Dapatkah M. Tamzil sebagai Residivis Korupsi DiKenakan Hukuman Mati?

Sumber Gambar: suara.com
Rencana pengenaan hukuman mati Bupati Kudus, M. Tamzil sedang dipertimbangkan oleh KPK. Alasan yuridisnya, dia adalah pelaku tindak pidana berulang (residivis).
M Tamzil selain saat ini, terlibat dalam perbuatan jual beli jabatan, dahulunya (2014) sudah pernah pula terbukti sebagai pelaku tindak pidana korupsi pengadaan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus.
Layakkah kemudian M. Tamzil dikenakan hukuman mati dengan mengkonstituir Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)? Apakah dari semua jenis delik korupsi dalam undang-undang a quo, sepanjang terjadi perulangan sudah rasional dikenakan hukuman mati tanpa memandang macam dan bentuk korupsinya?
Hukuman Mati
Diantara semua jenis hukuman dalam KUHPidana, pada sesungguhnya hukuman matilah tergolong sebagai hukuman yang paling kejam dikarenakan kehidupan manusia sebagai hak dasar dilakukan perampasan. Tidaklah mengherankan, kelompok abolisionis mengecam hukuman mati, sebab selain karena alasan hak dasar itu, sekali dijatuhkan dan dilaksanakan maka sudah tidak ada jalan lain lagi untuk memperbaiki kesalahan hakim jika keliru dalam penjatuhan putusannya.
Sekalipun common sense publik mengharapkan hukuman mati bagi semua koruptor tanpa memandang jenis korupsi yang dilakukannya, UU Tipikor hanya mengerucutkan jenis tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 UU Tipikor beserta dengan syarat-syarat yang menyertainya, mengakomodir bentuk hukuman mati.
Pasal 2 UU Tipikor menegaskan: “(1)Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000 (satu miliar rupiah); (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Adapun selanjutnya yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam Pasal 2 ayat 2 undang-undang a quo, adalah suatu keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya, Pasal 2 UU Tipikor tersebut yang mengakomodasi hukuman mati, tidak dapat dilepaskan dari kondisi dan sosiohistoris yang melatarinya, sejak pertama kali dihadirkan melalui UU Nomor 31 Tahun 1999. Kala itu eforia reformasi yang salah satu tuntutannya pemberantasan korupsi, menjadi semangat pembentukan UU Tipikor. Hadirlah Pasal 2 ayat 2 dengan bentuk hukuman mati yang berparadigma pemusnahan (lex tallionis)
Kiranya dengan bunyi Pasal 2 a quo beserta dengan penjelasannya, secara normatif maka terang dan sangat jelas, M. Tamzil tidak dapat dikenakan hukuman mati, sekalipun saat ini tergolong sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang berulang.
Hal itu disebabkan tindak pidana korupsi berulang yang telah dilakukannya tidak terkualifikasi sebagai bentuk korupsi yang sejenis. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 2 “…Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1….” menyiratkan pengertian restriktif bahwa hanyalah jenis korupsi yang dilakukan secara berulang sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 1, dapat dikenakan hukuman mati.
Penting untuk diketahui bahwa dalam UU Tipikor (UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dalam UU No.20/2001) secara keseluruhan terdapat tiga puluh perbuatan yang dikualifikasikan sebagai Tipikor. dari tiga puluh perbuatan tersebut secara garis besar dapat dibagi menjadi tujuh jenis, yaitu: Tipikor yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara sebanyak dua pasal; Tipikor berupa suap-menyuap sebanyak dua belas pasal; Tipikor yang berhubungan dengan penggelapan dalam jabatan sebanyak lima pasal; Tipikor yang bertalian dengan pemerasan sebanyak tiga pasal; Tipikor berupa perbuatan curang sebanyak enam pasal; Tipikor yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa satu pasal; dan Tipikor berupa gratifikasi juga satu pasal.
M. Tamzil, Bupati Kudus itu dahulunya melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan kerugian negara. Sekarang, melakukan tindak pidana korupsi berupa suap menyuap. Jadi jelas berbeda jenis perulangan tindak pidana korupsinya, sehingga hukuman mati tidak dapat diberlakukan kepadanya.
Pemberatan Pidana
Penulis berkeyakinan bahwa secara normatif UU Tipikor yang tidak dapat menggiring M. Tamzil ke tiang eksekusi mati, akan menimbulkan banyak sikap kecewa, terutama kalangan aktivis anti korupsi.
Namun terlepas dari itu semua, M. Tamzil juga pada akhirnya tidak dapat berharap banyak kepada KPK, hingga pengadilan Tipikor nanti. Hanya dihukum rendah, serendah-rendahnya dua atau empat tahun misalnya.
Tidak demikian, kendatipun pengulangan tindak pidana korupsi yang dilakukannya tidak sejenis, adalah berlaku pemberatan pidana yang membuka peluang “diskresi” untuk dijatuhkan vonis penjara dalam batas tertinggi, 20 tahun.