Paradoks Legalisasi Aborsi

Adalah suatu keganjilan yang menyulut rasa ingin tahu, penting, menarik, dan layak untuk dipahami. Bahwa dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi akhir-akhir ini. Kini menimbulkan paradoks di tengah-tengah masyarakat, perihal dilegalisasinya aborsi bersandar pada dua alasan. Yaitu kedaruratan medis dan korban pemerkosaan.

PP Nomor 61 Tahun 2014, sebenarnya bukanlah awal untuk dipermasalahkan. Oleh karena PP tersebut hanya sebagai kebijakan pengaturan lebih lanjut atas amanat Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dalam Pasal 75 Ayat 2 UU Kesehatan telah ditegaskan “larangan aborsi dapat dikecualikan karena darurat medis dan korban pemerkosaan.”

Untuk pengecualian darurat medis tidaklah menjadi persoalan hukum, sebab memang aborsi demikian tidak perlu bersentuhan dengan pembuktian terjadinya indikasi tindak pidana. Dalam hukum kedokteran pembolehan demikian disebut abortus medicalis. Yakni tindakan aborsi demi melindungi kepentingan perempuan yang sedang mengandung janin, namun membahayakan keselamatan nyawanya.

Sumber Gambar: kemahasiswaanstikesdhb.com

Sumber Gambar: kemahasiswaanstikesdhb.com

Berbeda halnya dengan pengecualian aborsi yang dibenarkan akibat korban pemerkosaan. Jelas, menimbulkan banyak paradoks oleh beberapa kalangan. Kalangan ini terpecah dalam dua kelompok. Mereka yang termasuk golongan antiaborsi menamakan diri sebagai kelompok pro life (pro kehidupan). Sementara mereka yang menyetujui praktik aborsi menyebut diri sebagai pro choice (pro pilihan).

Dalam hemat Penulis, persoalan kelompok pro life yang berpandangan foetus manusia sebagai makhluk hidup yang tak bersalah, tidak boleh dibunuh dalam situasi apapun. Dan kelompok pro choice yang memandang kalau foetus manusia bukan makhluk manusiawi. Kedua alasan mereka, masih tergolong “teoritis”, belum dapat memberi jalan keluar untuk kepastian hukum, bagi pihak yang hendak melakukan aborsi dengan alasan semata-mata karena korban pemerkosaan.

Pembuktian Pemerkosaan

Kendatipun Pasal 34 Ayat 2 PP Kesehatan Reproduksi telah melindungi korban pemerkosaan untuk melakukan aborsi, yang dapat dibuktikan dengan: (a). usia kehamilan sesuai dengan kejadian pemerkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan (b), keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan pemerkosaan”. Namun dengan alasan pembenaran aborsi, setelah adanya bukti atas surat keterangan dokter, keterangan penyidik, dan keterangan psikolog, belumlah memberikan kepastian hukum, baik bagi pelaku aborsi maupun dokter yang membantu secara medis tindakan aborsi tersebut. Kenapa? Karena yang harus dibuktikan dari terpenuhinya delik pemerkosaan, unsur yang terpenting adalah adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Apakah dengan surat keterangan dokter indikasi unsur kekerasan itu bisa terlihat? Melalui visum-pun belumlah kuat keterangan sang dokter, jangan-jangan perbuatan bersetubuh atas dasar mau sama mau, bukan pemerkosaan. Artinya, kalau aborsi telah dilakukan, dan ternyata dikemudian hari tidak terpenuhi delik pemerkosaannya. Maka perempuan yang aborsi dan dokter yang membantunya justru berada dalam ancaman jerat pidana. Perempuannya terjerat dengan Pasal 194 UU Kesehatan melalui sanksi 10 tahun penjara, sedangkan dokternya minimal terjerat dengan turut membantu {Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)}.

Hal ini sekiranya juga menimbulkan ketidakpastian kalau hanya dengan surat keterangan penyidik. Ingat! Keterangan yang diperoleh penyidik melalui laporan/ pengaduan ditambah bukti semacam surat dan saksi-saksi. Perihal kepastian telah terjadinya pemerkosaan belumlah final. Bukankah setiap orang yang masih dalam proses penyelidikan belum terbukti bersalah sebab berlindung dibalik asas presumption of innocence (praduga tak bersalah). Satu-satunya yang bisa menjadi pegangan kalau orang tersebut bersalah dan memang benar adanya, telah terpenuhi unsur pemerkosaan, hanyalah melalui putusan pengadilan yang telah inkra.

Sedangkan keterangan psikolog, apakah benar telah terjadi pemerkosaan? Tidak signifikan untuk diperdebatkan. Keterangan psikolog berdasarkan keilmuannya, benar/salahnya dugaaan mereka masih berada dalam tingkat probabiltas. Sama saja tidak dapat memberi keyakinan yang pasti, jauh dari tujuan hukum pidana formil untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya tanpa keragu-raguan yang beralasan.

Batas Waktu

Tentu jika bersandar pada syarat pembolehan aborsi karena pemerkosaan, dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir berdasarkan Pasal 31 ayat 2 PP Kesehatan Reproduksi. Sementara tetap ingin mencari kepastian hukum telah terpenuhinya delik pemerkosaan, maka batas waktu itu sudah pasti akan habis, hanya untuk mencari “kebenarannya” melalui proses hukum acara yang bisa memakan waktu berbulan-bulan (prapenuntutan-penuntutan-persidangan pengadilan). Ini yang tidak dipikirkan oleh Perumus kebijakan tersebut (baca: UU Kesehatan dan PP Kesehatan Reproduksi). Kalau delik pemerkosaan pembuktiannya harus dengan melalui putusan pengadilan inkra, demi kepastian hukum, tetapi batas waktu legalisasi aborsi karena pemerkosaan hanya 40 hari sejak hari pertama haid terakhir, dipastikan akan terlewati. Karena itu, tidak ada alasan batas waktu 40 hari tersebut dalam PP Kesehatan Reproduksi untuk selanjutnya, kemudian perlu dievaluasi.

Memang pada intinya, hukum harus menempatkan semua orang setara dalam kedudukan dan hak-haknya. Termasuk melindungi hak privasi seorang permpuan berdasarkan kepentingannya, untuk berbuat atau tidak berbuat atas sesuatu yang menjadi hak asasinya. Dalam hal ini untuk melakukan pengguguran janin atas kandungaannya, karena kehamilan itu tidak dikehendakinya. Tetapi hak publik atas nama negara dan hak individual harus ditempatkan dalam kedudukan proporsional. Hak-hak individual itu, yang bersifat privasi, ada kalanya negara “mengintervensi” untuk menghindari kekalutan, atas nama hak publik yang berlaku universal.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...