Tumbal Parpol Bernama Pilkada Tak Langsung
Hampir semua permasalahan yang dipersoalkan dalam RUU Pilkada untuk menolak Pilkada langsung, dan kembali pada Pilkada tak langsung. Ketika diperhatikan, dianalisis dan dicermati secara jeli ternyata disebabkan oleh Partai Politik itu sendiri.
Beberapa kelamahan dari Pilkada langsung yang ditengarai saat ini merusak demokrasi substantif. Adalah berbiaya mahal (high cost), menimbulkan konflik horizontal, sarat transaksional, praktik money politic secara jor-joran, munculnya oligarki partai/ dinasti politik, dan melahirkan kepala daerah yang korup.
Tumbal Parpol
Inilah hebatnya elit senayan (terutama Koalisi Merah Putih) sekarang. Alih-alih sudah berada dipucuk akhir jabatannya, malah menciptakan kelemahan-kelemahan dari Pilkada langsung. Seolah-olah semua efek buruk Pilkada langsung tersebut, disebabkan oleh rakyat yang telah dilibatkan secara langsung memilih kepala daerahnya sendiri.
Padahal kalau mau ditilik dengan teliti, elit politiklah yang melakukan kesalahan. Rakyat di sini hanya korban “kebiadaban politik” elit, yang telah “menyunat” demokrasi atas milik nyata sang daulat rakyat.
Bila Pilkada langsung dianggap berbiaya mahal, oleh karena biaya untuk penyelenggaranya dan kandidatnya yang “dipaksa” mengeluarkan ongkos politik. Kasus berbiaya mahal bukan karena rakyat penyebabnya. Tetapi elit politiklah, dalam hal ini anggota DPR (sebagai hasil produk partai) yang mempunyai fungsi legislasi “gagal” menciptakan regulasi untuk penyelenggaraan dan pembiayaan Pemilukada yang murah. Soal anggota legislatifnya yang amatiran dalam penerbitan regulasi, jelas tidak ada yang bisa disalahkan, kalau bukan Partai Politik itu sendiri yang telah diberi kuasa penuh untuk merekrut calon anggota legislatif.
Lantas, bagaimana dengan Pilkada langsung yang dituding sebagai biang munculnya konflik horisontal?
Lagi-lagi, konflik massa pendukung, perlu diamati secara jelas. Kalau itu juga bukan kesalahan “total” rakyat. Dipastikan tidak akan ada konflik yang terjadi, seandainya saja Partai Politik telah berhasil melakukan “political education” baik terhadap anggota partainya yang kemudian diusung sebagai calon kepala daerah, maupun terhadap rakyat yang telah digolongkan sebagai pemilih. Bahwa ketika calon kepala daerah dan pemilih (baca: massa pendukung) telah matang didikan politiknya. Semuanya, sudah pasti benar-benar siap menang dan kalah, karena itulah hakikat dari kedewasaan berdemokrasi.
Demikian pula, masalah politik transaksional. Ketika kandidat, pada tahap pencalonan hingga masa kampanye. Menjadi keniscayaan untuk melakukan praktik transaksional terhadap partai pengusung, berupa penyetoran mahar, ditambah lagi uang yang harus digelontorkan untuk “menggoda” pemilih, agar menjatuhkan pilihan terhadap dirinya. Pun itu disebabkan oleh Partai Politik. Partai Politik tidak mau mengusung hingga memberikan dukungan terhadap kandidat, kalau hanya gratisan. Bukankah “tidak ada makan siang gratis”? Praktik money politic juga bukan karena pemilihnya yang memaksa, Cuma saja pemilihnya yang belum merasakan “insentif elektoral” dari nama-nama kandidat yang tersedia. Sebab seandainya Parpol sejak dini mentransformasikan ideologinya terhadap semua ceruk pemilih, kandidatnya sudah dikenal rekam jejaknya, rakyat pasti akan datang memilih di TPS, meski tak ada lembaran rupiah yang sudah diterima.
Efek buruk lain dari Pilkada langsung, katanya juga dapat melahirkan dinasti politik dan oligarki partai. Kasus yang selalu “menguatkan” masalah ini adalah kasus Banten sejak tertangkapnya Ratu Atut oleh KPK.
Sejatinya, pemilih dalam Pilkada langsung bukanlah “aktor utama” yang akan mengantarkan siapa pemenang Kepala Daerah. Namun calon-calon tersebut, Partai Politik yang harus selektif dalam mengajukan calon. Jangan asal konglomerat, keturunan raja, anak ketua partai, lalu dengan serta merta diusung sebagai kandidat yang maha sempurna. Namun yang selalu terjadi saat ini, Partai Politik justru tidak pernah melihat integritas, kapasitas, profesionalitas anggotanya, untuk kemudian diusung sebagai calon Kepala Daerah. Malah yang lebih memperihatinkan, perekrutan Calon Kepala Daerah, minim regenerasi. Maka terjadilah dinasti politik hingga oligarki, dan biangnya Partai Politik itu sendiri.
Penerapan Pilkada langsung yang sudah berjalan sepuluh tahun. Konon pula, banyak mengantarkan Kepala Daerah dalam pusaran korupsi. Logikanya, Kepala Daerah korupsi, sebagai tindak lanjut untuk mengembalikan pembiayaan politiknya selama Pemilukada.
Hemat Penulis, bahwa persoalan pembiayaan mahalnya Pemilukada, bukankah dapat ditekan dengan regulasi yang ketat? Yang menjadi persoalan, bagaimana dengan Kepala Daerahnya yang memang bermental korup, korupsi karena keserakahan (corruptio by greedy)? Jawabannya, Partai Politiklah yang salah dalam melakukan perekrutan, sebab tidak mampu melahirkan pejabat publik yang berintegritas, jauh dari niat untuk tidak berbuat korupsi.
Kesimpulan dari bangunan semua argumen di atas. Tidak ada yang salah dengan rakyat, jika menuntut haknya untuk tetap bertahan pada Pilkada langsung. Yang salah adalah Partai Politik. Gara-gara Partai Politik yang tidak memliki kemampuan menjalankan semua fungsi-fungsinya, seperti pendidikan politik, fungsi kaderisasi, fungsi rekrutmen. Sehingga pada akhirnya Pilkada langsung yang memunculkan banyak keburukan, rakyat seolah-oleh dipersalahkan atas hak pilih yang tetap mau dipertahankannya.
Niat beberapa elit senayan untuk kembali kepada Pilkada tak langsung, ternyata adalah tumbal dari Partai Politik yang tidak mampu menjalankan semua fungsi asalinya.
Peran Parpol
Sebagai pilar demokrasi, peran Partai Politik tentunya tidak boleh dilupakan. Kini, sembari tetap mempertahankan Pilkada langsung, tidak perlu kembali ke sistem perwakilan. Partai Politik harus kembali berbenah atas segala kevakumannya di tingkat daerah-daerah. Pertama, Partai Politik harus konsisten menjalankan pendidikan politik baik kepada kader, anggota, hingga pada masyarakat. Kedua, Partai Politik harus memiliki sistem kaderisasi yang jelas, guna melahirkan anggota yang sejalan dengan ideologi partai. Ketiga, transparansi perekrutan calon Kepala Daerah harus diutamakan terhadap calon-calon yang diusung oleh Parpol tersebut. Jika Parpol sehat, demokrasi akan sehat, dan rakyat pasti berdaulat. (*)