Setop Perang

Hikmahanto Juwana (Sumber: tribunnewswiki)

DUA kata ini yang di-tweet Presiden Jokowi pada 24 Februari 2022 saat Rusia memulai operasi militer mereka ke Donbass, setop perang.

Gagal paham

Banyak yang gagal paham terhadap apa yang disampaikan Presiden, termasuk Kemenlu. Ketika Presiden menyampaikan ‘setop perang’, rujukan Presiden bila melihat Piagam PBB ialah Pasal 2 ayat (3). Pasal itu menyebutkan, ‘Semua negara wajib untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka melalui cara-cara damai sehingga tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional dan keadilan’.

Esensi yang dikehendaki Presiden ialah sengketa antara Rusia dan Ukraina sebaiknya diselesaikan dengan cara damai tanpa membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Sikap Presiden jelas berbeda dengan negara-negara yang berseberangan dengan Rusia, seperti AS, Inggris, dan Australia. Bagi negara-negara itu, tindakan Rusia ialah salah menurut hukum internasional.

Rujukan yang digunakan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. Dalam Pasal itu ditentukan, ‘Negara-negara anggota wajib menahan diri dalam melakukan hubungan internasional dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah, …’. Sayangnya cara berpikir itulah yang digunakan Kemenlu dalam pernyataan resmi 25 Februari 2022.

Nuansa Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB tecermin dalam poin pertama pernyataan resmi Kemenlu yang menyebut, ‘Mematuhi pada tujuan dan prinsip dari Piagam PBB dan hukum internasional, termasuk menghormati integritas wilayah dan kedaulatan, yang harus terus ditegakkan’.

Karena itu, pada poin kedua pernyataan resmi Kemenlu berujung pada posisi yang sama dengan AS dkk, dengan mengatakan, ‘Dan karenanya, serangan militer terhadap Ukraina tidak dapat diterima’.

Kemenlu bisa saja berargumen, apa yang disampaikan berbeda dengan AS dkk dengan tidak menyebut ‘Rusia’ meski semua tahu yang dimaksud ialah ‘Rusia’. Apakah itu dimaksudkan untuk menjaga hubungan baik dengan ‘Rusia’? Selanjutnya bisa saja Kemenlu berkilah, kata yang digunakan atas ketidaksetujuan terhadap serangan militer yang dilancarkan Rusia berbeda dengan AS dkk, yang menggunakan kata keras seperti ‘mengutuk’ (condemn) atau regret (menyayangkan). Kata yang digunakan Kemenlu memang lebih lunak, yaitu ‘tidak dapat diterima’ (unacceptable).

Lalu apakah dengan penggunaan kata yang lunak di mata Rusia dan rakyatnya posisi RI bisa dipahami? Bukankah dengan kata unacceptable seolah RI melalui Kemenlu telah menghakimi Rusia? Tidakkah ini sama seperti AS dkk, yang seolah paling berhak menentukan siapa yang benar atau salah, bahkan apakah perang dapat dibenarkan atau tidak?

Right is might

Pasca-Perang Dunia II negara di dunia telah sepakat untuk melarang perang agresi. Oleh karenanya, istilah menteri atau kementerian perang diubah menjadi menteri atau kementerian pertahanan. Perang dalam hukum internasional hanya diperbolehkan untuk dua hal. Pertama, apabila dimandatkan DK PBB. Kedua, dalam rangka hak membela diri (the right to self-defence) bila mendapat serangan senjata dari negara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB. Oleh karena itu, banyak negara yang melakukan serangan terhadap wilayah negara lain memastikan narasi yang digunakan bukan dalam rangka agresi.

Demikian pun dengan Rusia. Meski oleh AS dkk serangan militer Rusia dihakimi sebagai invasi, sebagaimana disampaikan Presiden Putin dan Dubes Rusia untuk PBB, operasi militer yang dilakukan ialah dalam rangka melaksanakan Pasal 51 Piagam PBB. Rusia setelah mengakui Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk menganggap Ukraina-lah yang menyerang dua republik itu. Atas dasar pakta pertahanan yang dimiliki dua republik itu dengan Rusia, dilancarkan serangan militer meski pada tahap berikut Rusia melakukan serangan ke Kyiv, ibu kota Ukraina.

Mengapa serangan dilancarkan ke Kyiv? Lagi-lagi Rusia tidak mengatakan serangan itu merupakan serangan agresi. Namun, dalam rangka kepentingan pertahanan Rusia dari ekspansi NATO. Ukraina dikabarkan segera bergabung dengan NATO. Dalam NATO berlaku prinsip, serangan terhadap satu anggota merupakan serangan terhadap anggota lainnya.

Oleh karena itu, serangan militer ke Kyiv bertujuan menangkap dan menurunkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sehingga kebijakannya tidak pro-AS dkk yang membahayakan eksistensi Rusia. Memburu Presiden Zelensky untuk diturunkan Rusia bukanlah hal baru. Langkah itu pernah dilakukan AS ketika memburu Presiden Noriega dari Panama dan Presiden Saddam Hussein dari Irak. Noriega bahkan harus menghadapi proses hukum di Miami. Sementara itu, Saddam Hussein ditemukan telah menjadi jasad.

Apakah dua tindakan itu tidak melanggar hukum internasional? Jawabannya jelas dan pasti melanggar hukum internasional. Namun, karena yang menghakimi bukan AS, bahwa tindakan itu merupakan pelanggaran hukum internasional maka masyarakat internasional memilih diam. Memang dalam masyarakat internasional masih berlaku hukum rimba, yaitu siapa yang kuat dialah yang benar (might is right).

Pengalaman

RI pun pernah mengalami posisi seperti Rusia saat ini, yaitu ketika Timtim menjadi bagian dari RI. Posisi RI ialah rakyat Timtim berkeinginan untuk bergabung dengan RI. Namun, AS dan negara-negara Barat ketika itu menganggap apa yang dilakukan Indonesia ialah tindakan aneksasi (pencaplokan) atas wilayah yang dikuasai Portugal.

Isu itu yang kemudian dibawa ke Majelis Umum PBB untuk ditentukan apakah Timtim dianeksasi Indonesia atau tidak. Melalui Resolusi MU PBB 3485 (XXX) yang memakan waktu hingga tujuh tahun untuk diperdebatkan, akhirnya pada 1982 ditentukan Indonesia telah melakukan aneksasi dengan jumlah suara setuju 72, menentang 10, dan abstain 43.

Meski kalah, Indonesia tetap menguasai Timtim karena Resolusi Majelis Umum tidak memiliki kekuatan hukum layaknya Resolusi DK PBB. Sejarah menentukan Timtim menjadi sebuah negara yang dinamakan Timor Leste pascajajak pendapat pada 1999.

Tidak berpihak

Layaknya suatu perkara dalam persidangan di depan hakim, satu fakta dapat dilihat dalam dua perspektif berbeda oleh penggugat dan tergugat, atau oleh pemohon dan termohon. Demikian pula serangan militer Rusia ke Ukraina dapat dilihat dalam dua perspektif berbeda baik dari sisi Rusia maupun Ukraina.

Indonesia menjalin persahabatan dengan Rusia dan Ukraina. Indonesia juga tidak sedang duduk di kursi hakim dalam perseteruan Rusia dan Ukraina. Indonesia memiliki perhatian besar terhadap warga sipil yang menjadi korban perang. Indonesia pun tidak ingin hanya tinggal diam tanpa melakukan ikhtiar guna menghentikan perang. Itulah makna sebenarnya dari politik luar negeri yang bebas aktif dalam sengketa Rusia dengan Ukraina.

Bila RI tidak berpihak, RI dapat menjalin kontak secara intens dengan negara yang berseteru dan turut mengusulkan sejumlah solusi. Bila RI tidak berpihak, dalam perdebatan di Majelis Umum PBB, RI dapat mengusulkan alternatif rancangan resolusi yang tidak pro terhadap posisi AS dkk maupun pro terhadap posisi Rusia.

Sayangnya Indonesia telah berpihak. Resolusi Majelis Umum PBB tentang Rusia telah selesai divoting dengan komposisi 141 mendukung, 5 menentang, dan 35 abstain. Dalam resolusi itu, serangan militer Rusia terhadap Ukraina ‘disayangkan’ (deplore). Penggunaan kata deplore lebih lunak daripada mengutuk (condemn). Apa hendak dikata, nasi telah menjadi bubur. Indonesia tidak lagi bisa secara maksimal mengambil posisi sebagai ‘bagian dari solusi’ dalam pertikaian Rusia dengan Ukraina, tetapi telah berposisi sebagai ‘bagian dari masalah’.

Indonesia tidak boleh lelah dalam meminta semua negara yang bertikai untuk ‘setop perang’. Mereka harus menyelesaikan apa pun perbedaan di antara mereka secara damai. Ini karena “Perang itu menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia.” Itulah kata-kata Presiden Jokowi di akun Twitter yang seharusnya diterjemahkan dalam mengambil setiap langkah agar tercipta perdamaian yang abadi. ●

 

Oleh:

HIKMAHANTO JUWANA ; Guru Besar Hukum Internasional UI Rektor Universitas Jenderal A Yani

MEDIA INDONESIA, 4 Maret 2022

Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/475527/setop-perang

You may also like...