Advokat Kaisar: “Bagaimana Seharusnya Perlakuan Polisi Kepada Tersangka”

Advokat Kaisar
PERLAKUAN POLISI SELAKU PENEGAK HUKUM TERHADAP TERSANGKA TIDAK BOLEH DISKRIMINATIF DAN HARUS MANUSIAWI SERTA TIDAK MERENDAHKAN MARTABAT TERSANGKA.
Saya sedikit menyinggung dua asas hukum, yakni asas equality before the law (equal justice under law) dan asas “presumption of innocence”.
Secara singkat Asas Equality before the law adalah asas yang menyatakan bahwa semua orang sama kedudukan di depan hukum. Menurut asas ini bahwa siapapun orangnya, apakah dia pejabat atau rakyat biasa, semua sama di depan hukum. Artinya siapapun yang melakukan tindak pidana harus ditindak, diproses sesuai hukum yang berlaku. Demikian pula perlakuan yang diberikan terhadap pelaku tindak pidana harus sama dengan tidak memandang status sosialnya.
Asas ini tidak membenarkan jika terjadi perbedaan perlakuan, misalnya Si A dan si B melakukan tindak pidana. Tetapi hanya si A yang dijadikan tersangka karena si B adalah orang terpandang yang mempunyai kedudukan sosial di masyarakat; atau kedua-duanya dijadikan tersangka tetapi perlakuan berbeda.
Contoh lain misalnya ada tersangka pelaku tindak pidana delic dolus (Tindak Pidana dengan Kesengajaan) yang merugikan seluruh rakyat Indonesia, didepan aparat penegak hukum Tersangka masih bebas menebar pesona, senyum dan melambaikan tangannya ke kamera seperti artis, sebaliknya ada juga pelaku tindak pidana yang hanya kategori delic culpa (delik yang dilakukan karena kelalaian) diperlakukan sudah seperti penjahat kelas kakap atau diperlakukan seperti recidivis kambuhan.
Contoh delic Culpa adalah Pasal 310 ayat (4) UULAJ yakni Kecelakaan lalu lintas yang karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain meninggal dunia (sebelum ada UU Lalu litas, berlaku Pasal 359 KUHP).
Terkait dengan perlakuan tersangka, asas kedua yang ingin saya singgung adalah adalah asas “presumption of innocence”.
Asas ini menentukan bahwa seseorang ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
Asas ini terdapat dalam Pasl 8 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kehakiman dan dalam Penjelasan Umum KUHAP (UU No.8 Tahun 1981).
Dalam kaitan dengan asas Presumption of Innocence, M. Yahya Harahap (2006: 34) menuliskan bahwa: “Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. yang diperiksa bukan manusia tersangka. perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”
Ini berarti bahwa perlakuan aparat penegak hukum terhadap tersangka tetap menjunjung tinggi Hak asasi Manusia. Tersangka tidak boleh diperlakukan secara tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya sebagai manusia.
Sehubungan dengan Prinsip dan standar Hak asasi manusia dalam kaitannya dengan tugas Kepolisian, Terdapat Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 8 PERKAP NO. 8 Tahun 2009: (1) Setiap anggota Polri wajib memahami instrumen-instrumen HAM baik yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan instrumen internasional, baik yang telah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi oleh Indonesia; (2) Sesuai dengan prinsip menghargai dan menghormati HAM, setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-hari wajib untuk menerapkan perlindungan dan penghargaan HAM, sekurang-kurangnya: (a) Menghormati martabat dan ham setiap orang; (b) Bertindak secara adil dan tidak diskriminatif; (c) Berperilaku sopan; (d) Menghormati norma agama, etika, dan susila; dan (e) Menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM.
Pasal 35 PERKAP NO. 8 Tahun 2009 diatur antara lain: (1) Setiap orang yang diduga melakukan kejahatan memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah sesuai dengan putusan pengadilan dan telah memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk melakukan pembelaan; (2) Setiap anggota Polri wajib menghargai prinsip penting dalam asas praduga tak bersalah dengan pemahaman bahwa: (a) Penilaian bersalah atau tidak bersalah, hanya dapat diputuskan oleh pengadilan yang berwenang, melalui proses pengadilan yang dilakukan secara benar dan tersangka telah mendapatkan seluruh jaminan pembelaannya; dan (b) Hak praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah oleh pengadilan adalah hak mendasar, untuk menjamin adanya pengadilan yang adil.
Dalam Pasal 11 PERKAP No.8 Tahun 2009 mengatur Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan: “ Penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment);
Pasal 22 (3) PERKAP No.8 Tahun 2009: Tahanan yang pada dasarnya telah dirampas kemerdekaannya, harus tetap diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah sebelum ada keputusan hukum yang berkekuatan tetap.
Pasal 23 PERKAP NO.8 TAHUN 2009: Tindakan penahanan harus senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip dan standar Internasional HAM dalam penahanan antara lain sebagai berikut: (1) Semua orang yang kebebasannya dicabut harus tetap diperlakukan secara manusiawi dan penuh hormat karena martabatnya yang melekat sebagai manusia; (2) Setiap orang yang dituduh telah melakukan tindak pidana harus dikenakan asas praduga tak bersalah sebelum terbukti bersalah oleh suatu keputusan peradilan; (3) tahanan tidak boleh disiksa, diperlakukan dengan keji dan tidak manusiawi, mendapat perlakuan dan hukuman yang merendahkan martabat, atau diberi ancaman-ancaman lainnya;
Pasal 24 PERKAP NO.8 TAHUN 2009: Dalam melaksanakan tindakan enahanan petugas dilarang antara lain melakukan tindakan pelecehan, penghinaan atau “tindakan lain yang dapat merendahkan martabat manusia.”
Lalu bagaimana jika terdapat pelanggaran terhadap PERKAP NO.8 TAHUN 2009 ? Pasal 60 menentukan bahwa Pejabat Kepolisian dapat menjatuhkan sanksi melalui proses penegakan disiplin, penegakan etika kepolisian dan/atau proses peradilan pidana.
Jadi misalnya ada Polisi yang menganiaya tersangka, maka bukan hanya proses disiplin dan etik, tetapi juga proses pidana.
****
Setiap anggota Polri wajib memahami instrumen internasional tentang standar minimal perlindungan warga negara yang mengatur secara langsung dan tidak langsung tentang hubungan anggota Polri dengan HAM, antara lain: a. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik (ICCPR); b. Kovenan Internasional tentang Hak Sosial Ekonomi, Sosial dan Budaya; c. Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial Tahun 1965; d. Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) Tahun 1981; e. Konvensi Menentang Penyiksaan, Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat (CAT) Tahun 1984; f. Konvensi Hak-hak Anak (CRC) Tahun 1990; g. Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa Tahun 2006. h. Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 34/169 tentang Etika Berperilaku Bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement); i. Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 43/174 Tahun 1988 tentang Prinsip Perlindungan semua Orang Dalam Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan; j. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 37/194 Tahun 1982 tentang Prinsip-prinsip Etika Kedokteran Dalam Melindungi Tahanan;