KPK (Harus) Beradaptasi

Muh. Nursal N.S.

Fight back… ! Partai Moncong Putih menyerang balik. Saking seriusnya, Menteri Hukum dan HAM, turun rembuk. Menanggalkan jabatannya sejenak dan ikut Konferensi Pers, menabuh genderang peringatan.

Partai Banteng itu, berang, dan melawan tudingan miring. Termasuk menyoal segel-menyegel aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walau berhasil menghalau penggeledahan, ia tetap akan menanduk oknum KPK yang dianggapnya unprofessional conduct.

Dan, diskursus lama terkuak kembali. Yang dulu banyak diributkan, sebelum UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK disahkan. Tentang Penggeladahan KPK harus seizin pengawas.

Penggeledahan 

Dalam hukum pidana, ada krodeo yang masyhur,  In criminalibus, probationes bedent esse luce clariores. Terjemahan bebasnya:  Bukti harus lebih terang daripada cahaya. Jangan menyeret dan menghukum orang tanpa alat bukti yang sah dan meyakinkan. Begitu kira-kira maksudnya.

Hukum pidana memang seperti itu. ketat. Tak boleh gegabah dalam menentukan pelaku kejahatan. Harus ada bukti yang terang-benderang, baru menemukan penjahatnya. Bukti temaram, seberapapun banyaknya, hanya akan jadi tumpukan.

Itu karena hukum acara pidana menggunakan sistem pembuktian, negative wettelijkj. Dua alat bukti ditambah keyakinan hakim. Sederhananya, walaupun alat buktinya melebihi dua, tapi hakim tidak yakin kesalahannya, terdakwa tetap harus dibebaskan.

Dengan sistem yang ketat itu, penyidik dibekali banyak wewenang. Diantaranya Penggeledahan dan penyitaan. Kesemuanya demi menemukan alat bukti. Baik Kuantitas maupun kualitasnya.

Tetapi, penggeledahan dan penyitaan berpotensi disalahgunakan. Juga mengancam hak pribadi orang. Karena itu, harus ada izin dari Ketua Pengadilan setempat. Baru bisa dilaksanakan.  Begitu KUHAP menggariskannya.

Namun dalam keadaan mendesak, Izin ketua Pengadilan tidak diperlukan. Boleh menyusul. Kalau-kalau naluri subyektif Penyidik, menduga barang bukti akan dihilangkan. Begitu syarat mendesaknya (Pasal 34 ayat 1 KUHAP.

Lain KUHAP lain UU KPK. Penggeladahan dan penyitaan di UU KPK harus seizin tertulis Dewan Pengawasnya (Pasal 37 UU KPK). Dulu tak begitu. Di UU KPK sebelumnya, KPK bebas melakukan penggeledahan dan penyitaan. Tak ada surat izin dari organ manapun.

Malangnya lagi, di Undang-undang tersebut, tak ada pasal antisipatif. Kalau- ada keadaan mendesak, yang mengharuskan menggeledah dan menyita dulu. Nanti izin dewan pengawas menyusul. Inilah kelemahannya.

Izin dewan pengawas dianggap memperlambat penggeledahan. Meski 1 x 24 jam permintaan izin itu harus berkepastian. Dizinkan atau tidak diizinkan. Namun Tetap saja berpotensi  mengulur waktu kerja penyidikan.  Apalagi, strategi dan modus operandi tindak pidana korupsi, senyap tak berbekas. Jarang meninggalkan jejak.

Lagi-lagi Ironis, KUHAP saja yang menyasar kejahatan umum-umum, namun menyediakan pasal penggeladahan dan penyitaan dalam keadaan mendesak. Sedangkan UU KPK sama sekali tidak mengatur  kondisi mendesak itu. Padahal saat ini, kejahatan korupsi semakin mempersulit bentuknya untuk dilacak.

Sekadar catatan,  aturan penggeladahan yang digunakan KPK adalah UU KPK. Bukan yang di KUHAP. Berdasarkan asas lex specialist derogat legi generale.

Belum lagi, senjata ampuh KPK, yaitu penyadapan, juga harus seizin Dewan Pengawas. Tak terbayangkan, berapa banyak persekongkolan di jaringan seluler yang terlewatkan karena menunggu persetujuan Dewan Pengawas. Mungkin sudah ada yang transaksi. Itupun kalau tidak bocor dari oknum KPK.

Padahal Penyidik harus lebih cepat dari siasat koruptor. Lambat selangkah, atau salah langkah, barang bukti raib, Perbuatan tersamar dan pelaku mengaburkan diri. Mereka sudah banyak belajar dari para pendahulunya.

Harus Beradaptasi

In casu, tidak ada salahnya penjaga kantor PDIPerjuangan, menanyakan legal dokumen KPK. Sudah seharusnya begitu. Supaya penegak hukum tidak serampangan menggunakan kekuasaannya. Abuse of power. KPK cukup memperlihatkan legalitasnya. Sebagai bagian dari akuntabilitas. Tak perlu panik. Toh, yang menghalang-halangi kerja penyelidik/penyidik terancam tindak pidana obstruction of justice. Itu kalau penggeledahannya sesuai prosedur.

Namun, KPK nampaknya gugup, mereka menarik diri. Tak jadi menggeledah. Entah, Izin dewan pengawas belum keluar atau ada perlawanan yang sengit. Bahkan sampai beberapa hari KPK tak kunjung datang. Padahal kalau masalahnya di izin Dewas, mestinya mereka sudah menggeledah. Karena kepastian izin dewan pengawas keluar 1 x 24 jam.

Penggeledahan dan penyitaan itu harus dipercepat supaya tak ada oknum yang menghilangkan barang bukti. Makanya jadwalnya dirahasiakan. Tetapi dalam kasus ini, mengherankan. Tempus, locus, bahkan kepastian izin dewan pengawas diketahui publik.

Nampaknya, kinerja KPK kali ini, diperlambat oleh UU, juga dihambat oleh oknum-oknum KPK. Lihat saja, sprint-lidik yang bocor, simpang siurnya fakta penguntitan mereka, baik di Kantor PDIP maupun di PTIK. Atau mungkin mereka butuh menyesuaikan diri dengan UU KPK yang baru ini.

Pastinya, mereka dituntut bekerja cepat dan senyap di tengah lilitan UU KPK yang lambat dan cenderung terbuka. Belum lagi, jika kecurigaan publik benar, ada oknum KPK yang berselingkuh dengan koruptor. Sangat kompleks.

Atau begini saja, Sembari menunggu kemurahan Perppu, boleh dicoba menggantang asa di Mahkamah Konstitusi. Memohon judicial review UU KPK. bahwa demi kepastian hukum, dalam keadaan mendesak,  penggeledahan/penyitaan boleh dilakukan, tanpa izin dewan pengawas. Seperti di KUHAP.

Tetapi harapan tetap harus ditumbuhkan. KPK wajib beradaptasi dan mensiasati UU KPK. Aturan hanyalah benda mati, yang hidup itu, manusianya. Setumpul-tumpulnya UU, pasti masih bisa digunakan untuk memukul. Hanya strategi dan dan caranya yang perlu diubah. Kecuali manusianya yang bermasalah. Itu yang sulit.*

 

Artikel Ini Telah Muat Sebelumnya di Harian Tribun Timur Makassar, 22 Januari 2020

Muhammad Nursal Ns

Praktisi Hukum Makassar

You may also like...