Anak-Anak yang Dikorbankan

Seto Mulyadi (Sumber: merdeka.com)
MENYUSUL aksi teror di Surabaya, banyak pihak tidak habis pikir bagaimana mungkin orangtua sampai hati melibatkan darah daging mereka sendiri dalam pusaran kekerasan. Betapa pun pada waktu-waktu sebelumnya terjadi serangkaian peristiwa orangtua bunuh diri bersama anak-anak mereka, insiden maut di Kota Pahlawan pada Minggu (13/5) ini tetap mengagetkan semua pihak.
Ada banyak penjelasan tentang sebab musabab masuknya anak-anak ke peristiwa teror. Dari perspektif psikologi, kata kuncinya ialah suggestibility, yaitu kerentanan individu untuk menerima sugesti. Sugesti berspektrum mulai positif (bujuk rayu, iming-iming, pujian) ke negatif (ancaman, intimidasi)
Anak-anak ialah satu dari tiga kelompok individu yang umumnya diketahui mempunyai suggestibility tinggi. Dengan suggestibility tinggi, anak pada dasarnya dapat dipandu menjadi orang bijak ketika ke dalam kognisinya ditabur benih-benih kemuliaan. Namun, sebaliknya, kondisi psikologis itu juga dapat dimanfaatkan secara sempurna oleh pihak yang menguasai diri anak, tak lain ialah justru orangtua anak-anak itu sendiri, dengan memasukkan berbagai pemahaman jahat ke dalam kepala dan hati anak.
Secara taktis, pemilihan anak untuk menjadi eksekutor lapangan juga dinilai ‘sangat tepat’. Anak identik dengan kepolosan, kegembiraan, dan bebas kotor hati. Citra semacam demikian menjadikan anak-anak sebagai pasukan yang ampuh menembus barikade pertahanan lawan. Aparat keamanan bisa terkecoh karena tidak menyangka bahwa individu cilik yang mereka hadapi sebenarnya telah diperalat orang lain untuk menjalankan misi teror.
Berangkat dari uraian itu, seyogianya muncul keinsafan bahwa ke depan publik boleh jadi dihantui bayang-bayang sekian banyak anak Indonesia yang polos dan tak berdosa sewaktu-waktu dibangunkan ayah bunda mereka lalu diajak melakukan misi maut.
Apa langkah konkret yang jitu untuk mencegah terjerumusnya anak-anak ke pusaran teror seperti itu memang tidak terlalu mudah untuk dijawab. Di tengah kekagetan masyarakat luas atas kejadian di Surabaya, apresiasi patut diberikan kepada Polri dan media massa serta berbagai elemen masyarakat yang telah bekerja keras melawan gelombang teror ‘gaya baru’ ini.
Kita patut berduka atas kepergian para korban, terutama korban berusia kanak-kanak. Pada sisi lain, ada kalimat yang cukup merisaukan saat sebagian kalangan mengatakan, misalnya, “Tiga pelaku aksi teror, termasuk anak-anak, tewas….” Juga, “Tiga pelaku bom bunuh diri menyerang….” Apakah sudah dipastikan bahwa anak-anak yang tewas bersama pelaku bom bunuh diri (orangtua mereka) itu terlibat aktif sebagai pelaku bom bunuh diri?
Pertanyaan itu penting dijawab karena, pertama, dalam sekian banyak peristiwa teror, keluarga pelaku dan utamanya anak-anak pelaku ternyata tidak tahu-menahu kiprah orangtua mereka. Jadi, asumsi di balik sebutan ‘pelaku anak-anak’ atau ‘anak-anak sebagai pelaku bom bunuh diri’ perlu kita kaji ulang ketepatannya.
Seberapa jauh anak-anak itu tahu, seberapa jauh mereka setuju, seberapa jauh mereka rela ikut dalam aksi teror? Itulah beberapa pertanyaan yang penting untuk kita cermati sebelum mereka dijuluki sebagai pelaku teror atau pelaku bom bunuh diri.
Kedua, ketika anak-anak menjadi pelaku aktif kejahatan sekalipun, secara arif mereka juga sepatutnya dipandang dan disikapi sebagai korban. Demikian implikasi keberadaan sistem peradilan anak. Anak-anak bukan orang dewasa mini. Kelakuan jahat anak tidak bisa dilepas dari orang-orang di sekitarnya. Perilaku mereka ialah buah dari pengasuhan yang salah, pertemanan yang keliru, dan pengaruh-pengaruh sosial yang negatif lainnya.
Ketiga, apalagi ketika Undang-Undang Perlindungan Anak dijadikan acuan. Masyarakat bisa dibilang sudah paham bahwa siapa pun tidak boleh melakukan kekerasan terhadap anak (Pasal 76C). Namun, pasal yang sama sesungguhnya juga memuat larangan terhadap siapa pun untuk menempatkan anak dalam kekerasan dan menyuruh melakukan kekerasan terhadap anak. Pasal 76H bahkan melarang melibatkan anak dalam aksi militer atau semacamnya yang membuat hidup anak tidak terlindungi.
Digenapkan Pasal 15, bebas dari perlibatan dalam kekerasan tercantum sebagai salah satu hak anak. Dua hal tersebut kurang mendapat atensi setara dari masyarakat. Dengan mendasarkan diri pada larangan-larangan dan hak tersebut, bisa dipahami bahwa walaupun di tubuh anak-anak terlilit rompi bom, mereka ialah pihak yang diajak atau dilibatkan orang lain dalam kekerasan. Juga dapat dikatakan, mereka ialah anak-anak yang tengah dirampas hak-haknya.
Anak-anak tersebut, dengan demikian, ialah korban. Karena pihak yang mengajak atau melibatkan anak-anak itu dalam kekerasan ialah orangtua mereka sendiri, orangtua tersebut–seandainya masih hidup harus dikenai pemberatan hukuman. Ringkasnya, alih-alih memosisikan anak-anak Dita (gembong rentetan aksi teror di rumah ibadah di Surabaya) sebagai pelaku, ketiga poin di atas menggiring persepsi publik untuk lebih mantap melihat anak-anak tersebut selaku korban.
Seharusnya khalayak semua menghindari stigmatisasi atas anak-anak dari para pelaku aksi teror. Terlebih manakala anak-anak itu tidak mengetahui sama sekali apa yang orangtua mereka perbuat. Karena itu, UU Perlindungan Anak memerintahkan masyarakat untuk melindungi anak-anak tersebut dari stigma terkait dengan tindak-tanduk orangtua mereka.
Poin itu memunculkan satu pertanyaan susulan: ketika pelaku aksi teror meninggal dunia dengan meninggalkan anak, siapa yang bertanggung jawab untuk memelihara anak tersebut? Ketika anak (beserta ibunya) teroris atau pun terduga teroris diusir warga dari tempat tinggalnya, apa yang seharusnya diterapkan untuk melindungi hak-hak anak tersebut? Mohon negara tidak boleh abai.
Oleh:
Seto Mulyadi
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI)
& Dosen Fakultas Psikologi Universitas GunadarmaPada:
Media Indonesia, 16 Mei 2018