Psikopat Merebak di Dunia Anak

Seto Mulyadi (Sumber: merdeka.com)
SELURUH gambaran fiksi tentang pembunuh berdarah dingin seolah berhimpun pada diri anak itu. Sejujurnya, selama puluhan tahun, saya berkecimpung di dunia perlindungan anak dan berjumpa dengan anak-anak yang melakukan perbuatan pidana. Remaja putri yang satu ini bisa dibilang sebagai anak dengan kelakuan paling di luar batas kemanusiaan. Tentu, dibutuhkan pemeriksaan mendalam untuk menyingkap bagaimana sesungguhnya profil psikologis anak tersebut.
Potret tentang tingkah laku anak itu, sebagaimana diwartakan media, mengingatkan saya pada sekian banyak hasil penelitian yang pernah saya baca. Saat berhadapan dengan gambaran tentang perbuatan pelaku yang masih begitu sadis, kiranya tidak sedikit warga masyarakat yang berharap pelaku dijatuhi hukuman seberat-beratnya.
Keinginan itu boleh jadi perlu dievaluasi kembali. Alasannya, riset-riset terbaru di bidang psikologi dan ilmu saraf neuroscience justru sudah sampai pada penjelasan radikal bahwa akar persoalan anak dengan tabiat callous unemotional (CU, istilah yang lebih umum bagi anak-anak berkepribadian psikopat) terletak bukan hanya lapisan perilaku ataupun lapisan kepribadian semata.
Para ilmuwan menemukan adanya bagian otak pada para psikopat yang tidak merespons sebagaimana orang umumnya. Salah satu penelitian membandingkan respons otak subjek psikopat dan subjek nonpsikopat saat kepada mereka diperlihatkan serangkaian foto ataupun video dramatis.
Seketika, bagian tertentu pada subjek nonpsikopat terlihat merespons. Manifestasinya ialah pemunculan perasaan sedih, takut, marah, iba, kecewa, dan reaksi-reaksi afektif lainnya. Pada subjek psikopat, bagian otak yang sama tidak merespons.
Bagian otak tersebut berurusan dengan empati. Akibatnya, pada diri subjek psikopat tidak ada perubahan suasana hati sama sekali. Itulah yang diyakini sebagai sebab mengapa individu psikopat atau callous unemotional tampak tidak memiliki perasaan penyesalan dan ketakutan betapa pun ia telah melakukan perbuatan yang tidak pantas.
Kondisi otak yang secara bawaan memang berbeda itulah yang melatarbelakangi munculnya wacana bahwa anak-anak callous unemotional dan para pelaku kejahatan psikopat tidak sepatutnya dihukum seperti para anak-pelaku (anak yang berkonflik dengan hukum) serta pelaku dewasa yang juga melakukan pembunuhan ‘biasa’.
Sampai di sini, penting dipahami bahwa tidak serta-merta kondisi psikopati atau callous unemotional menjadikan orangnya sebagai pelaku kejahatan. Jadi, tetap dibutuhkan faktor eksternal untuk meletupkan predisposisi jahat menjadi perilaku jahat.
Tontonan kekerasan, perceraian orangtua, dan kondisi prasejahtera bisa menjadi faktor-faktor pemicu tersebut. Ditambah lagi dengan pengabaian masyarakat sekitar dan wilayah yang jauh dari tertata.
Para ilmuwan juga memberikan perhatian pada empat dimensi yang terdapat pada para psikopat atau anak-anak dengan kondisi callous unemotional. Empat dimensi itu ialah impulsivitas, agresi, sifat manipulatif, dan defiant.
Jika dikaitkan dengan respons otak yang berbeda seperti tertulis di atas, tidak adanya perubahan perasaan membuat para psikopat dan callous unemotional cenderung berperilaku manipulatif. Baik memanipulasi situasi dan orang lain maupun mengamuflase diri sendiri.
Keempat dimensi tersebut, khususnya sikap manipulatif, mendatangkan tantangan tersendiri bagi para penyidik kepolisian dan personel pendukung lainnya. Mereka perlu sangat berhati-hati untuk tidak menelan begitu saja apa pun yang dikemukakan pelaku. Misalnya, apakah jawaban anak/pelaku ialah nyata atau tak lebih rekaan belaka?
Dengan segala tindak-tanduk sopannya, apakah yang bersangkutan memang benar-benar telah menyesali perbuatannya atau justru sedang membaca reaksi lawan bicaranya agar nantinya bisa dia manfaatkan? Andai pelaku menunjukkan gelagat perubahan perilaku yang positif di depan terapisnya, apakah dia sejatinya sedang merancang strategi tertentu agar bisa mendapat rekomendasi positif dari terapisnya?
Dilema
Kenyataan adanya pelaku pembunuhan sadis yang masih berusia sangat belia–sulit dipungkiri–memantik dilema. Pada satu sisi, ada kemafhuman bahwa ekspos kasus tidak semestinya sampai menstigma si pelaku. Namun, pada sisi lain, sungguh tak bijak apabila kasus ini dibiarkan luput dari perhatian masyarakat.
Publik memiliki kepentingan untuk mengetahui seluk-beluk kasus ini, termasuk profil pelaku, karena ini menyangkut kepentingan bahkan keamanan publik.
Tak kalah pentingnya, publikasi kasus ini tidak sepantasnya berekses pada munculnya–disengaja atau tidak–sikap memuja-muji si pelaku karena sudah berperilaku ekstrem.
Bukan hanya puja-puji sedemikian rupa yang merupakan bentuk pengakuan yang diinginkan pelaku, melainkan juga amat dikhawatirkan bahwa perbuatan pelaku justru menjadi inspirasi bagi remaja lainnya. Apalagi, harus diakui, generasi masa kini tampak lebih mudah meledak ketimbang generasi sebelumnya.
Pada akhirnya, perlakuan macam apa yang akan dikenai terhadap anak yang berperilaku jahat sedemikian keji? Pemenjaraan jelas bukan pilihan tepat. Studi menunjukkan bahwa pasca mengakhiri masa pemenjaraan, tingkat residivisme kriminal psikopat tetap jauh lebih tinggi daripada kriminal nonpsikopat.
Pada sisi lain, hingga saat saya menulis naskah ini, belum ada satu pun formula rehabilitasi psikis dan sosial yang benar-benar manjur untuk mengubah tabiat dan perilaku penjahat psikopat ataupun callous unemotional menjadi lebih positif.
Kita seolah seperti berhadapan dengan jalan buntu. Kalau saja pelaku ialah individu berusia dewasa, tidak sulit bagi saya untuk merekomendasikan ‘hukuman batas paling penghabisan’ sebagai satu-satunya pilihan atas ketidakampuhan pemenjaraan dan rehabilitasi. Rekomendasi sedemikian rupa tentu tidak mungkin–sama sekali tidak mungkin–dikenakan kepada para pelaku yang masih berusia anak.
Wawas Diri
Pelaku memang brutal. Kita marah, kita takut, dan kita sedih. Namun, sekiranya kita mau jujur, sesungguhnya mudah bagi siapa pun untuk menyaksikan bahwa perilaku antisosial dan tuna empati serupa selama ini juga sudah dilakukan banyak orang. Bahkan, mereka tidak hanya memangsa satu-dua korban, tetapi juga ribuan bahkan jutaan. Mereka yang, antara lain, berompi oranye berjejer di tangga gedung KPK dan Lapas Sukamiskin ialah individu kejam tanpa pernah menumpahkan darah.
Pada titik kenyataan itulah kita sesungguhnya tidak lagi sebatas bicara tentang psikopati sebagai masalah orang per orang, tetapi psikopati sebagai kepribadian kolektif. Itulah yang dijuluki Robert Hare sebagai camouflage society alias masyarakat penuh tipu daya, ibarat serigala berbulu domba.
Jadi, jelaslah anak-anak dengan tabiat callous unemotional boleh jadi pantulan bayang-bayang masyarakat yang serbabertopeng. Kalau kita ingin memupus kecenderungan itu dari anak-anak kita, tak lain kita pun dituntut untuk mampu menjaga jarak dari tabiat serupa. Semoga.
Oleh:
Seto Mulyadi
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Dosen Fakuktas Psikologi Universitas Gunadarma
ARTIKEL INI TELAH MUAT SEBELUMNYA DI HARIAN MEDIA INDONESIA, Selasa 10 Maret 2020