pemilihan kepala daerah juga ikut mempraktikkan money politic. Lahirlah istilah serangan fajar, ada uang ada suara dan celutupan pemuda kampung caleg ki’ rokok rong, ketika melihat mobil mewah masuk desa.
Kembali ke konteks membeli suara, berbanding lurus mahalnya ongkos politik. Mau tidak mau memaksa seorang caleg untuk mencari sponsor. Pada titik inilah lingkaran setan korupsi terbentuk. Di mulai dari sponsor memberi uang kepada sang caleg, diteruskan membeli suara agar dipilih, setelah duduk di kursi parlemen maka sang legislator merampok uang negara untuk membayar kembali “utangnya” ke sponsor sambil memperkaya diri sendiri. Itulah sebabnya megapa praktik korupsi sering melibatkan pihak sponsor dalam hal ini korporasi dan anggota parlemen.
Pertanyaan kemudian, bagaimana menciptakan parlemen bersih ke depan dengan dominasi muka-muka lama? Contonya untuk anggota parlemen pusat tercatat dari 560 anggota DPR, 529 diantaranya masih mencalonkan diri. Komposisinya 501 mencalonkan kembali jadi anggota DPR dan ada sekitar 19 orang mencalonkan Dewan Perwakilan Daerah. Serta sudah rahasia umum anggota parlemen Pemilu 2009 banyak diterpah dugaan korupsi seperti kasus Hambalang, Wisma Atlet, Mafia Banggar, Impor Daging Sapi, Pengadaan Al Quran, terakhir dugaan permintaan Tunjangan Hari Raya buat anggota Komisi VII dari SKK Migas yang sementara bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Tawaran Solusi
Guna langkah preventif terciptanya parlemen doyan korupsi. Maka sejumlah aktivis Indonesia Corruption Watch baru-baru ini melaksanakan kampanye anti politik uang di Taman Ismail Marzuki (28/2/2014). ICW bersama Gerakan Pemilu Bersih mengajak masyarakat turut menolak politik uang dan siap mengambil bagian mengawasi pemilu, serta sambil menguatkan satu sama lain, mengungkap para pelaku politik uang.
Lebih jauh Penulis mengkonkritkan dengan menawarkan solusi guna menuju parlemen bersih 2014. Pertama, masyarakat harus berani bersikap menolak pemberian caleg baik berupa uang maupun hadiah. Alasannya karena pemberian tersebut merupakan cikal bakal korupsi ke depan. Dan mengajarkan masyarakat untuk menerima suap atau gratifikasi. Berujung kepada pembudayaan laku koruptif.
Kedua, pihak penyelenggara Pemilu dalam hal ini Bawaslu sampai Panitia Pengawas Lapangan harus menindak tegas pihak-pihak pelaku politik uang di lapangan. Ketiga, masyarakat harus aktif mengawasi dan melaporkan Penyelenggara Pemilu yang menerima uang atau hadiah dari calon legislatif atau pengurus partai politik. Bagi penyelenggara yang menerima bisa dijerat pasal-pasal tindak pidana korupsi.
Tentang gratifikasi umpamanya. Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kurang lebih menegaskan setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap menerima suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
Penjelasan Pasal 12B ayat 1 menyebut gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discout), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Untuk subjek gratifikasi atau si penerima (baca: penyelenggara Pemilu) meskipun bukan seluruhnya Pegawai Negeri Sipil. Tetapi Pasal 1 angka 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 menegaskan pegawai negeri adalah meliputi pegawai negeri, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, dan orang yang menerima gaji dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Keempat, melakukan “penghukuman” caleg-caleg yang disinyalir terkait tindak pidana korupsi. Misalnya tidak memilih caleg diduga terlibat kasus Bansos Sulsel. Karena hakikinya seorang anggota parlemen memperjuangan kepentingan rakyat guna menuju kesejahteraan. Bukan malah merampok uang rakyat.