Sistem Parlemen Bicameralism

Parlemen unikameral pada umumnya cocok dengan negara kesatuan dengan penduduk yang homogen atau dengan kata lain  jumlah penduduknya sedikit. Sedangkan parlemen bikameral lebih cocok dan hidup pada negara sistem pemerintahan federal, namun tidak menutup kemungkinan juga negara kesatuan (unity) tetap dapat menggunakan sistem parlemen yang bikameral.

Kesimpulan umum yang dapat ditarik  dalam kaitannya sistem penerapan bikameral di negera federal dan kesatuan, di dasarkan pada penelitian yang telah dilakukan olleh Andrew S Ellis (2001) sebagai berikut:

  1. Semua negara federal memiliki dua majelis;
  2. Negara-negara kesatuan terbagi seimbang, sebagian memilih unikameral dan sebagian lagi bikameral;
  3. Sebagian besar negara dengan jumlah penduduk yang besar memiliki dua majelis: demikian pula sebagian besar negara yang memiliki wilayah luas memiliki dua majelis.

ada dua alasan mengapa para penyusun konstitusi memilih sistem bikameral. Pertama adalah untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) serta untuk pembahasan sekali lagi dalam bidang legislatif. Alasan kedua adalah untuk membentuk perwakilan yang dapat  menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak cukup terwakili oleh majelis pertama. Secara khusus, bikameralisme telah digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai untuk daerah-daerah di dalam lembaga legislatif. Hasil dari kesenjangan representasi di majelis kedua amat bervariasi di dalam berbagai sistem di dunia.

Untuk pembagian parlemen hanya dikenal dua bagian kamar,  sebagai kamar parlemen yang merancang dan membuat legislasi. Meskipun negara itu terdiri dari tiga kamar, seperti di Indonesia, tetapi pada dasarnya di dominasi oleh dua kamar majelis yang memilki kekuatan tertinggi dalam mensahkan undang-undang.

Sistem parlemen bikameral digunakan untuk menganalisis negara yang menggunakan dua kamar majelis dalam parlemennya, yang terdiri dari kamar pertama/ first chambers dan kamar kedua/ second chamber yang biasanya mewakili kamar dari perwakilan territorial. Di negara Amerika Serikat kamar kedua diwakili oleh senat, dianggap sebagai majelis tinggi/ upper chambers. Beberapa pakar mengemukakan pengertian parlemen bikameral antara lain.

  1. Henry Campbell Black, Bicameral system : A term applied by Jeremy Bentham to the division of e legislative body into two chamber, as in the United States Government (Senate and House).
  2.  Bicameral system : A legislature which has two chamber rather than one (a unicameral system), providing checks and balances and lessening, the risk of elective dictatorship. At the birth of the United, Benjamin Franklin wrote that “aplural legislature is as necessary to good government as a single executive (Brewer’s Politics A Phrase And Fable Dictionary)
  3.  Bicameral : The division of legislative or judicial body into two components or chambers. The U.S. Congress is a bicameral legislature, since its divided into two houses, the Senate and the House of Representative (Patricia A. Lewis: 1984)).
  4. Second Chambers : Historically second chambers are rooted in the medieval idea of representation of orders or ESTATES. The various sosial orders were considered to require representation in different methods of selection (Bogdanor: 1991)
  5.  H.R. Daeng Naja (2004: 114) , yang dimaksud dengan bicameral adalah terdapatnya wakil “orang dan ruang” dalam suatu parlemen yang diwujudkan dalam suatu lembaga baik untuk wakil orang maupun wakil ruang.
  6. Robert Endi Jaweng (Toni Andrianus Pito, 2006: 199)  mengemukakan parlemen bicameral yakni parlemen yang berisi dua kamar berbeda secara umum dikenal diisi oleh lower chamber dan second/ upper chamber, bahwa para anggota melakukan aktifitas pertemuan dalam dua kamar yang terpisah, terutama soal legislasi, sebagai lawan dari parlemen unikameral yang hanya berisi satu kamr yang tunggal

Second chamber atau Upper House di berbagai negara dikenal dengan variasi nama yang bermacam-macam.  Di Inggris dengan nama House Of Lords; di Switzerland, Council Of State (Standerat), Di Jerman, Bundesrat, Di Malaysia, Dewan Negara, dan sebagian besar, seperti di Australia, Amerika Serikat, Canada, Perancis, masing-masing dinamakan dengan Senate.

Mengenai kamar kedua atau second chamber seorang utilitarian, John Stuart Mill (1994: 406-408) dalam bukunya Representative Government mengemukakan  “but the houses need not both be of the same composition; they may be intended as check on one another. One being supposed democratic, the other will naturally be constituted with aview to its being some restraint upon democracy.’ Kemudian ia juga berpendapat, ‘If one House represents populer feeling, the pther should represent personal merit, tested and guaranteed by actual public service, and fortified by practical experience. If one is the People’s Chamber, the other should be the Chamber of Statesmen.

Giovanni sartori (1997: 184) juga membedakan sistem bikameral dalam tiga jenis yang diklasifikasikan berdasarkan perbandingan kekuatan antara the lower chamber dan the upper chamber yaitu

  1. Sistem bicameral yang lemah (asymmetric bicameralism atau weak bicameralism/ soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satu kamar, jauh lebih dominan atas kamar lainnya.
  2. Sistem bicameral yang kuat (symmetric bicameralism atau strong bicameralism), yaitu apabila kekuatan antara dua kamarnya nyaris sama kuat.
  3. Perfect bicameralism yaitu apabila kekuatan diantara kedua kamarnya betul-betul seimbang.

Parlemen yang kekuatannya nyaris sama kuat dianggap dapat memberi kekuatan kepada parlemen sehingga parlemen tersebut dikatakan ideal. Sementara bikameral yang lemah dianggap hilangnya kontrol diantara kedua kamarnya, sehingga tak jauh bebeda dengan bentuk lain dari parlemen unikameral. Demikian halanya perfect bicameralism bukan pula pilihan yang ideal, karena kekuasaan antara majelis rendah dan majelis tinggi memang seakan melancarkan fungsi kontrol antara kamar diparlemen, tetapi juga dapat menyebabkan kebuntuan dalam tugas parlemen.

Disamping pembagian bikameral berdasarkan tingkatan kekuatannya,  Giovanni Sartori (1997) juga membagi corak  bikameral berdasarkan komposisi atau struktur keanggotaan diantara kedua kamar tersebut:

  1. Bikameral yang unsurnya sama (similar bicameralism), parlemen dengan unsur atau komposisi yang sama diantara kedua kamarnya juga akan berubah wujud menjadi unikameral.
  2.  Bikameral yang unsurnya agak berbeda (likely bicameralism).
  3.  Bikameral yang unsurnya sagat berbeda (differentiated bicameralism),

komposisi parlemen yang terlalu berbeda juga akan menyebabkan kebuntuan proses kerja parlemen, karena terlalu heterogennya aspirasi dari masyarkat.

Dalam rangka menuju bikameralisme yang ideal , harus berintegrasi antara strong bicameralism dengan likely bicameralism. Kongres di Amerika Serikat sebagai salah satu contoh nyata dari perpadua ideal tesebut, yang mana House of Repsentatives-Nya berbagi kewenangan dan saling kontrol dengan senat untuk melaksanakan fungsi parlemen, tetapi tidak sampai saling menjegal. Unsur-unsur kongresnya-pun terjaga dengan memadukan antara  sistem kepartaian di House of Representatives dan representasi bagian di senat.

Di negara Indonesia sendiri yang terjadi saat ini, pasca-amandemen UUD NRI 1945, jika dikatakan kita menganut bikameral. Nampaknya, dengan melihat fungsi DPD sebagai kamar kedua (second chamber) atas perwakilan territorial, hanya dapat mengajukan usulan rancangan undang-undang, memberikan pertimbangan kepada DPR atas perancangan undang-undang.

Berdasarkan tugas dan fungsi dari DPD, dapat dikatakan kamar tambahan (yang posisinya lemah) dibandingkan tugas dan kewenangan DPR itu sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian negara Indonesia berada pada tingkatan weak bicameralism, walaupun secara komposisi unsur parlemennya berbeda (ada yang dari perwakilan partai politik, dan ada yang berasal dari representasi territorial).

 

 

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...