(In) Konstitusional Daulat Rakyat

MESKI waktu telah banyak tersita sampai menimbulkan kelelahan, menanti perjalanan panjang demokrasi akhir-akhir ini, tetap masih banyak tersimpan catatan buruk atas kekisruhan dan keganjilan dalam proses transisi pemerintahan 2014-2019.

Catatan buruk yang dimaksud, adalah terdapatnya sejumlah kelompok relawan dan pendukung calon nomor urut satu yang menganggap Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden inskonstitusional, kendati sudah berakhir melalui putusan MK (Mahkamah Konstitusi).

Dan pada akhirnya, atas penolakan keputusan MK tersebut, muncul upaya sinyalemen yang tidak elok sedang dipertunjukan koalisi pendukung pasangan calon nomor urut satu, menyatakan diri akan melakukan perlawanan politik melalui pembentukan Pansus Pilpres.

Disatu sisi, Pemilu sebagai bahagaian dari perwujudan daulat rakyat. Lalu di sisi lain koalisi pendukung calon nomor urut satu sebagai onderdil negara, pelaksana fungsi kekuasaan legislatif yang hendak membentuk Pansus Pilpres. Nyata-nyata juga adalah organ yang memerankan diri sebagai daulat rakyat.

Sumber Gambar: viva.co.id

Sumber Gambar: viva.co.id

Sudah pasti, kata kunci yang mengemas dua peristiwa itu: “kedulatan rakyat” yang inkonstitusional. Boleh jadi, Pilpresnya yang dianggap inkonstitusional. Ataukah manuver politik pembentukan Pansus Pilpres-nya yang inkonstitusional.
Dalam menganalisis permasalahan inkosntitusional daulat rakyat ini, jelas membutuhkan kecermatan hukum yang berdasar dan tepat.

(In) Konstitusional Pilpres
Untuk menarik kesimpulan kalau Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden melanggar konstitusi (inkonstitusional), instrumen yang diuji yakni “daulat rakyat”. Perbuatan atau dengan kata lain pemenuhan hak daulat rakyat dapat terbaca melalui hasil penetapan KPU (Komisi Pemilihan Umum) atas presiden dan wakil presiden yang terpilih.

Menurut hukum, penetapan hasil pemilu oleh KPU pada 22 Juli 2014 adalah hal yang konstitusional. Bahwa yang namanya penetapan (keputusan) tetap akan dianggap berlaku sepanjang belum ada pembatalan, sebab terikat oleh asas “Presumptio Iusta Causa”.

Kemudian, putusan MK pada 21 Agustus 2014, yang sejatinya menolak seluruh gugatan pasangan nomor urut satu. Berarti proses konstitusionalisasi Pilpres telah berakhir, dan tidak ada pembatalan atas penetapan presiden dan wakil presiden terpilih yang telah ditetapkan oleh KPU.

Hal ini diperkuat dengan bunyi UUD NRI 1945 yang menegaskan “bahwa MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, salah satunya adalah putusan mengenai perselisihan hasil pemilu (Pasal 24 Ayat 1).

Kini, putusan MK telah menjadi satu-satunya putusan terakhir yang dapat menguji inkonstitusional hasil Pilpres. Oleh sebab itu, siapapun, mau tidak mau, syukur tidak syukur, sudah harus menerima putusan MK dengan cara yang konstitusional. Termasuk parlemen (DPR/D) sebagai pengemban daulat rakyat juga harus tunduk dan mematuhi putusan MK.

(In) Konstitusional DPR
Sekarang, yang memunculkan pertanyaan, jika koalisi pendukung pasangan calon nomor urut satu, di parlemen kelak. Walaupun dengan nada lirih akan patuh, taat dan menghormati putusan MK, namun akan menempuh aksi politik melalui Pansus Pilpres. Apakah pembentukan pansus demikian tepat dalam kerangka konstitusi kita?

Patut menjadi catatan, bahwa keberadaan Pansus sebagai instrumen DPR hanya dapat difungsikan untuk menjalankan fungsi pengawasan yang diberikan oleh konstitusi. Dan sekiranya Pansus tersebut hendak digunakan untuk ranah pemilu, sama sekali tidak menunjukan fungsi pengawasan DPR dalam proses penyelenggaraan pemilu.

Karena semua permasalahan hukum yang muncul dalam pemilu, sudah sangat jelas pengaturannya, baik itu pelanggaran pidana, administratif, etik, maupun sengketa hasil pemilu.

Dalam bahasa yang sederhana, seluruh tahapan dan penyelesaian penyelenggaraan pemilu, telah tersedia segala bentuk pengawasannya, dengan melibatkan beberapa lembaga, seperti Bawaslu, DKPP, Gerkumdu, kepolisian, hingga pengadilan.

Karena itu, jika fungsi pengawasan DPR melalui pembentukan Pansus atas penyelenggaraan pemilu, DPR bisa saja “tertuduh” mengambil kewenangan yang bukan kewenangannya. Tambah lagi, segala bentuk pengawasan dan sanksi atas pelanggaran penyelenggaraan pemilu sudah selesai. Logika konstitusi pasti akan memunculkan pertanyaan; penyelenggaraan pemilu yang mana lagi akan diawasi oleh DPR.

Tidak terdapatnya kewenangan DPR untuk melakukan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan pemilu dalam semua peraturan perundang-undangan. Maka hemat saya, terbuktilah kalau mekanisme Pansus Pilpres dapat dikategorikan perbuatan yang inkonstitusional. Karena sekali lagi, fungsi pengawasan yang demikian tidak punya dasar hukum konstitusi yang jelas.
Tentu, dengan melihat fungsi-fungsi DPR yang lain dalam konstitusi. Memang masih tersimpan satu “peluru” yang bisa digunakan untuk menjegal presiden dan wakil presiden terpilih. Yaitu dengan menolak untuk ikut hadir dalam pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Karena menurut UUD NRI 1945 “Majelis Permusyawaratan Rakyat (di dalamnya terdapat DPR dan DPD) yang melantik Presiden dan Wakil Presiden.”

Namun, alih-alih ketidakhadiran DPR-pun, hingga tidak dapatnya diselenggarakan sidang pelantikan. Pasal 9 ayat 2 UUD NRI 1945 dapat mementahkan anggota parlemen koalisi yang tidak menghadiri sidang. Cukup pelantikan presiden dan wakil presiden dilakukan di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung (MA).

Justru dalam kondisi ini, ketika anggota parlemen koalisi melakukan pembangkangan, menolak untuk menghadiri sidang untuk melakukan “penjegalan” terhadap pelantikan tersebut. Tidak hanya akan berdampak pada “citra buruk” parlemen di mata publik. Tetapi sama saja senjata yang memakan tuannya sendiri. Tersedia sanksi etik terhadap anggota DPR, yang akan diberikan oleh Badan Kehormatan (BK), karena telah dianggap menunjukkan perbuatan tidak mengemban mandat rakyat. Sungguh disayangkan! Kalau di hari perdananya, DPR malah menunjukan pengkhianatan terhadap daulat rakyat yang telah memilihnya. (*)

ARTIKEL INI JUGA MUAT DI HAIAN TRIBUN MAKASSAR EDISI Rabu, 27 Agustus 2014

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...