Dr. Amir Ilyas: “Saracen Terbongkar, Dua Jempol Untuk Polri”

Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H.: Dosen Hukum Pidana Universitas Hasanuddin 

Suatu kelompok penyebar konten SARA dan Hoax yang bernama Saracen, akhirnya terbongkarperihal siapa dader intelektual dibalik group yang menggunakan lebih dari 2000 akun anonim itu.

Ketiga orang anggota kelompok Saracen tersebut, yang berhasil ditangkap oleh kepolisian, yaitu: dua orang laki-laki, Jasriadi (32), Muhammad Faizal Tanong (43), dan satu orang perempuan, Sri Rahayu Ningsih (32). Ketiganya ditangkap dalam locus dan tempus yang berbeda. Faizal ditangkap di Koja, Jakarta Utara pada 21 Juli 2017. Jasriadi ditangkap di Pekanbaru, Riau pada 7 Agustus 2017. Sri ditangkap di Cianjur, Jawa Barat, pada 5 Agustus 2017.

Bentuk kejahatan mereka dapat dikatakan sebagai kejahatan yang sifatnya terorganisir. Bermula dari penangkapan tersangka Sri Rahayu Ningsih (S) pada 5 Agustus lalu dalam dugaan tindak pidana penghinaan pada Presiden Jokowi.

Dan ironisnya, setelah S ditangkap, akun facebook miliknya masih aktif. Dari situlah, melalui pengembangan penyelidikan yang dijalankan oleh penyidik siber,nama Jaspriadi terkuak dan berhasil di lacak, kalau dialah yang memulihkan akun S yang telah di take down.

Terima Kasih Polri

Disaat kepolisian sedang mengantisipasi serangan terorisme di Indonesia, maka inilah fakta yang harus diakui dan diacungi dua jempol untuknya. Bukanlah pekerjaan gampang bagi Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri dalam membongkar sindikat penyebar ujaran kebencian sekelas Saracen.

Kepolisian telah melangkah dua kali lebih dari cepat, jauh sebelum perbuatan dari kelompok Saracen itu mengancam kedaulatan nasional, persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia.

Sangat patut diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Polri. Oleh karena kejahatan yang dipelopori oleh kelompok Saracen, ialah sifatnya sangat membahayakan. Perbuatan tersebut bisa menyulut konflik sosial, gegara pemantik kebencian yang dibangunnya yaitu berlatar belakang SARA. Negeri ini bisa-bisa mengalami disintegrasi, kalau sumbu konflik itu selalu dibakar dalam arena sosial. Karena isu suku atau agama, orang pada awalnya memang hanya saling menghujat, caci maki di media sosial, tetapi lama-kelamaan komunitas yang bernama massa akan adu fisik, bukan lagi adu kata benci dan hinaan, kasus presekusi sebagai salah satu contoh yang cukup konkret. Demikianlah pentingnya, Polri sebagai institusi yang diamanahi tugas untuk memotong benih dan akar konflik yang terbangun di media sosial.

Peran Polri  dalam memutus jejaring penebar kebencian sudah sepatutnya dihargai dan harus selalu didukung oleh masyarakat. Sulawesi Selatan, yang akan terselenggara Pilkada di 12Kabupaten dan satu Pilkada di Provinsi (Pilgub), lagi-lagi terselenggaranya pemilihan yang memenuhi keadilan elektoral, nasibnya sangat ditentukan oleh kewenangan Polri pula untuk mendeteksi dini dan melakukan tindakan preventif  atas panasnya suhu pemilihan kepala daerah yang sering diboncengi oleh kampanye politik di media sosial yang berlatar belakang SARA (black campaign).

Betapa Pilkada DKI Jakarta kemarin, sungguh mencerminkan sebaran informasi yang bermuatan kebencian merusak ajang kontestasi elektoral itu. Atas nama politik identitas, bukan hanya pemilih Jakarta yang terpolarisasi dalam isu agama dan suku menjadi latar berintegritas tidaknya Pasangan Calon Kepala Daerah. Kejadian tersebut, tentunya kita tidak inginkan terulang di Pilkada 2018 mendatang.

 

Kasus Saracen

Khusus pada kasus Saracen, dalam hemat penulis terdapat dua poin yang penting untuk diperhatikan. Pertama, mengenai dugaan perbuatan pidananya. Tiga orang yang sudah tertangkap, tidak hanya dapat disangka dalam perbuatan pidana penghinaan dan penyebaran kebencian saja (Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE).Akan tetapi dapat pula diterapkan tindak pidana illegal acces, yaitu telah mengakses sistem elektronik dengan menerobos,melampaui, atau menjebol sistem pengamananmedia elektronik milik orang lain (Pasal 30 ayat 3 UUITE).

Bukankah dalam beberapa rilis pemberitaan, dinyatakan bahwa selain kelompok Saracen banyak memiliki akun palsu, juga banyak melakukan pembobolan akun milik orang lain, dengan tujuan menguasai dan memiliki akun tersebut guna menyebarkan konten SARA dan berita Hoax kepada para pengguna media sosial.

Kedua, seharusnya tindak perbuatan kelompok Saracen dihukum seberat-beratnya. Tidak hanya dengan hukuman penjara empat atau enam tahun sebagaimana termaktub dalam UU ITE.

Sangat layak perbuatan demikian diancam dengan maksimum pidana penjara 10 tahun, karena dalam menjalankan kejahatannya diboncengi dengan motif mencari keuntungan. Ini semacam criminal corporations yang pada hakikatnya sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan. Sayangnya, UUITE tidak mengatur mengenai pemberatan pidana bagi setiap orang yang menyebar kebencian dengan tujuan mencari keuntungan. Bagaimanapun dengan berpaku pada prinsip legalitas, kelompok Saracen setidak-tidaknya hanya memungkinkan dijatuhi pidana penjara delapan tahun berdasarkan sistem kumulasi pemberatan pidana.

Kepolisian tidak boleh berhenti pada tiga orang kelompok Saracen yang sudah tertangkap saja. Namun kelompok ini, pastinya masih banyak memiliki jaringan yang “bergentayangan” dalam akun anonim, belum tercium aksi mereka oleh penyidik cyber. Kelompok Saracen harus segera dibersihkan, demi menjaga keutuhan bangsa dan menghindarkan kerentanan aksi jahat mereka, dalam “merecoki” panggung Pilkada 2018 mendatang.*

 

You may also like...