Kekuatan Putusan Adjudikasi Bawaslu

Baron Harahap, S.H., M.H.

Adjudikasi. Istilah ini begitu akrab dan membumi, menjadi bahan diskursus penyelenggara pemilu dan penggiat hukum dan demokrasi belakangan ini. Istilah adjudikasi secara sederhana dimaknai merupakan penyelesaian perselisihan peserta/calon peserta pemilu sebelum persengketaannya disengketakan di peradilan administrasi/tata usaha negara. Sengketa adjudikasi terbatas pada sengketa tahapan/sengketa non hasil pemilihan yang merupakan ranah Mahkamah Konstitusi. Kewenangan melaksanakan adjudikasi berada pada lembaga pengawas pemilihan, Bawaslu hingga Panwaslu Kabupaten/Kota. Kepastian ini termuat pada norma pasal 468 UU 7/2017 (UU Pemilu) dan pasal 143 UU 1/2015.

Secara historis, konsep adjukasi pada sengketa pemilihan bermula pada  pemilu 2014, yang berpijak pada UU 8/2012. Konsep adjudikasi ini juga diadopsi pada pemilihan kepala daerah serentak, yang terkoridori melalui UU 1/2015 dan terakhir perubahannya UU 10/2016 (UU Pilkada). Namun demikian, ada hal yang berbeda menyangkut konsep adjudikasi yang tertangani dengan UU 8/2012 dan UU Pilkada dengan UU Pemilu saat ini, yakni menyangkut sifat mengikat putusan ajudikasi.

Putusan adjudikasi menurut UU 8/2012 dan UU Pilkada memiliki sifat mengikat, imperative wajib dilaksanakan KPU dengan limitasi waktu pelaksanaan.  KPU tidak memiliki hak (legal standing) untuk melakukan upaya hukum ke PTUN/PTTUN. Berbeda dengan UU Pemilu, jika Bawaslu telah memutus sengketa adjudikasi terhadap kasus tertentu (berkait sengketa pencalonan), maka dimungkinkan bagi KPU untuk mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dalam hal KPU tidak menerima/keberatan atas putusan Bawaslu (vide: pasal 469 ayat (2) UU Pemilu).

Walau ruang bagi KPU untuk mengajukan upaya hukum ke PTUN jika tidak menerima/keberatan atas putusan Bawaslu terbuka, namun dalam prakteknya KPU tidak menempuh upaya hukum demikian. Secara nalar hukum tidak mungkin KPU mengajukan upaya hukum ke PTUN dengan menjadikan keputusan KPU sebagai Objek Sengketanya. Notabene keputusan aquo diterbitkan dan digugat oleh dirinya sendiri. Hal ini bisa ditilik dalam kasus tidak lolosnya Partai Bulan Bintang (PBB) saat verifikasi partai peserta pemilu 2019. Setelah Bawaslu memutus menerima permohonan sengketa PBB, KPU langsung melaksanakan putusan adjudikasi, loloskan PBB sebagai salah satu peserta pemilu 2019. KPU tidak menempuh upaya hukum ke PTUN.

Faktanya, Bawaslu dalam memutus sengketa adjudikasi berkaitan sengketa pencalonan peserta pemilu, berujung pada dua alternatif putusan, yakni mengesahkan suatu keadaan hukum yang ada/perkuat keputusan KPU atau membatalkan keadaan hukum sebelumnya/batalkan keputusan KPU, terima permohonan pemohon. Dua alternatif ini menegaskan kepada kita bahwa putusan adjudikasi memberikan kepastian hukum, akomodir atau tidak akomodir kepentingan pemohon sengketa. Dengan kewenangan dan hukum acara yang bekepastian dan terukur, tak mungkin Bawaslu memutus sengketa adjudikasi dengan putusan yang samar bin summir. Putusan bawaslu bukan hanya bersifat korektif, namun harus progressif-menimbulkan akibat hukum baru, sebagai nyawa dari sifat putusan adjudikasi.

Tentunnya kita berharap atas putusan sengketa adjudikasi Bawaslu Sultra berkait permohonan pencalonan DPD yang diajukan oleh bakal calon DPD Titing Suryana Sarnanani secara substantif dapat memberikan putusan yang isinya menetapkan apakah yang bersangkutan memenuhi syarat datau tidak memenuhi syarat untuk melangkah ketahap selanjutnya sebagai Calon DPD RI dapil Sultra.

Kepentingan

Sejatinya, keberadaan upaya hukum sengketa adjudikasi adalah wujud dari perlindungan hak mencalonkan (right to be a candidate). Bakal calon peserta pilkada pun pemilu diberi kesempatan untuk mempersengketakan keputusan KPU menyangkut penetapan pencalonan yang merugikan dirinya, sebelum menempuh upaya hukum pada tingkat PTUN/PTTUN, yang secara jarak dan pembiayaan membutuhkan energi lebih. Selain itu, keberadaan fungsi Bawaslu yang turut menjadi penyeleggara pemilihan-awasi tahapan pemilihan dianggap memiliki pengetahuan dan data yang cukup berkait substansi tahapan pencalonan yang dipersoalkan.

Untuk memberikan pembatasan bahwa adjudikasi terbatas pada proteksi right to be a candidate, maka diberikan pembatasan untuk menjadi pemohon (legal standing) dalam sengketa adjudikasi Bawaslu. Batasan legal standing hanya kepada mereka yang memiliki kepentingan secara langsung, yakni limitatif kepada calon peserta/peserta pilkada maupun pemilu. Pemberlakukan limitasi syarat legal standing dengan tujuan agar tidak menumpuknya sengketa adjudkasi yang dapat dimohonkan oleh siapa pun, padahal substansi adjudikasi adalah pemastian agar bakal calon/calon peserta tidak terkurangi haknya untuk berkompentisi. Baik hak untuk berkontestasi pun hak untuk mendapatkan tahapan proses pemilihan yang fairness.

Bagi pihak yang tak memiliki kepentingan/legal standing dipastikan permohonannya tidak diterima sejak awal pendaftaran. Hal ini terpastikan dalam acara sengketa adjudikasi, Perbawaslu 18/2017 dan Perbawaslu 15/2017. Permohonan yang diregister untuk dapat disengketakan melalui sengketa adjudikasi, meskipun terpenuhi legal standing nya, ia harus mampu membuktikan kerugian nyata (actual loss) akibat dikeluarkannya keputusan KPU.  Jika hasil pemeriksaan sidang adjudikasi, ditemukan fakta akibat terbitnya keputusan KPU secara signifikan tidak mengakibatkan kerugian bagi pemohon, maka sepatutnya majelis sidang adjudikasi (Bawaslu) menolak permohonan aquo.

Hal ini menegaskan bahwa hanya kepada yang dinyatakan tidak lolos sebagai peserta pemilihan yang dituju sebagai pihak yang memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan adjudikasi. Sebagai perbandingan, hal ini dapat ditilik pada keberlakukan UU 1/2015. Kala itu, Bawaslu meminta fatwa kepada Mahmakah Agung (MA), perihal siapakah yang memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan sengketa adjudikasi sebagamaana dimaksud norma pasal 142 UU 1/2015?, oleh MA menjawab melalui fatwa MA No.115/Tuaka.TUN/2015 tanggal 21 Mei 2015, isinya menyatakan hanya hanya kepada mereka yang telah mendaftar sebagai peserta pemilihan namun oleh KPU dinyatakan TMS sebagai peserta, dapat menjadi pihak pemohon dalam sengketa adjudikasi.

Secara sederhana dapat ditarik kaidah hukum, bahwa pembatasan kepentingan untuk dapat menjadi pemohon sengketa hanya kepada mereka yang dintayakan TMS, berimplikasi bahwa ujung akhir dari putusan adjudikasi berkaitan pencalonan, adalah memutuskan apakah pemohon memenuhi syarat (MS) atau tidak memenuhi syarat (TMS). Keberadaan adjudikasi secara proses dipastikan melakukan penilaian lebih dalam pada sisi substantif, dan karenanya pula putusannya harus substantif.

Keadaan Baru

Dalam proses pencalonan, baik pilkada pun pemilu, bakal calon yang telah mendaftar dan dinyatakan TMS melalui suatu keputusan KPU, maka keputusan aquo dapat menjadi objek sengketa untuk dimohonkan sengketa kepada Bawaslu melalui proses adjudikasi. Penanganan adjudikasi mengadopsi pemeriksaan cepat yakni paling lambat 12 (dua belas) hari terhitung sejak diterimanya permohonan sengketa, putusan adjudikasi telah harus dijatuhkan. Kepastian ini termuat dalam ketentuan norma pasal 6 ayat (1) Perbawaslu 18/2017 dan pasal 18 ayat (1) Perbawaslu 15/2017. Proses adjudikasi dilakukan dengan memeriksa memeriksa sisi formil dan materiil penerbitan objek sengketa yang diajukan oleh pemohon, dengan memberikan kesempatan para pihak aktif membuktikan/menangkis dalil permohonan dalam sidang pembuktian.

Dalam hal permohonan ditolak, maka putusan adjudikasi menegaskan sahnya Objek Sengketa, sedangkan jika permohonan diterima maka putusan sengketa adjudikasi menimbulkan keadaan hukum baru (constitutif). Putusan yang menerima permohonan pemohon secara substantif harus memberikan akibat hukum baru bagi pemohon. Jika sebelumnya pemohon melalui keputusan KPU dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai calon peserta pemilu/pilkada, maka melalui putusan adjudikasi akan memberikan akibat hukum baru, menetapkan pemohon MS sebagai peserta pilkada/pemilu.

Pada titik inilah kekuatan putusan adjudikasi Bawaslu. Spirit pembentuk Undang_Undang mengkehendaki, melalui proses adjudikasi memberikan kepastian bagi bakal calon peserta pilkada/pemilu untuk mendapatkan kepastian, apakah MS atau TMS sebagai peserta pilkada/pemilu. Putusan adjudikasi tidak diharapkan memberikan putusan yang abu-abu (summir), misalnya hanya memerintahkan pengulangan tahapan verifikasi pencalonan tanpa ada kepastian substantif apakah dengan pengulangan tersebut berimplikasi langsung menyatakan MS atau TMS atas status pencalonan yang dimohonkan aquo.

Putusan adjudikasi dalam hal menerima permohonan pemohon harus menimbulkan “keadaan hukum baru” bagi pemohon. Ia harus secara nyata-langsung memberikan akibat hukum yang konkrit atas status pemohon berkaitan dengan pencalonannya. Hal ini penting, karena sifat kekhususan pilkada/pemilu dimana tahapan berjalan terus, sehingga sulit mengulang tahapan hanya karena alasan yang sifatnya elementer yakni ada tahapan yang terlanggar namun pengulangan tahapan aquo secara konkrit tidak berimplikasi terhadap status pencalonan pemohon, yang seharusnya dapat langsung dinyatakan MS. Kewenangan adjudikasi diharapkan bukan sekadar tukang cap/stempel, menilai procedural atau tidak proseduralnya suatu tahapan, tetapi adjudikasi harus lebih proggresif memberikan keadilan substantif bagi pemohon selaku pencari keadilan (liabellen) berkait status pencalonannya, MS atau TMS.

Secara faktual, putusan adjudikasi yang sekadar menilai sahnya suatu prosedur tanpa menilai status pemohon apakah MS atau TMS terjadi pada putusan Adjudikasi Pilkada Buton 2016. Putusan adjudikasi memerintahkan KPU Buton mengulang-buka kembali tahapan pendaftaran Bupati dan Wakil Bupati Buton 2016 untuk bakal bakal pasangan calon H.Hamin dan Farid Bachmid,. Hasilnya, pengulangan aquo tetap menyatakan bakal pasangan calon H.Hamin dan Farid BAchmid tidak memenuhi syarat pencalonan, sama dengan Keputusan KPU yang menjadi objek sengketa adjudikasi. Akhirnya kemanfaatan atas putusan adjudikasi tidak memberi daya guna bagi kepastian hukum status pemohon. Padahal pada saat sidang adjudikasi aquo, telah dipapar lampiran syarat pencalonan pemohon, yang seharusnya bisa diputus apakah pemohon TMS atau MS tanpa mengulang tahapan pendaftaran.

Tentu kita tidak ingin pengulangan kasus adjudikasi demikian terulang. Dengan kewenangan adjudikasi yang sejak awal memastikan kecukupan sisi formil dan materiil permohonan pemohon, dilanjutkan dengan proses pembuktian oleh para pihak, termasuk kewenangan adjudikasi dapat meminta keterangan dari pihak yang kompoten, dan ditambah dengan fungsi Bawaslu yang dipastikan hadir pada setiap tahapan pilkada/pemilu, sesungguhnya melalui adjudikasi dapat mementukan apakah pemohon atau yang dimohonkan dapat ditetapkan MS atau TMS sebagai peserta Pilkada/Pemilu.

Hal ini menjadi krusial, agar pengawas pemilihan dalam mengawas proses pemilu 2019 pun pilkada serentak 2018 lebih dapat mengenal secara dalam substansi kewenangan mengadili sengketa adjudikasi. Cita hukum yang dituju melalui kewenangan adjudikasi, agar putusannya memberi kepastian hukum kepada liabellen berkait status pencalonan yang dimohonkan. Putusan adjudikasi bukan hanya sekadar korektif atas tahapan pencalonan, tetapi dapat memberi akibat hukum baru bagi status pencalonan, MS atau TMS.  Inilah makna keadilan atas right to be a candidate yang mintakan norma pasal 468 UU Pemilu.

Oleh: Baron Harahap,SH., MH

Praktisi Hukum/Mantan Pengurus KIPP Kota Kendari

You may also like...