Euforia “Korupsi” Lembaga Perwakilan Rakyat
Lembaga perwakilan pada dasarnya merupakan sebuah representasi untuk bertindak serta berbicara kepentingan konstituen. Sehingga menjadi mikrokosmos sosial suatu bangsa. Sebagai bagian dari sebuah lembaga perwakilan. Dalam hal ini parlemen mempunyai hubungannya yang sangat kuat dengan konstituen untuk mewujudkan artikulasi dan agregasi kepentingan. Tentunya ini merupakan sebuah tolak ukur dalam menciptakan sebuah kultur demokrasi yang baik.
Di dalam tatanan sistem politik yang berlangsung di Indonesia. Lembaga perwakilan menjadi sebuah indikator yang sangat “ideal” untuk menciptakan serta merealisasikan seluruh kepentingan publik demi mewujudkan cita-cita masyarakat yang beradab. Hanry B. Mayo menggariskan bahwa sistem politik demokratis adalah suatu sistem dimana kebijakan publik ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilahan berkala, didasarkan prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Jika kita meneropong lebih jauh lagi. Lembaga perwakilan mempunyai kekuatan sangat besar, sebagai mitra pemerintahan di dalam sebuah lembaga kenegaraan (baca: fungsi legislatief). Lembaga ini menjadi kekuatan absolut sebagai bagian dari proses untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan masyarakat. Sehingga berimplikasi untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat sangat besar. Artinya lembaga perwakilan menjadi sebuah wadah untuk mengobati kegelisahan dan ketidakadilan masyarakat, bukan untuk diperdagangkan.
Akhir-akhir ini, nampaknya lembaga perwakilan telah menjelma menjadi sebuah “Istana Raja” yang dihuni oleh kaum “pemuja syetan”. Kekuasaan yang begitu besar tersebut akhirnya digunakan sebagai ajang penanaman modal untuk memperkaya diri sendiri, sehingga mampu menghipnotis masyarakat dan menimbulkan stigma negatif terhadap lembaga perwakilan.
Masih tersimpan didalam memori bangsa. Kejahatan dilakukan oleh para broker-broker lembaga perwakilan. Dengan modus yang berbeda tersebut, mulai menguat dengan adanya kasus praktik kejahatan serta penghianatan terhadap suara kebenaran masyarakat. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) ternyata masih dikagumi dan diamini. Seakan akan kita kembali pada zaman dimana hak-hak rakyat telah tergadaikan oleh kepentingan penguasa (baca: zaman orde baru). Kebangkitan zaman yang “mati rasa” ini kembali muncul sebagai pembenaran terhadap sebuah kejahatan secara terorganisir.
Sebuah fakta yang menghakimi realitas bangsa diwujudkan dengan kemunafikan hingga merosotnya keadilan dan kebenaran yang telah terdegradasi. Kecenderungan wakil rakyat untuk berpura pura menjadi alibi pembenaran praktik kejahatan. Esensi dasar lembaga perwakilan perlahan-lahan kehilangan makna. Akibatnya negeri ini hanyut diatas sejarah sandiwara yang kehilangan “Roh” kebangsaan.
Ironisnya, isu korupsi yang berasal dari kalangan parlemen tidak mampu membuat jera. Justru kemudian menjadi inspirasi untuk melakukan kejahatan yang sama. Kursi-kursi parlemen digunakan sebagai ladang dalam mencari nafkah. Di satu sisi kemerosotan moralpun selalu ditampilkan dan kemudian menjadi konsumsi oleh masyarakat.
Perkara korupsi yang melibatkan anggota parlemen melahirkan semakin pesimis atau skeptis terhadap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Pelaku korupsi semakin percaya diri. Tentunya melecehkan akal sehat sebagai bangsa yang berlandaskan UUD NRI Tahun 1945. Perilaku politisi terutama DPR/ MPR yang tidak risih memamerkan kekayaan yang “datang secara tiba-tiba”. Padahal kinerja sering memancing kontroversi masyarakat. Sederhanya, tidak ada kontribusi riil yang disumbangkan untuk bangsa dan Negara. Panggung politik kemudian menjadi tontonan publik yang tidak menarik.
Kasus demi kasus merajalela hingga ke pelosok istana. Mulai dari kasus keterlibatan aggota DPR dalam video porno. Yang berdampak pada krisis moralitas kaum intelektual bangsa. Kemudian para anggota DPR berhasil “mengeroyok” uang Negara secara berjamaah. Kondisi ini tentunya menyandera kepercayaan masyarakat yang selama ini selalu mengaguminya. Prestasi lembaga perwakilan mulai menorehkan penghargaan yang memalukakan.
Survey Lembaga Riset Independen SSS (Soegeng Sarjadi Syndicate) memberikan penghargaan kepada DPR sebagai pemenang dan berhasil mendapatkan posisi yang paling mulia (urutan pertama) yaitu “Lembaga Pemerintah Terkorup di Indonesia dengan persentase 47 persen atau 1.030 responden dari total 2.192”. Dibandingkan dengan kantor pajak, kepolisian, dan partai politik. Kordinator Forum Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) Bung Sebastian Salang. Berpendapat bahwa DPR sebagai lembaga yang mewakili rakyat Indonesia, telah membunuh harapan bangsa yang mengharapkan adanya perbaikan di negeri ini. “Masayarakat sesungguhnya telah kehilangan harapan”.
Sebastian juga mengemukakan ada beberapa faktor yang menyebabkan anggota DPR sebagai lembaga terkorup. (1) disebabkan karena sistem pemilu yang menelan biaya politik mahal. Karena itu politisi belomba-lomba untuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan politiknya. (2) partai-partai politik yang ada di Indonesia cenderung mengandalkan pendanaan dari kadernya yang duduk di DPR. (3) karena politisi DPR memang berperilaku hedonis.
Kondisi bangsa ini sudah terlalu lama jatuh sakit. Rentetan tembakan semakin mengguncang pertahanan sistem demokrasi sebagai suara kebenaran. Generasi bangsa saat ini harus mampu menyadari bahwa negeri ini bukan hanya milik segelintir orang yang mengatasnamakan kehendak kebenaran rakyat. Kebangkitan bangsa ditentukan oleh kalangan intelektual yang tentunya memahami tentang kondisi realitas dan tidak pada kaum pemuja syetan.
Akhirnya, meskipun kondisi parlemen sudah sedemikian terpuruk. Kita masih perlu berharap kepada kaum intelektual dari kalangan legislatif kita agar tetap mendengar jeritan rakyatnya. Janganlah para legisltif kita menjadikan jabatannya sebagai tempat menilap uang rakyat !