Saksi Testimonium De Auditu (hersay)

Hearsay berasal dari kata hear yang berarti mendengar dan say yang berarti mengucapkan. Oleh karena itu, secara harfiah istilah hearsay berarti mendengar dari ucapan (orang lain). Jadi, tidak mendengar sendiri fakta tersebut dari orang yang mengucapkannya sehingga disebut juga sebagai bukti tidak langsung (second hand evidence) sebagai lawan dari bukti langsung (original evidence). Karena mendengar dari ucapan orang lain, maka saksi de auditu atau hearsay ini mirip dengan sebutan report, gosip, atau rumor.

Dengan demikian menurut Munir Fuady (2006: 132) yang dimaksud dengan kesaksian tidak langsung atau de auditu atau hearsay adalah “Suatu kesaksian dari seseorang di muka pengadilan untuk membuktikan kebenaran suatu fakta, tetapi saksi tersebut tidak mengalami/mendengar/melihat sendiri fakta tersebut. Dia hanya mendengarnya dari pernyataan atau perkataan orang lain, di mana orang lain tersebut menyatakan mendengar, mengalami, atau melihat fakta tersebut sehingga nilai pembuktian ter­sebut sangat bergantung pada pihak lain yang sebenarnya berada di luar pengadilan. Jadi, pada prinsipnya banyak kesangsian atas kebenaran dari kesaksian tersebut sehingga sulit diterima sebagai nilai bukti penuh.“

Ada beberapa pengecualian saksi de auditu diperkenankan untuk didengar Kekecualian tersebut, antara lain, adalah sebagai berikut:

  1. Jika saksi yang sebenarnya sudah meninggal dunia.
  2. Jika saksi yang sebenarnya jatuh sakit atau berada di luar negeri sehingga tidak mungkin dihadirkan di pengadilan.

Mengenai saksi tidak langsung ini, si A menjadi saksi di pengadilan, di mana si A mendengar dari si B bahwa si B telah melihat, mengalami, atau mendengar (dengan panca indranya sendiri) bahwa suatu fakta telah terjadi. Dalam hal ini, si B sebenarnya dapat berkedudukan sebagai saksi langsung, tetapi karena tidak datang ke pengadilan untuk bersaksi, dia bukan merupakan saksi, dan si A merupakan saksi tidak langsung (de auditu/ hearsay).

Oleh karena itu, disebutkan saksi tidak langsung karena saksi yang menghadap pengadilan tidak menyaksikan langsung suatu peristiwa, tetapi hanya mendengar dari ucapan orang lain, di mana orang lain tersebut tidak dibawa ke pengadilan.

Saksi de auditu atau hearsay tersebut merupakan model kesaksian yang dikenal, tetapi pada prinsipnya tidak diakui kekuatannya sebagai alat bukti penuh, baik dalam sistem hukum Eropa Kontinental maupun dalam sistem hukum Anglo Saxon. Meskipun saksi de auditu ini dikenal, baik dalam sistem hukum Eropa Kontinental maupun dalam sistem hukum Anglo Saxon, khususnya dalam sistem hukum Anglo Saxon, doktrin hearsay bersama-sama dengan sistem juri dan eksaminasi silang (cross examination) telah merupakan trio andalan utama yang sangat populer dalam hukum acaranya.

Akan tetapi, meskipun sekarang hukum tentang saksi de auditu merupakan Cinderela dari sistem hukum pembuktian Anglo Saxon, se-benarnya apabila ditilik dari sejarahnya, justru perkembangannya da­lam sistem hukum Anglo Saxon tersebut bisa dikatakan relatif terlambat. Perkembangannya baru terjadi pada akhir abad ke-17. Meskipun ber-kembangnya sangat pesat, di mana perkembangannya pada tahap-tahap awal masih mengakui (belum menolak) saksi de auditu, hanya sebagai konfirmasi bagi alat-alat bukti lainnya, sampai kemudian hukum ke­saksian de auditu tidak diterima sebagai alat bukti, tetapi dengan sangat banyak pengecualiannya.

Mengapa alat bukti saksi de auditu (hearsay) pada prinsipnya tidak dapat diterima sebagai alat bukti di pengadilan untuk membuktikan suatu kebenaran atas suatu fakta? Jawabannya adalah karena saksi de auditu tersebut memiliki beberapa kelemahan, sebagai berikut:

  1. Karena kesaksian de auditu tidak dibedakan mana yang merupa­kan kesaksian yang benar dan mana yang merupakan gosip atau rumor belaka.
  2. Karena kesaksian de auditu tidak dapat menghadirkan saksi yang sebenarnya ke pengadilan untuk didengar oleh hakim dan para pihak, sedangkan kehadiran saksi ke pengadilan karena formalitas pengadilan akan menyulitkan saksi ketika ingin menceritakan yang tidak sebenarnya.
  3. Karena kesaksian de auditu tidak berhadapan dengan pihak yang menderita/ sasaran dari kesaksian itu, sedangkan jika berhadapan dengan orang yang terkena dengan kesaksiannya itu menyebabkan saksi tersebut secara psikologis sulit untuk menceritakan yang tidak benar.
  4. Karena saksi yang sebenarnya, dari mana saksi di pengadilan mendengarnya, tidak pernah mengucapkan sumpah di pengadilan ketika mengucapkan kesaksiannya sehingga kadar kebenarannya menjadi berkurang.
  5. Karena saksi yang sebenarnya, dari mana saksi di pengadilan mendengarnya, tidak hadir di pengadilan, tidak ada pertanyaan yang dapat diajukan dan tidak dapat dilakukan eksaminasi silang sehingga tidak dapat diketahui seberapa jauh kesaksiannya itu akurat.
  6. Karena saksi yang sebenarnya tidak datang ke pengadilan, maka terdapat masalah validitas dari kesaksiannya, yaitu tidak dapat di­ketahui sejauh mana keakuratan dari persepsi, ingatan, narasi, keseriusan, dan ketulusan hatinya.
  7. Karena problem ambiguitas bahasa. Dalam hal ini, tidak diketahui apa persisnya yang dimaksudkannya ketika mengucapkan sesuatu kata, misalnya, jika disebut kata-kata cepat menjadi tidak jelas sebenarnya seberapa cepat yang dimaksudkannya.
  8. Karena saksi tidak hadir di pengadilan yang terbuka untuk umum, padahal jika hadir di pengadilan yang terbuka untuk umum segan bagi saksi untuk berbohong karena menyangkut kredibilitasnya di depan masyarakat. ( Munir Fuady, 2006: 133-134)

Seperti akan dijelaskan selanjutnya bahwa dalam sistem hukum Indo­nesia, kesaksian de auditu, baik dalam acara perdata maupun dalam acara pidana, tidak dapat secara langsung diberlakukan sebagai alat bukti penuh meskipun ketentuan tentang hal ini sangat jelas terdapat dalam hukum acara pidana.

Agar kesaksian de auditu dapat dipegang sebagai alat bukti, dapat dilakukan melalui bukti persangkaan, bahkan sebagai alat bukti langsung dalam hukum acara perdata, dan sebagai bukti petunjuk dalam hukum acara pidana. Untuk menyaring mana yang dapat dan mana yang tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan, diperlukan tiga syarat sebagai berikut:

  1. Apakah keterangan saksi yang hadir di pengadilan tersebut me-rupakan saksi de auditu/ hearsay ?
  2. Apakah informasi dari pihak ketiga yang telah didengar oleh saksi tersebut relevan dengan kasus yang terkait ?
  3. Apakah keterangan pihak ketiga tersebut termasuk ke dalam yang sering dikecualikan dari kesaksian de auditu ?

Perlu juga diketahui bahwa kesaksian de auditu yang tidak dapat diterima adalah kesaksian yang didengar dari pihak lain, di mana pihak lain ter­sebut perlu dihadirkan ke pengadilan, tetapi tidak dapat hadir di peng­adilan tersebut. Dengan demikian, hakim tidak mengetahuinya apakah pihak lain tersebut sedang berbohong atau tidak. Oleh karena itu, ke­saksian de auditu yang didengar dari pihak lain, tetapi jika pihak lain tersebut tidak perlu atau tidak relevan untuk dihadirkan, dan tidak perlu dibuktikan kebenaran dari ucapan pihak lain tersebut, tidak merupakan kesaksian de auditu.

 Kasus berikut ini dapat memperjelas persoalan ke­saksian de auditu tersebut, yaitu kasus Estate of Murdock yang diputuskan pada tahun 1983, yang ditulis oleh  yang pada pokoknya mengisahkan sebagai berikut:

Sarah adalah seorang janda kesepian dengan beberapa anak yang akhirnya jatuh cinta dan menikah dengan seorang duda yang bernama Arthur Murdock, yang juga telah mempunyai beberapa orang anak. Karena mereka masing-masing memiliki banyak harta, maka segera setelah perkawinannya, Sarah dan Murdock masing-masing membuat suatu wasiat secara sah, yang pada intinya berisikan bahwa jika Sarah yang lebih dahulu meninggal, seluruh harta Sarah menjadi milik Murdock, sebaliknya jika Murdock yang lebih dahulu meninggal, seluruh harta Murdock jatuh ke tangan Sarah. Tidak lama kemudian, Murdock dan Sarah meninggal pada suatu kecelakaan pesawat pribadinya. Berpegangan pada wasiat tersebut, maka anak-anak dari Murdock mengklaim bahwa seluruh harta Sarah dan Murdock menjadi milik mereka. Pasalnya, menurut kesaksian wakil sheriff, yang pada saat kecelakaan datang langsung ke tempat kecelakaan pesawat tersebut, dengan jelas melihat bahwa Sarah sudah meninggal dunia, sedangkan Murdock masih dapat berbicara dengan mengatakan, “Saya masih hidup.” Di pengadilan, anak-anak Sarah menolak kesaksian wakil sheriff tersebut dengan menyatakan bahwa wakil sheriff hanya mendengar dari pihak lain (yaitu dari Murdock) sehingga kesaksiannya me-rupakan kesaksian de auditu dan Hams ditolak oleh pengadilan. Pengadilan tingkat pertama memang menolak kesaksian tersebut karena menganggap sebagai saksi de auditu, tetapi pengadilan tingkat banding berpendapat sebaliknya.” (John Kaplan dalam Munir Fuady, 2006: 135)

Menurut pengadilan Tingkat Banding, logika dari penolakan saksi de auditu adalah karena orang lain yang didengar oleh saksi tersebut tidak dapat dihadirkan ke pengadilan sehingga disangsikan. Dalam kasus Murdock ini, memang Murdock tidak dapat dihadirkan ke pengadilan karena sudah meninggal dalam kecelakaan pesawat tersebut, tetapi hal tersebut tidak penting. Adalah tidak penting isi percakapan Murdock setelah kecelakaan, dan tidak penting apakah dia berbohong atau tidak, bahkan jika dia mengatakan, “Saya sudah mati” tetap dianggap dia masih hidup karena orang yang sudah mati tidak dapat berbicara lagi.

Yang penting bagi hukum adalah apakah wakil sheriff tersebut benar-benar mendengar suara tersebut dari Murdock dan wakil sheriff tersebut dapat dibawa ke pengadilan untuk diketahui apakah dia berbohong atau tidak. Di pengadilan, sebagai saksi, wakil sheriff tersebut dapat disumpah, dites kebohongan, diiakukan eksaminasi silang, dan sebagainya sehingga sulit baginya untuk berbohong. Walhasil, kesaksian wakil sheriff tersebut dapat diterima oleh pengadilan tingkat banding dan tidak dianggap sebagai kesaksian de auditu sehingga akibatnya, seluruh Harta Sarah dan Murdock tersebut jatuh kepada ahli waris Murdock.

Jadi, memang tidak semua kesaksian dengan mendengar dari pihak lain serta-merta merupakan kesaksian de auditu karena banyak juga saksi dengan mendengar dari pihak lain ter­sebut yang cukup kredibel. Untuk itu, mestilah dipilah-pilah kasus perkasus secara bijaksana.

Pendapat tentang dapat dipakainya keterangan saksi de auditu oleh hakim, baik sebagai bukti petunjuk dalam acara pidana atau secara langsung maupun lewat bukti persangkaan dalam acara perdata, juga diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia meskipun belum ada arah dan sasaran yang jelas. Prinsip umum yang diterima secara meluas dalam praktik pengadilan adalah bahwa saksi de auditu tidak berharga sebagai alat bukti.

Dalam Putusan-Putusan Mahkamah Agung berikut ini dapat terlihat bagaimana posisi pengadilan di Indonesia, khususnya Mahkamah Agung jika berhadapan dengan masalah saksi de auditu ini. Putusan Mahkamah Agung tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 881 K/ Pdt/ 1983, tanggal 18 Agustus 1984, yang menganggap keterangan semua saksi de auditu tidak sah dan sama sekali tidak dapat di-gunakan sebagai alat bukti.
  2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4057 K/ Pdt/ 1986, tanggal 30 April 1988, yang menganggap keterangan semua saksi de auditu tidak sah dan sama sekali tidak dapat digunakan sebagai alat bukti.
  3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1842 K/ Pdt/ 1984, tanggal 17 Oktober 1985, yang menganggap keterangan semua saksi de auditu tidak sah dan sama sekali tidak dapat di­ gunakan sebagai alat bukti.
  4. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1913 K/ Pdt/ 1984, tanggal 17 Oktober 1985, yang menganggap keterangan semua saksi de auditu tidak sah dan sama sekali tidak dapat di-gunakan sebagai alat bukti.
  5. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 239 K/Sip/ 1973, tanggal 25 September 1975. Dalam hal ini, dengan pertimbangan bahwa banyak peristiwa hukum masa lalu tidak dilakukan dalam bentuk tulisan, tetapi dilakukan dengan pesan lisan secara turun-temurun, maka saksi yang mendengar dari orang lain pesan secara turun-temurun tersebut dapat diterima sebagai alat bukti karena dalam hal ini, saksi-saksi yang langsung mengalami perbuatan hukum tersebut semuanya sudah meninggal dunia.
  6. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 308 K/Pdt/ 1959, tanggal 11 November 1959, yang menganggap keterangan saksi de auditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti persangkaan.
  7. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 818 K/ Sip/ 1983, tanggal 18 Agustus 1984, yang dapat menerima keterangan dua orang saksi de auditu untuk memperkuat keterangan dari se-orang saksi lain yang tidak de auditu sehingga terhindar dari ketentuan unus testis nullus testis (satu orang saksi bukanlah saksi).
  8. Putusan Hoge Raad Belanda tanggal 13 Juli 1884 (w. 5049), yang melarang kesaksian saksi de auditu.
  9. Putusan Hoge Raad Belanda tanggal 14 Oktober 1927 (N.J. 1927: 1437), yang melarang kesaksian saksi de auditu.
  10. Putusan Hoge Raad Belanda tanggal 26 November 1948 (N.J. 1949:149), yang mengakui alat bukti berupa kesaksian de auditu. (Yahya Harahap, 2005: 662)

Dalam praktik peradilan di Indonesia, terdapat dua macam perlakuan terhadap saksi de auditu ini, yaitu sebagai berikut:

  1. Mayoritas putusan pengadilan di Indonesia menolak secara mentah-mentah keterangan saksi de auditu, bahkan tidak juga digunakan sebagai bukti persangkaan (perdata) atau bukti petunjuk (pidana), seperti putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 803 K/ Sip/1970, tanggal 5 Mei 1971, yang pada prinsipnya menyatakan Kesaksian para saksi yang didengarnya dari orang lain de auditu tidak perlu dipertimbangkan oleh hakim, sehingga semua keterangan yang telah diberikan oleh para saksi de auditu tersebut, di dalam persidangan tersebut bukan merupakan alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata”
  2. Ada beberapa putusan pengadilan yang menggunakan kesaksian de auditu sebagai bukti persangkaan (perdata) atau bukti petunjuk (pidana). asal saja hakim mempunyai alasan yang reasonable untuk itu, seperti alasan bahwa keterangan saksi de auditu tersebut diatas pantas untuk diberlakukan sebagai pengecualian seperti Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 308 k/Sip/1959, tanggal 11 Nopember 1959, yang diputuskan oleh Majelis Hakim yang terdiri atas:

–     R. Wirjono Projodikoro (ketua)

–     Sutan Kali Malikul Adil (anggota)

–     Mr. Subekti (anggota)

3.  Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 308 K/ Sip/ 1959 tersebut pada pokoknya menyatakan Kesaksian testimoni de auditu tidak dapat digunakan se­bagai bukti langsung, namun kesaksian ini dapat digunakan sebagai bukti persangkaan, yang dari persangkaan ini dapat dibuktikan sesuatu hal/ fakta. Hal yang demikian ini tidaklah dilarang” (Munir Fuady, 2006: 149)

Dari Putusan-Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut di atas terlihat bahwa Mahkamah Agung belum satu kata dalam memandang keberadaan dari saksi de auditu. Umumnya, putusan dengan tegas menolaknya, tetapi ada satu atau dua putusan yang mencoba menerimanya, baik lewat bukti persangkaan (dalam Hukum Acara Perdata) atau bukti petunjuk (dalam Hukum Acara Pidana) maupun dengan alasan-alasan lainnya, te­tapi tanpa ada suatu pedoman yang jelas.

 

 

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...