Menentukan Arah Republik

Tidak ada negara yang mampu berdiri tanpa ditopang demokrasi. Apapun bentuk dan sistem pemerintahan yang dianut, tidak akan kokoh tanpa ditopang demokrasi. Seburuk-buruknya demokrasi, dia masih lebih baik dari Tirani. Itu yang dikatakan Plato, Aristoteles dan Polybius sejak ribuan tahun lalu.
Demokrasi menopang bentuk negara kesatuan dan sistem pemerintahan presidensil yang disepakati sebagai pilihan sejak negara ini diproklamirkan oleh founding parents enam dasawarsa silam. Sejak negara yang bernama ‘Indonesia’ ini diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Kita ingin menegakkan demokrasi konstitusional (constitutional democracy) yang berpihak pada asas daulat rakyat, bukan daulat partai.

Pilpres; Memperkuat Demokrasi
Kita memilih demokrasi sebagai nilai, maka kita siap untuk melaksanakan dan mengawal demokrasi itu. Kita pernah hidup dalam alam jahiliyah Orde Baru dimana demokrasi dipasung dan dikerangkeng dalam otoritarianisme. Jelas kita tidak ingin sejarah kelam itu terulang kembali. Karena sekali lagi, seburuk-buruknya demokrasi, dia masih lebih baik dari Tirani
Pada 9 Juli nanti, kita akan melaksanakan pemilihan umum calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Tidak lama lagi, kita akan memiliki pemimpin (presiden) yang akan menakhodai republik ini lima tahun kedepan. Pemilu adalah perwujudan asas kedaulatan rakyat. Disini – kita sebagai rakyat – berdaulat penuh untuk memilih figur yang dianggap layak menjadi presiden Tanpa paksaan, intimidasi dan intervensi dari pihak manapun, termasuk negara. Semuanya bergantung pada kecakapan dan kecerdasan kita dalam memilih.
KPU sudah mengadakan 6 kali debat calon presiden terkait visi-misi mereka. Ditambah informasi lain di jagad maya, berseliweran diantara batas fakta dan opini. Melalui debat visi misi tersebut, kita sebagai demos (rakyat) telah memiliki persepsi tentang rekam jejak dari calon presiden yang akan menuntun kita ke bilik suara.
Demokrasi menjadi kata kunci disini. Mengelola negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi seperti Indonesia membutuhkan komunikasi dialogis, bukan dengan kekuatan senjata (power army). Kita hidup sebagai negara-bangsa (nation state) yang dihuni warga negara (citizen), bukan kekaisaran yang bertumpu pada kekuatan militer.
Sebagai contoh, salah satu calon presiden dari dua kubu yang bertarung, Jokowi berkunjung (kampanye) ke Papua untuk mendinginkan “bara dalam sekam” itu. Kita tahu, selama ini persoalan papua semata dilihat dari pendekatan militer, bukan komunikasi dialogis. Hal ini patut kita sambut baik karena sangat berarti bagi masyarakat Papua. Setidaknya mereka dirangkul dan diyakinkan, kalau “Papua adalah Indonesia, dan Indonesia adalah Papua.” Papua dan Indonesia dalam “satu nafas” yang sama.
Konflik horizontal bernuansa SARA juga masih menjadi pekerjaan rumah yang gagal diselesaikan oleh pemimpin sebelumnya. Sejumlah kasus kekerasan bermotif SARA secara perlahan-lahan mengikis kepercayaan dunia internasional yang selama ini menganggap Indonesia sebagai contoh negara demokrasi yang toleran. Hal ini diperparah dengan berlarut-larutnya kasus pelanggaran HAM masa lalu, tanpa penyelesaian. Kita butuh pemimpin yang menghargai kemajemukan dan tidak memandang perbedaan sebagai ancaman.
Dalam isu ekonomi, visi misi dua pasangan capres-cawapres menunjukan pertarungan dua kutub ideologi ekonomi dunia yang saling bertentangan. Prabowo-Hatta dipandang lekat dengan kebijakan ekonomi pro-liberal. Meski Prabowo mengusung jargon tolak intervensi asing dalam kebijakan ekonomi Indonesia, namun sulit baginya untuk meyakinkan publik dengan posisi Hatta Rajasa (sebagai cawapres dan menteri yang membidangi urusan perekonomian selama di kabinet SBY) yang selama ini dikenal sebagai penganut paham ekonomi liberal.
Sementara lawannya, Jokowi, lebih dikenal dan lekat dengan konsep ekonomi kerakyatan. Jejak rekam selama di Solo dan Jakarta setidaknya sudah membuktikan itu. kebijakan revitalisasi pasar tradisional dan membatasi izin pendirian supermarket selama menjadi walikota Solo dipuji oleh banyak pengamat. Revitalisasi pasar tanah abang, keputusan untuk tidak membuka izin lagi bagi pendirian mall selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sangat lekat dengan konsep ekonomi kerakyatan itu. Kita butuh pemimpin yang melayani rakyat, bukan melayani asing.

Sumber Gambar: kelaspakteha.blogspot.com

Sumber Gambar: kelaspakteha.blogspot.com

Menegakkan Konstitusi
Sekali lagi demokrasi. Jangan melihat kontestasi pilpres dalam ruang sempit; semata-mata perebutan kursi. Pilpres harus dilihat sebagai satu desain besar filosofi bernegara. Bagaimana pilpres mampu menghasilkan seorang pemimpin (presiden) yang mampu menegakkan konstitusi. Pemimpin yang mengenal, dikenal dan tidak berjarak dengan rakyatnya. Kita tidak memilih raja dalam rezim monarki, tapi seorang presiden dalam rezim republik. Kita memilih presiden yang melayani rakyat, bukan seorang Jenderal yang memerintah pasukan.
Tidak sulit bagi pasangan capres-cawapres untuk mengerti dan paham dengan apa yang publik butuhkan. Mereka tidak perlu bertanya pada rakyat secara langsung, meski tidak dilarang. Karena konstitusi sudah menjawab apa yang rakyat butuhkan. Jawaban itu sudah termuat dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945; salah satunya adalah “memajukan kesejahteraan umum.”
Dalam aspek ekonomi, makna dari frasa “memajukan kesejahteraan umum” itu terhubung dalam Pasal 33 UUD 1945. Pasal itu masih otentik sejak awal dirumuskan, disahkan, dan tetap sama meski telah melewati empat tahap amandemen konstitusi dalam kurun waktu 1999-2002. Bagi para pengamat ekonomi, tidak sulit menafsirkan mazhab ekonomi yang termuat dalam konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945. Tulisan ini sedikit mengisi ruang kosong yang termuat dalam visi dan misi pasangan capres-cawapres dalam bidang ekonomi.
Kemudian, dalam upaya penguatan sistem presidensil, presiden terpilih jangan berkaca apalagi berguru pada rezim sebelumnya yang keliru mengelola negara. Dalam desain kabinet untuk menguatkan sistem presidensil misalnya, presiden lalu gagap menafsirkan kewenangan konstitusionalnya sebagai kepala negara (chief of state) sekaligus kepala pemerintahan (chief of executive).
Konstitusi memberikan kewenangan penuh kepada presiden untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, termasuk dalam menentukan desain kabinet. Tapi kewenangan ini di-bonsai- sendiri oleh presiden dengan lebih mengedepankan lobi politik ketimbang menggunakan hak prefogatifnya. Presiden menempatkan konstitusi sebagai “dadu” dalam arena perjudian politik yang penuh intrik dan konspirasi melalui pembentukan sekretariat gabungan (setgab) yang dalam perjalanannya “menyandera” presiden. Presiden menempatkan dirinya sebagai “pelayan parpol’, bukan kepala negara.
Desain kabinet bukan kabinet ahli (zaken kabinet), namun kabinet yang diisi oleh politisi. Penempatan banyak kader parpol untuk mengisi jabatan sejumlah pos kementerian tidak berdasar prinsip “right man in the right place”, namun lebih terkesan sebagai politik “bagi-bagi kursi” antara presiden dengan parpol mitra koalisinya. Hasilnya fatal, sejumlah kementerian yang dijabat kader parpol mendapat rapor merah. Selain kinerjanya jeblok, beberapa diantaranya juga terlibat kasus hukum. Misal dalam kasus Hambalang (Kemenpora), SKK Migas (ESDM), Suap Impor Daging Sapi (Kementan), dan korupsi dana haji (Kemenag).
Seyogianya presiden mahfum dan paham, menteri yang berasal dari parpol tetap memiliki kepentingan ganda; antara jabatan sebagai menteri negara dan pengurus parpol. Kondisi ini menyebabkan kegamangan dan bisa menyebabkan pemerintahan berjalan tidak efektif. Sebagai organisasi politik, parpol tetap memiliki kepentingan pragmatis. Menteri yang berasal dari parpol akan terbawa dengan kepentingan pragmatis itu. Kita menginginkan kabinet ramping-efektif yang diisi kalangan ahli, bukan kabinet gemuk yang hanya mementingkan kursi.

Wiwin Suwandi, S.H., M.H.

Advokat, Pegiat Tata Negara dan Antikorupsi di ACC Sulawesi

You may also like...