Pembelaan Terpaksa

Sumber Gambar: facebook Advokat Kaisar
“Orang yang melakukan tindak pidana
karena pembelaan terpaksa tetap diproses hukum
tetapi tidak boleh dipidana”
Proses hukum ke pengadilan bagi Pelaku Pembelaan terpaksa (Noodweer) adalah untuk memperoleh kepastian hukum bagi tersangka dan masyarakat, juga dimaksudkan untuk menghindari adanya penyalahgunaan alasan pembelaan terpaksa (Noodweer).
Banyak orang yang berpendapat bahwa orang yang melakukan tindak pidana karena pembelaan terpaksa tidak boleh dijadikan tersangka atau dengan kata lain tidap boleh diproses hukum.
Bagaimana sebenarnya pengaturan hukum pidana dalam hal seseorang melakukan tindak pidana karena membela diri?
Dalam Hukum Pidana dikenal alasan yang menghapuskan atau menggugurkan penuntutan (vervalvan recht tot strafvordering) dan alasan yang menghapuskan pemidanaan atau menghapuskan hukuman (strafuitsluitingsgronden)
Alasan yang menghapuskan penuntutan baik yang terdapat dalam KUHP maupun di luar KUHP, antara lain : Ne bis in idem (Pasal 76 KUHP) yakni dalam hal suatu perkara yang telah mendapatkan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, tidak boleh lagi diperkarakan dua kali. – Pelaku meninggal dunia (Pasal 77 KUHP). – Daluwarsa Penuntutan (Pasal 78 KUHP), -Telah ada pembayaran denda maksimum untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda (Pasal 82 KUHP), -Telah dilakukan Perkara diselesaikan secara restoratif justice: diversi (UU.No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak). Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan Kejaksaan No.15 tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. – Mendapat Abolisi dari Presiden, – Mendapat Amnesti dari Presiden.
Sedangkan alasan yang menghapuskan pemidanaan (Hukuman) antara lain : – Ketidakmampuan bertanggung jawab (ontoerekenigsvatbaarheid) Pasal 44 KUHP misalnya orang gila, – Adanya daya paksa (overmacht) baik daya paksa absolut, daya paksa relatif maupun terdapat keadaan darurat (Pasal 48 KUHP), pembelaan darurat atau pembelaan terpaksa (noodweer) dalam Pasal 49 (1) KUHP, Pembelaan darurat atau pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweerexces) dalam Pasal 49 (2) KUHP. – Melaksanakan Perintah Undang-Undang (Pasal 50 KUHP), – Melaksanakan Perintah Jabatan (Pasal 51 KUHP) dan beberapa alasan yang menghapuskan pemidanaan lainnya yang secara khusus disebutkan dalam Pasal tindak pidana yang bersangkutan. – Diluar KUHP antara lain mendapat Grasi.
Begitu terdapat alasan yang menghentikan penuntutan (vervalvan recht tot strafvordering), maka pada saat itu juga negara tidak bisa melakukan penuntutan. Dengan kata lain negara kehilangan hak menuntutnya.
Akan tetapi dalam hal terdapat alasan yang menghapuskan pemidanaan (strafuitsluitingsgronden), maka negara tetap memiliki hak untuk menuntut dalam arti pelaku tindak pidana tetap diproses ke pengadilan.
Oleh karena pembelaan darurat atau pembelaaan terpaksa (noodweer) merupakan alasan yang menghapuskan pemidanaan (bukan alasan yang menghapuskan tuntutan), maka orang yang melakukan pembelaan terpaksa atau pembelaan darurat (noodweer) tetap diproses hukum.
Di pengadilan akan dibuktikan apakah pembelaan terpaksa yang dilakukan itu memenuhi syarat atau tidak menurut hukum pidana. Jika memenuhi syarat pembelaan terpaksa (noodweer), maka putusan pengadilan menyatakan bahwa sifat melawan hukum perbuatannya hapus, karena adanya ketentuan undang-undang atau hukum yang membenarkan perbuatannya atau yang memaafkan terdakwa dalam hal pembelaan yang melampaui (noodweerexces)
Syarat Pembelaan terpaksa terpenuhi sehingga tidak dapat dipidana. Akan tetapi jika syarat pembelaan terpaksa (noodweer) tidak terpenuhi maka orang yang melakukan pembelaan terpaksa tersebut tetap dipidana sesuai tindak pidana yang dilakukannya.
Dalam hemat saya, meskipun orang melakukan pembelaan terpaksa itu diproses hukum, namun para penegak hukum tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Proses hukum ke pengadilan adalah untuk memperoleh kepastian hukum bagi tersangka dan masyarakat, juga dimaksudkan untuk menghindari adanya penyalahgunaan alasan pembelaan terpaksa (noodweer).
Syarat Pembelaan Terpaksa
Sebelum membahas tentang syarat pembelaan terpaksa, maka terlebih dahulu, Saya jelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan Pembelaan terpaksa.
Pembelaan terpaksa atau pembelaan darurat dalam hukum pidana dikenal dengan Istilah Noodweer.
Istilah Noodweer terdiri atas kata “Nood” yang berarti darurat dan kata “Weer” berarti pembelaan. Jadi secara harfiah perkataan Noodweer itu dapat diartikan sebagai “pembelaan yang dilakukan dalam keadaan darurat.”
Noodweer sebenarnya merupakan sebuah perkataan yang telah dipergunakan untuk menyebut lembaga pembelaan yang perlu dilakukan terhadap serangan yang bersifat seketika dan yang bersifat melawan hukum, yang dalam ilmu pengetahuan hukum pidana disebut juga dengan istilah notwehr, legitim defense atau rechtverdediging ataupun moderamen inculpatae tutelae.
Satochid Kartenegara (tt:434), memberikan pengertian alasan atau dasar yang menghapuskan pemidanaan (strafuitsluitingsgronden) yaitu hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan bahwa seseorang yang telah melakukan sesuatu perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (jadi perbuatan yang berupa tindak pidana) tidak dapat dihukum. Salah satunya adalah Pembelaan terpaksa (Noodweer).
Ketentuan yang mengatur mengenai pembelaan terpaksa atau pembelaan darurat (Noodweer), dapat dijumpai dalam Pasal 49 (1) KUHP yang menegaskan “Barang siapa melakukan perbuatan terpaksa dilakukan untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak atau mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum (R. Soesilo, 1995).”
Pembelaan yang bisa dilakukan menurut Pasal 49 (1) KUHP adalah adanya (1) Serangan yang bersifat melawan hukum yang bersifat seketika terhadap diri sendiri atau orang lain, (2) Kehormatan diri sendiri atau kehormatan orang lain, dan (3) Terhadap harta benda sendiri atau harta benda orang lain.
Syarat Noodweer itu adalah: syarat yang harus dipenuhi “serangannya”. Syarat yang harus dipenuhi “pembelaannya.”
SYARAT SERANGAN
Serangan yang datang itu harus bersifat melawan hukum (Wederrechtelijk). Menurut Pompe bahwa perkataan melawan hukum (Wederrechtelijk) dalam Pasal 49 (1) KUHP itu harus diartikan sebagai BERTENTANGAN DENGAN HUKUM yang mempunyai arti lebih luas dari pada sekadar “bertentangan dengan undang-undang”. Sehingga di samping peraturan perundang-undangan juga termasuk pengertiannya peraturan-peraturan yang tidak tertulis.
Serangan itu harus mendatangkan bahaya yang mengancam secara langsung terhadap tubuh (lijf), kehormatan (eerbaarheid) atau harta benda (goed).
Syarat ini meliputi tubuh diri sendiri atau orang lain, kehormatan diri sendiri atau kehormatan orang lain dan harta benda sendiri atau harta benda kepunyaan orang lain.
Pengertian tubuh di sini adalah badan seutuhnya dan juga berkenaan dengan nyawa termasuk masalah tidak terganggunya kebebasan untuk bergerak.
Kehormatan dalam Pasal 49 (1) KUHP ini tidak seluas pengertian kehormatan secara umum yang juga meliputi nama baik. Kehormatan di sini hanyalah khusus menyangkut KEHORMATAN KESUSILAAN yakni KEMALUAN MENURUT KELAMIN. Dengan demikian orang yang dihina tidak boleh melakukan pembelaan terpaksa (Noodweer).
Pengertian harta benda dalam Pasal 49 (1) KUHP, adalah benda yang berwujud. Termasuk dalam perkembangan pengertian benda adalah strom listrik, gas, data computer, dan pulsa.
SERANGAN ITU BERSIFAT SEKETIKA
Serangan harus bersifat seketika atau istilah lain sekonyong-konyong atau tiba-tiba. Dalam penjelasan Memorie Van Toelichting bahwa tidak terdapat noodweer tanpa adanya suatu bahaya yang bersifat seketika bagi tubuh (sendiri atau orang lain), kehormatan (sendiri atau orang lain) atau benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain.
Itulah sebabnya mengapa pembelaan terpaksa (Noodweer) itu dibenarkan utuk dilakukan karena adanya serangan yang tiba-tiba dan tidak dapat diharapkan perlindungan dari aparat Negara (Kepolisian).
Menurut van Hattum (Lamintang, 1984: 446), bahwa perbuatan yang telah dilakukan dalam suatu pembelaan terpaksa (Noodweer) itu tidaklah bersifat melawan hukum. Perbuatan yang dilakukan dalam pembelaan terpaksa itu dapat disamakan dengan PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI YANG DISAHKAN DENGAN UNDANG-UNDANG. Perbuatan tersebut terpaksa disahkan oleh karena negara telah tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya, yaitu untuk menjamin keselamatan warga negaranya pada saat terjadi suatu serangan (tiba-tiba).
Andi Zainal Abidin Farid (2010:200) mengatakan bahwa oleh karena adanya syarat bahwa serangan itu HARUS SEKETIKA ITU JUGA MENGANCAM, maka pembelaan terpaksa (Noodweer) tidak boleh dilakukan dalam hal: “serangan yang mengancam itu akan terjadi dikemudian hari atau serangan itu telah selesai.”
Apabila serangan telah selesai, maka tidak boleh melakukan pembelaan terpaksa. Contoh, Putusan Hoge Raad tanggal 22 Nopember 1949. “Tertuduh (terdakwa) telah melepaskan tiga kali tembakan yang menyebabkan orang tersebut jatuh tergeletak di atas tanah sambil mengerang-ngerang. Tujuh menit kemudian orang tersebut telah berusaha untuk bangkit, dan terdakwa telah kembali melepaskan sebuah tembakan yang menyebabkan orang tersebut meninggal dunia. Pada tembakan yang terakhir itu sudah tidak terdapat Noodweer atau Noodweerexces, oleh karena serangan itu telah lama berakhir.
Ketika si Penyerang telah bersujud minta ampun tak berdaya, maka tidak ada lagi Noodweer.
Bagaimana dalam kasus pencurian? Selama barang yang dicuri itu masih berada dalam tangan pencuri, maka dianggap serangan masih berlangsung, sehingga masih dapat dilakukan pembelaan terpaksa (Noodweer).
SYARAT PEMBELAAN
Syarat pertama dari pembelaan adalah: “PEMBELAAN ITU HARUS BERSIFAT PERLU (NOODZAKELIJKE).”
Satochid Kartanegara (tt:467) menggunakan istilah pembelaan yang terpaksa (noodzakelijke verdodiging) yaitu apabila tidak ada jalan lain yang memungkinkan untuk menghindarkan sesatu serangan. Artinya apabila masih terdapat kemungkinan untuk berbuat lain guna menghindarkan serangan, dalam hal itu pembelaan yang dilakukan tidak dikatakan terpaksa (Noodzakelijke). Rumusan itu juga berarti bahwa apabila terdapat jalan lain yang lebih ringan daripada jalan yang ditempuhnya (yaitu pembelaan), maka jalan yang ditempuh itu bukanlah pembelaan terpaksa (Noodweer). Dalam kaitan ini, yang dipergunakan sebagai dasar untuk menentukan apakah sesuatu pembelaan itu terpaksa atau tidak, maka dipergunakan ASAS SUBSIDIARITAS.
Sebagai contoh: A hendak memukul B dengan tongkat. Dalam hal ini B menghadapi serangan dari A yang melawan hukum dan mengancam langsung. Pembelaan yang dapat dilakukan oleh B adalah bermacam-macam. B dapat menembak A. Akan tetapi apabila B masih dapat memukul A untuk menghindarkan diri dari serangan A, maka pembelaan yang dilakukan oleh B dengan cara menembak bukanlah pembelaan terpaksa (Noodweer).
Syarat kedua dari Pembelaan adalah “Tindakan yang dapat dibenarkan oleh suatu pembelaan seperlunya.” Syarat ini menentukan bahwa dalam melakukan pembelaan, maka tidak boleh dilakukan dengan cara berlebihan. Kita harus memperhatikan ASAS PROPORSIONALITAS ataupun ASAS SUBSIDIARITAS
ASAS PROPORSIONALITAS menentukan bahwa harus ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilindungi dengan kepentingan hukum yang dilanggar. Satochid Kartanegara (tt: 470) menuliskan Everedigheid Beginsel (asas keseimbangan) harus ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dibela dengan kepentingan hukum yang dilanggar.
ASAS SUBSIDIARITAS menentukan bahwa jika ada cara perlawanan yang kurang membahayakan, orang yang diserang tidak boleh memilih cara yang lebih berat, dan mengakibatkan kerugian yang lebih besar pada si penyerang. Sudah tentu maksud pembuat undang-undang ialah untuk menentukan bahwa kepentingan yang dilanggar oleh si pembela tidak boleh lebih besar daripada kepentingan yang dibelanya. Seorang pencuri buah mangga tidak boleh ditebas kakinya dengan sebilah parang apalagi menembaknya.
Jika yang diserang adalah badan (termasuk nyawa) dengan menggunakan celurit, maka masih seimbang apabila pembelaan dilakukan dengan jalan membacok juga. Tetapi misalnya seorang pencuri handphone yang sudah tidak bersenjata membawa lari handphone curiannya itu senilai dua juta rupiah, dapatkah dilakukan pembelaan dengan jalan membacok celurit badan si pencuri? Ataukah cukup dengan memukul dengan tinju dan menjatuhkannya dari motornya? Jawabnya, ASAS SUBSIDIARITAS. dan ASAS PROPORSIONALITAS atau ASAS KESEIMBANGAN (Everedigheid Beginsel). Menurut saya membacok pencuri yang tidak bersenjata sudah melampaui batas pembelaan.
Lalu bagaimana jika pembelaan yang dilakukan melampaui batas? Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) KUHP, Melampaui batas pembelaan yang sangat perlu, jika perbuatan itu secara tiba-tiba dilakukan karena adanya GONCANGAN JIWA YANG DAHSYAT saat itu juga, tidak boleh dipidana.
Syarat tambahan pembelaan yang melampaui batas (Noodweerexces) adalah di samping adanya SYARAT SERANGAN sebagaimana dalam pembelaan terpaksa, juga syarat adanya GONCANGAN JIWA YANG DAHSYAT yang merupakan AKIBAT LANGSUNG DARI SERANGAN .
Semula pembentuk undang-undang menafsirkan goncangan jiwa yang dahsyat sebagai PERASAAN TAKUT, KHAWATIR, ATAU BINGUNG (VREES, ANGST OF RADELOOSHEID), tetapi dalam perkembangannya kini AMARAH dan KEMURKAAN (TOORN EN DRIFT) sudah termasuk dalam pengertian goncangan jiwa yang dahsyat.
Dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweerexces), ASAS PROPORSIONALITAS ataupun ASAS SUBSIDIARITAS menjadi longgar. Kerugian akibat pembelaan lebih besar daripada kerugian akibat serangan.
Oleh:
Advokat Kaisar
Dosen Hukum Pidana Pada Fakultas Hukum Unhas (1991 sd 2016)