Implikasi Hukum Putusan Sela Partai Golkar

Senyum merekah terpancar dari raut wajah Idrus Marham, Sekjen Partai Golkar Kubu Aburizal Bakrie (ARB) pasca Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta membacakan Putusan Sela Nomor: 62/G/2015/PTUN atas kisruh Golkar ARB VS Agung Laksono. Majelis Hakim dalam putusan selanya menyatakan menunda pemberlakuan Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) No: M.HH-01.AH.11.01. yang mengesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar kubu Agung Laksono sebagai pemilik tahta partai berlambang beringin itu.

Varian “tafsir” pun bermunculan menanggapi putusan sela tersebut. Kubu Agung Laksono menafsir sesuai dengan kepentingan kubunya, begitu pun dengan Menkumham menafsir sebagai bagian upaya “pembenaran” dari keputusan yang telah diterbitkannya. Tak jarang, varian tafsiran dari mereka yang memiliki kepentingan keluar dari “rel hukum” dan “berbau” politik. Padahal hukum harus dimaknai sesuai esensinya, bukan ditafsir berdasarkan kepentingan politik semata.

Putusan Sela

Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang diterbitkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara sesungguhnya harus dianggap sah sampai dibatalkan atau dicabut oleh pejabat yang berwenang atau berdasarkan perintah putusan pengadilan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) —– Incracht Van Gewijsde. Ketentuan ini didasarkan pada postulat “Vermoeden Van Rechtmatigheid” yang bermakna setiap KTUN selalu dianggap sah sampai dibatalkan. Postulat ini lalu “diturunkan” dalam Pasal 33 ayat 2 UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dan diperkuat lagi berdasarkan Pasal 67 UU PTUN.

Dengan demikian, meski diduga SK Menkumham tentang pengesahan Agung Laksono sebagai Ketua Partai Golkar itu cacat materil, tetapi SK tersebut haruslah dianggap sah sampai kemudian dibatalkan oleh Menkumham sendiri atau oleh perintah Pengadilan yang BHT .

Kendatipun demikian, penerapan principat Vermoeden Van Rechtmatigheid terdapat pengecualian dalam Pasal 67 ayat 2 dan ayat 4 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No 9 Tahun 2004 Tentang PTUN. Bahwa penundaan KTUN dapat dilakukan melalui putusan sela atau putusan akhir pokok perkara PTUN.

Begitu pun dengan UU Administrasi Pemerintahan juga mengatur mengenai penundaan pelaksanaan KTUN. Bedanya, dalam UU Administrasi Pemerintahan, penundaan hanya dapat dilakukan dengan permintaan pejabat TUN dan Perintah putusan pengadilan (Vide: Pasal 65 ayat 3 poin (b) UU Adminitrasi Pemerintahan).

In casu, Majelis Hakim PTUN Jakarta telah menunda SK Menkumham melalui putusan sela karena dianggap terdapat keadaan mendesak yang sangat merugikan Kubu ARB. Oleh karena itu putusan a quo harus dimaknai bahwa meskipun proses pemeriksaan perkara sedang berlangsung untuk menentukan siapa yang dimenangkan PTUN Jakarta, maka pada dasarnya telah mengembalikan keadaan yang sama sebelum diterbitkannya SK Menteri Hukum dan HAM No: M.HH-01.AH.11. 01.

Sumber Gambar: .indopos.co.id

Sumber Gambar: .indopos.co.id

Implikasi Hukum

Putusan PTUN yang menunda pelaksanaan SK Menkumham tentang pengakuan Kubu Agung Laksono menimbulkan tiga implikasi hukum. Pertama, untuk sementara SK Menkumham pengesahan Agung Laksono tidak berlaku karena ditunda pelaksanaannya oleh pengadilan. Pada hakikatnya ketentuan penundaan merupakan pengecualian terhadap penggunaan maximVermoeden Van Rechtmatigheid.” Maka in concreto atas maxim tersebut, SK Menkumham tidak sah, tidak memiliki kekuatan berlaku dan mengikat para pihak.

Kedua, putusan sela telah mengamputasi Agung Laksono sebagai pemilik tahta Partai Golkar, sehingga terhitung sejak putusan sela tersebut dibacakan, maka Agung Lakosono tidak lagi berstatus sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Dengan demikian, Agung Laksono tidak dapat mengambil kebijakan atau keputusan mengatasnamakan Partai Golkar.

Ketiga, kepengurusan Partai Golkar kembali direngkuh oleh Kubu ARB, karena pengurus yang diakui sebelum keluarnya SK Menkumham pengesahan Agung laksono adalah Kubu ARB hasil Munas di Riau. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis untuk menutupi kekosongan hukum (recht vacuum) Ketua Partai Golkar pasca penundaan oleh Putusan Sela PTUN Jakarta.

Maka untuk sementara, ARB yang memakai tahta Ketua dan menakhodai Partai Golkar. Arah Kebijakan dan keputusan Golkar-pun untuk sementara berpindah ke ARB, termasuk penentuan Fraksi di DPR dan penentuan Calon Kepala Daerah.

Namun Kubu ARB belum dapat “tidur nyenyak” menikmati mimpi-mimpi kekuasaannya. Penundaan SK Menkumham masih dapat dicabut dalam Putusan Akhir PTUN jika Kubu Agung Laksono memenangkan Pokok Perkara. Tetapi jika dalam putusan akhir PTUN Jakarta kubu ARB yang menang dan putusan penundaan tersebut tidak dicabut maka meskipun kubu Agung Laksono banding, penundaan SK Menkumham masih berlaku.

Selain itu, di tingkat banding Pengadilan Tinggi TUN juga bisa mencabut penundaan keberlakuan SK Menkumham tersebut. Sehingga belum ada kepastian hukum sampai ada Putusan yang BHT. Jalan Panjang penyelesaian sengketa masih harus dilalui di beberapa tahapan pengadilan. Tapi setidaknya saat ini Kubu ARB masih bisa menggunakan tangan kekuasaan Partai Golkar guna memuluskan “fatsum politiknya”.

Untuk menghindari terjadinya konflik yang berujung kepada kekerasan sebaiknya kedua kubu tidak saling memberikan tafsiran subyektif atas putusan sela PTUN Jakarta. Miris rasanya hukum dipermainkan berdasarkan “libido” kepentingannya masing-masing. Kubu Agung Laksono harus berjiwa besar dan patuh pada putusan pengadilan. Demikian pula kubu ARB jangan menganggap seolah sudah dimenangkan oleh pengadilan.

Sengketa ini sudah di tangan “wakil Tuhan” Hakim PTUN, sehingga akan terlihat elok jika kubu ARB dan Agung Laksono tunduk, menghormati, dan patuh pada perintah Putusan Pengadilan TUN.

Di atas segalanya, sudah seharusnya kedua kubu ini “berizzah” pada kaidah ushul fiqhihukmul hakim yarfaul khilaf”. Bahwa putusan hakim merupakan “hukum” untuk menyelesaikan perselisihan yang harus dihormati dan diterima oleh para pihak.*

Muhammad Nursal Ns

Praktisi Hukum Makassar

You may also like...