Berhukum Sambil Bersastra
Ketika semua orang sudah pada jenuh dengan penegakan hukum, ada baiknya para penegak hukum itu, terutama sang hakim beralih untuk bersastra, entah berpuisi ataukah membuat prosa.
Saya sedang tidak berdeklamasi di awal tulisan ini, namun itulah seuntai kalimat yang menggambarkan wajah, potret buram penegakan hukum di negeri ini. Mulai dari kalangan elit, pusat, ibu kota, provinsi, kota, kabupaten hingga ke jaringan structural yang paling bawah. Hukum seolah kehilangan jenis kelaminya, sebagaimana yang dideskripsikan oleh Jerome Frank, kalau hukum itu dianalogikan seorang ayah, yang memiliki kekuasaan, dapat dipercaya melindungi setiap orang dari segala hak-haknya.
Namun yang berjalan adalah sebuah logika terbalik, hukum cenderung diskrimnatif (Donald Black), disparitas (Bringham), hukum hanya menusuk orang tak berpunya (Mark Galanter), hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Hukum ibarat sarang laba-laba, hanya mampu menjerat yang kecil tapi yang kuat, bertubuh besar, jaring laba-laba tersebut, demikian adanya akan koyak, gampang begitu saja.
Wajah hukum saat ini seperti apa yang dipaparkan oleh kaum postmodernisme, themis pada kenyataannya sedang bermain mata dengan pedang dan timbangan dengan mata tertutup. Ia bukan dewi yang tulus, tetapi sebaliknya culas dan pilih kasih. Atas nama timbangan (keadilan) yang dibumbui demi keadilan yang berdasarsarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, ia ayunkan pedangnya kepada kaum miskin dan minoritas yang termarginalkan. Sidang-sidang pengadilan menjadi dagelan, sandiwara ketoprak, dengan biaya mahal demi memberi legitimasi terhadap skenario kekuasaan. Oleh Charels Sampford mendeskripsikan fenomena ini secara pesimistis, melalui istilah yang diperkenalkannya seperti “disorder of law” dan” legal melee”
KASUS
Seorang anak dengan inisial AAL, dengan sandal jepit yang dicurinya, kemudian harus menjalani, kejamnya hukum, tidak setimpal atas perbuatannya. Ada lagi, seorang nenek Rukmina, yang mencuri kakao dari sebuah perusahaan, terpaksa diseret di hadapan meja hijau, karena sebuah perusahaan perkebunan melaporkannya dalam tindak pidana pencurian.
Coba bandingkan dengan pencuri, pendomplang uang pajak sekelas Gayus Tambunan, korupsi Wisma Atlet dan Proyek Center Hambalang atas nama Nazaruddin, dengan guyonannya, masih sempat melempar senyum di hadapan pemirsa, menyebut kawan-kawannya, yang pernah terlibat menggarong uang Negara.
Bahkan penjarapun seolah bersahabat dengan dirinya. Penjara disulap jadi hotel buat mereka, segala fasilitas mewah tersedia di ruangan penjara, mulai dari telephon genggam hingga akses jejaring dunia maya, dapat dinikmati dalam penjara. Memang mereka berada dalam tahanan, tidak lagi menikmati segar dan sejuknya udara bebas. Toh di dalam penjara dapat berjalan-jalan ke luar negeri dengan jutaan bit informasi di jejaring maya. Mereka dapat bercengkrama dengan teman-temannya melalui jejaring sosial, melalui twiter, melalui fecebook. Kalau begitu buat apa orang seperti mereka diciptakan penjara, kalau pada akhirnya tujuan pemenjaraan, yakni menimbulkan “derita” kepada para Napi koruptor tidak juga kunjung datang.
Di luar sana, masih banyak sejumlah calon tahanan, calon napi, antri sedang menunggu giliran di panggil KPK. Sebut saja misalnya nama Anas Urbaningrum, Andi Alfian Mallarangeng, dan sederet nama-nama lainnya siap-siap mengikuti teman-temanya, yang telah dipanggil lebih awal untuk masuk dalam gedung prodeo KPK.
Kalaupun ada yang sampi diputus, divonis bersalah oleh hakim pengadilan. Vonisnya juga yang dkenal sebagai pidana badan, tidak berat-berat amat, hanya dalam kisaran, tiga tahun, empat tahun, lima tahun. Ini dibuktikan oleh Vonis Angelina Sondakh, dan Vonis Nazaruddin kemarin. Belum lagi kita menyinggung remisi yang dengan begitu muda di dapat para Napi Koruptor.
Belum selesai kasus yang satu, lagi-lagi muncul kasus korupsi yang lain. Serupa tapi tidak sama modus operandinya, walau begitu tetap sama namanya yaitu “korupsi”.
Itulah yang dimaksud regenerasi koruptor. Kenapa setelah divonis Nazaruddin, muncul nama-nama seperti Angelina, setelah Angelina divonis muncul nama Alfian Mallarangeng, setelah Mallarangeng dicatut namaya sebagai tersangka, munyusul nama anak muda; Anas Urbaningrum. Bahkan tak main-main juga menyisir sejumlah petinggi partai yang dikenal sebagi sosok religious, ketimpa sial menanggung korupsi, ada nama LHI, Ahmad Fathanah yang diringkus dalam kasus tsunami impor daging sapi. Tsunami impor daging belum berakhir, disaat yang sama kasus simulator SIM menjelang jatuh vonisnya atas Djoko Susilo, di kementerian ESDM memunculkan nama seorang dosen teladan juga terseret dalam kasus korupsi.
BERSASTRA
Entah berapa lama lagi, kita akan bersabar, kalau tidak bersabar pasti jenuh, mendengar sequel drama para penggarong uang Negara itu. Saya berani menyimpulkan kita sudah berada pada titik jenuh, sehingga kita muak, tidak peduli, apapun para elit, dan pejabat yang mengatasnamakan wakil rakyat, telah menjadikan APBN/ APBD milik rakyat menjadi sapi perah untuk kepentingan satu golongan, kepentingan partai, kepentingan kerabat, hingga pada kepentingan keluarga. Sehingga terbentuklah pemerintahan yang oligarki, dinastokrasi, yang mana uang rakyat berkumpul, menjadi pundi-pundi kekayaan hanya pada segolongan ini. Lantas, Inikah yang dinamakan keadilan ?
Kita tidak bisa member jawaban atasnya, yang jelas dan pastinya. Seraya berandai-andai, sastra itu indah dengan seni atas bahasa, dan narasi yang diciptakannya. Maka, ada baiknya para penegak hukum, terutama hakim yang menjadi tumpuan keadilan, atas si kaya dan si miskin, atas kaum lemah dan yang kuat. Bagaimana, dengan cara apa, sang hakim mengembalikan kepercayaan public atas dirinya, mengembalikan kepercayaan public atas hukum yang memiliki wibawa? Tidak lain, hakim harus berani melahirkan putusan, bukan hanya bertumpu pada keadilan prosedural, tetapi juga pada keadilan substantif, bahkan keadilan yang berhati nurani. Tidak pula harus berhenti disitu, hanya mengharapkan keadilan yang bersandar pada hati nurani.
Untuk menyentuh nilai asali keadilan, hanyalah dengan gubahan sastra, bahasa yang indah, bahasa yang puitis, public bisa percaya pada gubahan-gubahan kata-kata itu. Karena sambil merasa terhibur, dirinya pula terhipnotis dengan bahasa yang langsung terasa dan menyentuh hati nuraninya. Pada saat itulah keadilan sebagai tujuan hukum yang abstrak, sesungguhnya dapat terejawantahkan dalam wilayah empiric, menjadi konkret, nyata, telah menapak kembali ke bumi. Pameo tegakkan hukum walau esok langit akan runtuh tak ada artinya lagi digaungkan dalam posisi itu. Oleh karena publik kembali mempercayai hukum sudah tegak, dengan bahasa yang memiliki nilai etik sekaligus estetik.
Kalau sejatinya mereka yang bersalah dijangkau dengan bahasa dalam putusan-putusan pengadilan, diikuti dengan kalimat-kalimat yang indah seperti apa yang pernah dilakukan oleh Bismar Siregar, ataukah Prof. Laica Marzuki yang kental dengan puisi-puisi disaat mendeskripsikan pertimbangan-pertimbangan hukum dalam putusan yang sedang ditanganinya. Kejenuhan atas penegakan hukum ini, akan pudar dengan sendirinya.*