Unisan, Plagiasi, dan Riwayatmu Kini

Sumber Gambar: read.id

Saat saya mulai menggoreskan kata hingga terangkai kalimat melalui naskah ini, kerinduan kembali mencekam hingga menembus dinding-dinding ingatan tujuh, delapan tahun yang lalu saat masih berprofesi sebagai dosen di Universitas Ichsan (Unisan) Gorontalo. Sedang membayang di pelupuk mata, ruangan kelas tempat dimana saya pernah mengajar berikut dengan aroma kampusnya yang sejuk dengan perpaduan cat gedungnya serba hijau.

Saya dirundung kesedihan, sebab kampus yang pernah membesarkan saya itu, dilanda musibah, tiba-tiba dikenakan sanksi oleh Kemenristekdikti dalam status pembinaan. Gara-gara sanksi tersebut, selama enam bulan, kini Unisan tidak dapat lagi menerima pendaftaran mahasiswa baru dan tidak dapat pula menggelar wisuda. Dan alasan mendasarnya hingga sanksi dijatuhkan, pihak TIM Eka Pusat telah menemukan praktik plagiat skripsi yang melibatkan antara dosen dan mahasiswa.

Untunglah dengan sampainya kabar duka itu, saya bisa kembali  tenang, setelah Wakil Rektor Achmad Risa Mediansyah bagian kemahasiswaan, alumni, dan kerjasama Unisan Gorontalo, angkat bicara terkait sanksi yang dijalani Unisan Gorontalo, bahwa segera akan dicabut, karena pimpinan Unisan Gorontalo sangat kooperatif memenuhi rekomendasi perbaikan, dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) RI. Pernyataan itu juga turut diamini oleh Prof. Jasruddin, Ketua LLDIKTI wilayah IX.

Katanya kini telah dilakukan perbaikan terkait masalah plagiasi melalui Workshop Turnitin kepada para dosen. Telah juga direkomendasikan kepada oknum mahasiswa yang terlibat dalam plagiasi, untuk membuat skripsi yang baru, dan setelah itu akan diberikan ijazah yang baru. Sedangkan oknum dosen yang terlibat, dikenakan sanksi pemecatan dengan tidak terhormat.

Soal Utama

Di atas segalanya, semua upaya pemangku kepentingan yang telah mengerahkan seluruh energinya demi Unisan Gorontalo. Kalau boleh, saya memohon izin untuk memberikan saran pula demi kelangsungan kampus hijau yang masih di bawah kendali, Dr. Abdul Gaffar Latjokke.

Marilah kita mulai jujur bersama, jangan selalu bertahan pada pendirian bahwa ada yang saya lebih tahu, sementara kamu dan kalian pada sesungguhnya tidak tahu. Sebab satu soal utama dari semua permasalahan itu, mulai dari dosen internal sendiri yang mengajukan pengaduan ke Kemenristekdikti hingga ditemukannya kasus plagiasi, apalagi kalau bukan soal kesejahteraan atau gaji para dosen yang dalam penilaian tidak layak.

Analogi sederhananya begini; karena gaji dosen dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka (apalagi yang sudah berkeluarga), maka muncullah kedok pihak dosen yang membuatkan skripsi untuk mahasiswa. Bisa dibayangkan kalau dosen membuat banyak skripsi, dipastikan tidak mungkin hasilnya maksimal. Terjadilah copy paste beberapa halaman skripsi, baik dari skripsi yang dibuat pada saat itu maupun dari skripsi-skripsi sebelumnya. Parahnya lagi tidak menutup kemungkinan akan ada hasil copy paste dari skripsi kampus luar.

Makanya tidak habis saya pikir, kalau dalam kejadian plagiasi itu tidak melibatkan pimpinan tertinggi kampus. Bukankah ketika dosen diinstruksikan oleh pimpinan agar mengkoordinir mahasiswa, semuanya diprioritaskan selesai (sarjana), tidak termaknai implisit  sebagai keterlibatan pimpinan, dalam hal dosen membuatkan skripsi untuk mahasiswa. Bahkan dalam hal tertentu, sudah ekstrim, pimpinan kerap memaksa para dosen mendahulukan ujian proporsal bagi mahasiswa tingkat akhir, sebelum bahan penelitiannya tersedia (utamanya mahasiswa di Fakultas Pertanian).

Tidak masuk akal bagi saya, kalau lagi-lagi pimpinan dalam kasus plagiasi itu tidak terlibat. Dia pasti tahu ada kejadian begitu, pun kalau mengabaikannya padahal ia sudah tahu sama saja ia terlibat dengan cara membiarkan. Apa mau dikata, gaji mereka tidak cukup, tidak mengapa melakukan pekerjaan sambilan walaupun bertentangan dengan hati kecilnya.

Motif di balik itu semua, mohon maaf kalau saya mengatakannya “uang.” Pimpinan tertinggi kampus memaksakan agar semua mahasiswa yang sudah di semester akhir, cepat-cepat diwisuda. Tujuannya apa? Apalagi kalau bukan pemasukan uang melalui pembayaran wisuda, dan berbanding lurus dengan itu tersedia lagi “kursi kosong” untuk pendaftaran mahasiswa baru, buat pemasukan “uang lagi” bagi pihak kampus.

Jadi cerita benar yang sesungguhnya, bukanlah mahasiswa yang melakukan plagiat, tetapi dosen yang telah membuat skripsi untuk mahasiswa sebagai pelaku plagiatnya. Dan saya kira, kalau soal jumlah skripsi di Unisan Gorontalo yang terindikasi plagiat, bukan hanya dalam jumlah satuan, ratusanpun bahkan belum mencukupi, sebab praktik yang berlangsung hingga saat ini, tugas akhir mahasiswa (skripsi) masih lebih banyak diambil alih oleh para dosen. Tidak fair jika pihak kampus yang dibebani tanggung jawab moral, mengecek skripsi yang terindikasi plagiat, harusnya pihak kemenristekdikti yang melakukan pengecekan total untuk semua skripsi alumni.

Sayapun kemudian termasuk orang yang tidak percaya, jika Unisan sudah memberikan sanksi pemecatan terhadap salah satu oknum dosen yang terindikasi melakukan plagiat skripsi. Sebab kalau sanksi itu hendak dilaksanakan secara konsisten, akan jauh lebih banyak memakan korban pemecatan dosen.

Bekerja Profesional

Sebagaimana saya telah ungkap sebelumnya, bahwa masalah yang menimpa Unisan adalah masalah gaji dosen, maka benahilah masalah tersebut dengan menentukan gaji standar yang berdasarkan upah minimum.

Tentu untuk soal mengakhiri plagiasi, rendahnya gaji para dosen akan berhubungan dengan variabel lainnya. Yaitu dapatkah staf pengajar bekerja dalam on the track, profesional, dan terampil mendidik seluruh mahasiswa dalam menuangkan ide yang berdasarkan pada keilmuannya masing-masing.

Kampus harus menghidupkan budaya membaca dan literasi, perpustakaan perlu pembenahan buku-buku teraktual, membuka pasar toko boko di lingkungan kampus. Para pengajar harus sadar diri, belajar dan terus belajar, menuntaskan sejumlah literatur yang terkait dengan kompetensi keilmuannya.

Saya berkeyakinan riwayat Unisan Gorontalo akan tetap menjadi kampus peradaban, kini dan esok. Sejumlah dosennya telah pulang mengajar dengan gelar doktor mentereng, tak boleh dipandang sebelah mata, sebab kadang egoisme intelektual kerap menghinggapi memperjuangkan idealisme dan profesionalisme.

Kepada Rektor Unisan Gorontalo, Dr. Abdul Gaffar Latjoke, mulailah hari ini menghargai karya dan literasi para dosen pengajarnya. Mereka yang tekun dalam berkarya, menerbitkan buku atas namanya sendiri jangan dipandang enteng, dimohonkan biaya cetak namun didiamkan, tidak dianukan. Giliran pemberkasan akreditasi kampus, karya para dosen dilirik oleh asesor, sang rektor hanya bahagia pada nilai akhir, A atau B.

Kemenristekdikti jangan pula hanya fokus pada kesalahan internal kampus (Unisan Gorontalo). Selidikilah lebih lanjut, jangan-jangan LLDIKTI wilayah IX pun selama ini terlibat dalam konkalikong, pengelolaan kampus Unisan tidak dalam perhatian seriusnya. Sebab mengapa, dosen mengadu ke Kemenristekdikti terkait karut-marutnya Unisan, bukan ke LLDIKTI wilayah IX dahulu. Ada apa dibalik itu, benarkah selama ini laporan ke LLDIKTI wilayah IX didiamkan karena “ekornya” sudah dipegang melalui jalan transaksional. Entahlah…!!!

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...