Aborsi

DR AMIR ILYAS, SH., M.H. (DOSEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNHAS)
Penemuan tujuh janin yang telah menjadi tulang-belulang oleh seorang Ibu pemilik kos-kosan di jalan Balang Turungan, Daya, Kecamatan Biringkanaya, pada pekan kemarin sempat bikin geger warga sekitar. Hasil penyelidikan kepolisian Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, akhirnya kedua pelaku telah tertangkap (MN dan MS) di dua kota berbeda.
Hasil rilis berbagai media memberitakan bahwa kedua pelaku konon dijerat dengan pasal berlapis, diantaranya: Pasal 80 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan, dan Pasal 346 KUHP. Ketiga pasal tersebut yang terdapat dalam tiga perundang-undangan yang berbeda, mengkualifikasikan tindakan menggugurkan kandungan dengan paksa (abortus provocatus) sebagai tindak pidana. Karenanya, kejahatan ini disebut abortus provocatus criminalus.
Abortus provocatus criminalus, sebagai species dari Pasal 343 KUHP merupakan delik yang diprivilisir hukumannya karena pelaku melakukan tindakan demikian dilatarbelakangi oleh rasa malu (aib). Oleh karena itu dibandingkan delik ini dengan delik pembunuhan dalam Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP, jauh lebih ringan ancaman pidananya.
Subjeknya dari Pasal 346 KUHP, sudah pasti seorang wanita yang hamil, tanpa dipersoalkan kehamilannya itu karena pembuahan dari perkawinan yang sah atau tidak sah. Dan ketentuan mengenai tindak pidana aborsi dalam KUHP diletakkan dalam judul Bab XIX, Kejahatan Terhadap Jiwa, sehingga kepentingan yang dilindungi jiwa dan nyawa. Artinya, aborsi menjadi dilarang karena anak yang ada dalam kandungan dilindungi jiwa dan nyawanya. Itulah sebabnya dalam UUPA, pengertian anak menjadi luas, termasuk anak dalam kandungan.`
Syarat terwujudnya tidak pidana aborsi, anak dalam kandungan masih hidup. Apabila mengeluarkan janin yang sudah mati, bukan kejahatan, bahkan demi keselamatan wanita tersebut, janin yang sudah mati dalam kandungan harus dikeluarkan. Terkait dengan syarat ini, memunculkan dua pandangan untuk menghukum pelaku aborsi. Pandangan pertama mengemukakan bahwa janin yang belum berumur tiga bulan, karena belum berbentuk manusia sempurna, dengan mana belum berjiwa (bernyawa), dan mengingat yang dilindungi adalah jiwa, maka si wanita yang melakukan aborsi, tidak dapat dipidana. Pandangan kedua, yang pendapatnya didominasi ajaran agama mengemukakan, bahwa kehamilan itu tidak diukur berdasarkan lamanya, sepanjang terjadi kehamilan dan dilakukan pemaksaan mengeluarkan janin, maka dapat dipidana.
KUHP dan UU Kesehatan tidak menjelaskan secara tegas sekaitan dengan batasan-batasan ini. Apakah pembatasan dimaksud menjadi penting? Jawabannya sangat penting, terutama dengan adanya program keluarga berencana, bagi pasangan suami istri yang misalnya sudah memiliki tiga anak, kemudian si istri hamil lagi, dan ingin mengakhiri kehamilannya, boleh jadi ia akan melakukan aborsi. Alasan lainnya lagi, juga menjadi penting untuk kepentingan dibolehkannya aborsi yang berlatar belakang pemerkosaan, agar tindakan aborsi tersebut tidak berakibat pada membunuh jiwa atau mengakhiri nyawa janin yang di dalam kandungan.
Kembali pada kasus MN dan MS, bagaimana sekiranya dari tujuh janin yang digugurkannya itu ada yang belum berumur tiga bulan? Apakah dalam keadaan demikian dapat dibebaskan dari tindak pidana menggugurkan kandungan? Pertanyaan ini menjadi penting terkait dengan pelaku bisa diperberat hukumannya karena terkualifikasi sebagai pelaku yang melakukan perbuatan pidana berkali-kali (concursus idealis homogenus).
Penelusuran Penulis dalam berbagai preseden, hakim yang mengadili kasus aborsi ternyata jauh lebih cenderung pada pandangan kedua di atas. Jarang sekali mempersoalkan usia janin yang telah digugurkan sebagai hal yang menghapuskan unsur tindak pidana aborsi. Sepanjang ada bukti yang kuat bahwa janin tersebut merupakan milik si wanita, maka si wanitanya akan dikenakan hukuman pidana. Hanya saja saat ini, Undang-Undang Kesehatan sudah menjadi praktik lazim yang dikenakan kepada pelaku aborsi, dengan alasan pengutamaan ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum (KUHP).
Patut menjadi catatan kritis, mengapa ancaman pidana tindak pidana aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan jauh lebih berat daripada KUHP? Bukankah Undang-Undang Kesehatan tujuan dasar pembentukannya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Kalau si pelaku wanita yang telah melakukan aborsi harus menjalani pidana dalam waktu lama, dalam keadaan sudah melakukan pengguguran paksa, apalagi tidak ada tindakan perawatan lebih lanjut, bukankah ia sudah diabaikan hak-hak atas tubuh dan kesehatannya.
Reformulasi hukum pidana yang bersendikan dengan negara hukum Pancasila, sesungguhnya dapat menjadi jalan keluar dari kerumitan di atas. Delik aborsi lebih tepat ditempatkan sebagai kejahatan terhadap ketertiban umum daripada kejahatan terhadap jiwa (tubuh dan nyawa). Alasannya, delik ini jauh lebih dominan penyerapannya sebagai hal yang dilarang dalam kacamata moral dan agama. Pada saat yang sama, karena melanggar nilai kepatutan (moral dan agama), tidak lagi menjadi penting perdebatannya, aborsi terpenuhi sebagai tindak pidana atau bukan dengan dasar usia janin sudah atau belum bernyawa.
Oleh:
Amir Ilyas
Dosen Ilmu Hukum Unhas
Sumber Artikel: Opini Sindo Makassar, Juni 2022