Pengertian Hermeneutika
Sebahagian kalangan akademisi hukum menganggap bahwa aliran realisme dalam ilmu hukum adalah puncak kemenangan ilmu hukum dalam mengembangkan dirinya secara empiris, tetapi dengan munculnya posmodernisme diparuh abad ke- 20 muncul juga aliran critical legal studies. Aliran critical legal studies pada prinsipnya mencoba untuk mengembangkan aspek radikal dari realisme hukum (Munir fuady: 2005 dalam postmodernisme, critical race theories dan critical Marxist) menerapkannya ke dalam kerangka berpikir dari Marxism, khususnya dalam hal kritikan kaum Marxism terhadap pemikiran kaum liberal. Pemikiran hukum liberal ini mengajarkan bahwa hukum dibuat oleh parlemen yang mewakili suara dari rakyat, sedangkan dalam memutus perkara, hakim paling jauh hanya menafsirkan hukum, bukan membuat hukum. Olehnya itu gerakan critical study menggunakan pisau analisis berupa hermeneutika.
Jacques Derrida (Munir Fuadi: 2005), filsuf postmodern yang terkenal dengan teorinya “dekonstruksi” menolak anggapan kaum realis yang menyatakan bahwa bahasa menunjukan realitas yang sebenarnya sehingga bahasa dapat menyingkap suatu kebenaran yang pasti. Jacques Derrida beranggapan bahwa bahasa tidak dapat mengungkapkan realita yang sesungguhnya, karena itu diperlukan penggunaan penafsiran terhadap teks tertulis yang disebut dengan hermeneutika.
Secara etimologi, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Maka kata benda heremenia secara harfia dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Istilah ini diambil dari mitologi Yunani pada tokoh yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu fungsi hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan yang dipergunakan oleh pendengarnya. Oleh karena itu hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai ”proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti” (Richard E. Palmer, 1969:3).
Demikian juga, Sayyed Hossein Nashr (1989:71) memakai kata ”hermes” untuk sebutan Nabi Idris yang bertugas menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa ”langit” dapat dipahami oleh manusia yang berbahasa ”bumi”. Menurut Fahruddin Faiz (2002: 21) dalam aktivitas penafsiran itu terdapat tiga unsur yaitu:
- Tanda, pesan, atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa Nabi Idris.
- Perantara atau penafsir.
- Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.
Hermeneutika merupakan metode atau fundamen dan dasar penalaran manusia untuk menambah kejelasan dari suatu bahasa, sehingga bahasa yang digunakan itu dapat dimengerti.
Pada abad akhir-akhir ini, Schleiermacher menghidupkan kembali topik tentang hermeneutik. Dan ini dikumandangkan lebih luas lagi oleh penulis biografinya, yaitu Wilhelm Dilthey. Pada zaman ini, hermeneutik telah diangkat oleh beberapa filsuf, diantaranya Hans Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dan Jacques Derrida.
Untuk melihat metode dan cara filsuf tersebut menggunakan pendekatan hermeneutik, maka diuraikan secara singkat sebagai berikut (dalam Sumaryono:1999)
Menurut Schleiermacher (1768-1834), ada dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpreasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Bahasa gramatikal merupakan syarat berpikir setiap orang. Sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seorang menangkap setitik ”cahaya” pribadi penulis. Oleh karenanya untuk memahami pernyataan-pernyataan pembicara orang harus mampu memahami bahasanya sebaik memahami kejiwaannya. Semakin lengkap pemahaman seseorang atas suatu bahasa dan psikologi pengarang, akan semakin lengkap pula interpretasinya. Kompetensi linguistik dan kemampuan mengetahui seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam bidang seni interpretasi. Schleiermacher mengemukakan ada beberapa tahap untuk melakukan interpretasi, tahap pertama ialah interpretasi dan pemahaman mekanis: pemahaman dan interpretasi dalam kehidupan kita sehari-hari, di jalan-jalan, bahkan di pasar, atau dimana saja orang berkumpul bersama untuk berbincang-bincang tentang topik umum. Taraf kedua ialah taraf ilmiah: dilakukan di universitas-universitas, dimana diharapkan adanya taraf pemahaman dan interpretasi yang lebih tinggi. Taraf kedua ini dasarnya adalah kekayaan pengalaman dan observasi. Taraf ketiga ialah taraf seni: dimana tidak ada aturan yang mengikat atau membatasi imajinasi.
Wilhelm Dilthey (1833-1911) mengemukakan bahwa dalam hal kita ingin melakukan interpretasi, terlbih dahulu harus memisahkan antara ilmu pengetahuan alam (naturwissenschaften) dan ilmu pengetahuan batin manusia (geiswissenschaft). Semua ilmu pengetahuan alam fisik seperti biologi, kimia, fisika dan ilmu-ilmu lainnya ternasuk dalam naturrwissenschaft, sedangkan semua ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia seperti sejarah, psikologi, filsafat, ilmu-ilmu sosial, seni, agama, kesusasteraan, dan ilmu-ilmu lain yang sejenis masuk dalam geiswissenshaften. Menurut Dilthey ”hidup” penuh dengan makna. Ia mengatakan bahwa bila kita mencoba menjelaskan tentang alam, saat itu pula kita memahami kehidupan batin (psychic life). Sesungguhnya kita tidak atau bahkan tidak dapat memahami alam sebab alam bukanlah buatan manusia. Kita dapat memahami hidup, sebab hal ini berhubungan erat dengan diri kita sendiri. Namun tidak berarti kita dapat memahami diri sendiri sepenuh-penuhnya, meskipun pengalaman-pengalaman kita cukup jelas kelihatan. Memahami diri sendiri sendiri tidak selalu merupakan fakta. Kita masih memerlukan petunjuk dari ”ungkapan hidup” untuk dapat memahami diri kita sendiri. Disinilah Dilthey memunculkan kata erfahrung yang diartikan sebagai pengalaman hidup (Richard Palmer, 1969:107).
Hans Gadamer berpendapat bahwa hermeneutik adalah metode yang dipergunakan oleh ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu tentang manusia. Gadamer membahas secara panjang lebar empat konsep tentang manusia yang memperkaya hermeneutik, empat konsep tersebut adalah:
- Bildung, sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mengarah kepada batin, yaitu tingkah laku pikiran kita sendiri yang mengalir secara harmonis dari pengetahuan dan perasaan tentang seluruh usaha moral dan intelektual ke dalam sensibilitas (kemampuan merasakan) dan karakter.
- Sensus cummunis, pandangan tentang kebaikan umum, cinta komunitas, masyarakat, kemanusiaan, dan kebijaksanaan dalam pergaulan sosial.
- Pertimbangan, kemampuan untuk memahami hal-hal khusus sebagai contoh yang universal, dan kemampuan ini akan melibatkan perasaan, konsep, prinsip, dan hukum-hukum yang dapat diolah oleh manusia.
- Taste atau selera, kemampuan intelektual untuk membuat diferensiasi atau pembedaan, tetapi kemampuan itu tidak dapat didemonstrasikan.
Menurut Jurgen Habermas pemahaman hermeneutik pada dasarnya membutuhkan dialog, sebab proses memahami adalah proses kerja sama dimana pesertanya saling menggabungkan diri satu dengan yang lainnya secara serentak dalam dunia kehidupan yang terdiri dari tiga aspek, yaitu dunia objektif, dunia sosial, dan dunia subjektif. Dunia objektif adalah totalitas semua entitas atau kebenaran yang memungkinkan terbentuknya pernyataan-pernyataan yang benar. Jadi realitas yang memungkinkan kita berpikir secara benar tentang semua hal, termasuk manusia dan binatang. Dunia sosial adalah totalitas semua hubungan interpersonal atau antarpribadi yang dianggap sah dan teratur. Dunia subjektif adalah totalitas pengalaman subjek pembicara atau sering juga disebut ”duniaku sendiri” atau ”pengalamanku sendiri”. Jika dihubungkan dengan empat konsep tentang tindakan, maka pemahaman menjadi sangat eksprensial, yaitu:
- Dalam hubungannya dengan tindakan teologis, pemahaman menggambarkan tujuan, yaitu bahwa setiap tindakan manusia mempunyai tujuannya sendiri.
- Dalam hubungannya dengan tindakan normatif, pemahaman menandai hal-hal yang bersifat normatif, seperti pengendara menghentikan kendaraannya pada saat traffic light menunjukan warna merah.
- Dalam hubungannya dengan tindakan dramaturgik, pemahaman dapat ditunjukan dengan cara misalnya ”kita berpura-pura melakukan sesuatu tindakan yang lain pada saat kita secara tiba-tiba berpapasan dengan orang yang tidak kita sukai.
- Dalam hubungannya dengan tindakan komunikatif, pemahaman merupakan suatu peristiwa perhubungan bahasa dalam kaitan ruang dan waktu. Pemahaman ini terjadi dalam lebenswelt atau sisi transedental dimana pembicara dan pendengarnya bertemu satu sama lain. Jadi lebenswelt merupakan dunia pemahaman atau dunia dimana akal dan kesadaran kita bertenu dengan akal dengan kesadaran orang lain secara timbal balik dalam konteks sosial.
Paul Riceoeur, hanya mengungkapkan bahwa setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat makna-makna yang terkandung dalam kesusatraan. Penekanan hermeneutik oleh Riceoeur yaitu dalam melakukan pemahaman bukanlah memperoyeksikan diri ke dalam teks, melainkan membuka diri terhadapnya. Penafsir selalu dalam keadaan berada di tengah-tengah teks dan tidak hanya di depan atau pada permulaan atau pada akhir teks saja.
Pendapat mengenai interpretasi oleh Jean Jacques Derrida memusat dalam bukunya yang berjudul La Dessimination. Dalam buku tersebut disebutkan, sebuah teks tidak akan merupakan teks jika dalam pandangan sekilas tidak menyembunyikan hukum-hukum komposisinya dan aturan permainannya. Oleh karena itu memahami sebuah istilah pada dasarnya adalah lebih dari pada sekedar mengetahui makna atau tanda-tanda kata yang dipergunakan dalam ucapan. Idealnya, pendengar atau pembaca harus ambil bagian dalam kehidupan pengarang atau pembicara sehingga ia dapat memahaminya. Inilah yang dimaksud istilah ”kelayakan” atau ”kepatutan” (Derrida, 1972:70-71)
Hermeneutika, tidak hanya melakukan penafsiran terhadap teks, tetapi juga melakukan interpretasi terhadap perilaku manusia. Kemudian berkembang menjadi hermenutika hukum yaitu melakukan penafsiran terhadap kehidupan manusia dan produk-prodok kulturnya yakni teks-teks yuridikal.