Inkonstitusionalitas Penundaan Pemilu

Sumber Gambar: mediaindonesia.com
Setelah DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu memutuskan pelaksanaan pemilu serentak pada 14 Februari 2024 dan pilkada pada 27 November 2024, kini beberapa elite partai politik memunculkan wacana penundaan pemilu. Dari sekian alasan yang diajukan, terdapat alasan yang menyita perhatian publik dan menimbulkan pro dan kontra.
Pandemi Covid-19 dan tingginya beban biaya pemilu dibandingkan pemilu sebelumnya menjadi alasan yang cukup rasional bagi sebagian masyarakat. Sekilas, kedua kondisi ini secara nyata sedang dialami Indonesia sebagai akibat pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal 2020.
Dalam praktiknya, berdasarkan data dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), terdapat beberapa negara yang menunda pemilu/pilkada dalam kurun waktu terakhir. Sebagai contoh Selandia Baru, Hong Kong, dan Bolivia merupakan negara yang menunda pelaksanaan pemilu di tengah tingginya peningkatan kasus Covid-19, ditambah belum ada penelitian yang memadai terkait dampak pandemi Covid-19 terhadap ketahanan kesehatan masyarakat pada waktu itu. Dengan demikian, langkah penundaan pemilu diambil sebagai upaya untuk melindungi nyawa manusia, bagian pokok dari hak asasi manusia.
Selain ada beberapa negara yang menunda pemilu, terdapat negara yang tetap melaksanakan pemilu dalam situasi pandemi. Korea Selatan dan Singapura merupakan contoh negara yang melaksanakan pemilu di tengah tingginya peningkatan kasus Covid-19 saat itu, dengan memberlakukan protokol kesehatan yang ketat. Hasilnya, kesusksesan pemilu di Korea Selatan di tengah pandemi menjadi langkah mengatasi krisis di negara itu dan mendapatkan perhatian positif secara internasional. Keberhasilan serupa juga terjadi di Indonesia saat melaksanakan pilkada di 270 daerah pada tahun 2020.
*Pemilu dalam konstitusi*
Fakta penundaan pemilu tersebut tidak dapat digeneralisasi pada persoalan selain pada faktor pandemi. Beban biaya pemilu yang tinggi tidak serta merta dapat dijadikan dasar bagi penundaan pemilu.
Bagi sebagian besar negara demokrasi di dunia, pelaksanaan pemilu secara berkesinambungan merupakan agenda utama setiap negara serta memasukkannya dalam konstitusi mereka. Bahkan, dalam kondisi krisis ekonomi sekalipun, pemilu tetap dilaksanakan seperti di Venezuela pada tahun 2020. Negara ini tetap melaksanakan pemilu di tengah kondisi krisis ekonomi yang diperparah dengan adanya pandemi.
Di Indonesia, pemilu dinyatakan secara tegas dalam konstitusi sebagai bagian penting demokrasi. Ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 pada pokoknya telah dirumuskan secara jelas bahwa ”pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali”.
Dalam pelaksanaanya, pemilu di Indonesia telah mengalami perkembangan pesat dengan adanya pemilu serentak legislatif dan eksekutif pada tahun 2019. Capaian ini merupakan pendukung terhadap penguatan demokrasi yang meletakkan kesesuaian mekanisme pemilu dengan pilihan sistem pemerintahan serta mempertimbangkan aspek efisiensi dan pelaksanaan hak politik secara cerdas.
Dalam perpektif politik hukum, memang benar bahwa kehendak politik menjadi penentu bagi arah kebijakan hukum yang akan diambil pembentuk undang-undang. Dari sejarah pemilu pascareformasi memang masih terkesan bentuk pemilu yang ideal. Hal ini ditandai dengan model pelaksanaan pemilu yang berubah dari pemilu ke pemilu berikutnya.
Setidaknya terdapat perubahan model yang menjadi perdebatan setiap penyusunan undang-undang pemilu, yaitu dari keserentakan pemilu dan pilihan proporsional tertutup atau proporsional terbuka. Semua kebijakan ini adalah merupakan open legal policy pembentuk undang-undang dan bersifat konstitusional.
Namun, penundaan Pemilu 2024 tidak dapat dimasukkan dalam keranga untuk penguatan demokrasi. Hal ini cukup jelas karena penundaan pemilu adalah pembangkangan konstitusi yang melanggar ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Wacana punundaan pemilu harus diletakkan sebagai ius constituendum yang merupakan konsep hukum yang dicita-citakan dan belum diakomodasi dalam konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah memberikan rumusan pemilu konstitusional melalui Putusan MK Nomor 37/PUU-XVII/2019, di mana pertimbangan hukumnya menyebutkan beberapa model pelaksanaan pemilu dan tetap dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
*Alternatif penyelesaian*
Pada dasarnya, konstitusi membuka kemungkinan adanya perubahan dalam menampung konsep hukum yang dicita-citakan secara konstitusional. Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 pada pokoknya merumuskan bagaimana perubahan konstitusi itu dilakukan.
Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa konstitusi sebagai unsur penting dalam suatu negara harus dipatuhi, sedangkan tindakan yang tidak diatur oleh konstitusi adalah inskonstitusional. Dalam konteks ini, maka wacana penundaan pemilu adalah inskontitusional selama dalam konstitusi mengatur secara tegas bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Tanpa menutup mata terhadap fakta pandemi dan besarnya beban biaya pemilu, pada dasarnya terdapat beberapa upaya redesign pemilu yang konstitusional. Jika dilihat dari helicopter view, sebagian besar unsur pemilu seperti sistem, aktor, tahapan, manajemen, pembiayaan, etika, dan penegakan hukum, secara umum mengindikasikan masalah teknis.
Prinsip penting dalam melakukan redesign pemilu adalah merumuskan pemilu yang bebas. Hal ini penting karena merupakan salah satu syarat dasar bagi negara demokrasi perwakilan di bawah rule of law sebagaimana tertuang dalam International Commission of Jurist, Bangkok, tahun 1965.
Secara teknis, untuk mengatasi persoalan pandemi dan beban biaya pemilu yang tinggi dapat dilakukan melalui penyederhanaan pemilu. Pertama, pemberian suara dapat dilakukan dengan dukungan teknologi yang berdampak pada penghematan biaya logistik pemilu. Kedua, pemilu tidak dalam satu hari sehingga dapat mengurangi resiko terpapar Covid-19. Ketiga, memunculkan alternatif pemberian suara dengan metode lain, seperti melaui pos dan internet yang melindungi kesehatan masyarakat dan dapat menekan beban biaya tinggi sekaligus.
Oleh:
SHOLEHUDIN ZUHRI
Pengurus IKA Magister Tata Kelola Pemilu Unpad dan Alumni FH Universitas Jember*
KOMPAS, 10 Maret 2022
Sumber : https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/09/inkonstitusionalitas-penundaan-pemilu