Dilema Penyidik Independen KPK

 Sengketa kewenangan penyidikan kasus proyek simulator belum usai. KPK harus dihadapkan pada permasalahan baru. Bareskrim Polri menarik 20 penyidik KPK. Meski menuai kontroversi, langkah ini tetap diambil.

Banyak kalangan “menyayangkan” tindakan ini. Dimana saat yang sama, KPK mendalami dugaan keterlibatan petinggi korps cokelat. Kasus korupsi yang kembali memperuncing “permusuhan” kedua lembaga. Hingga patutlah kiranya kita mempertanyakan komitmen Polri dalam pemberantasan korupsi.

Perseteruan antara KPK dengan Polri, bukan kali pertama. Sejarah mencatat Mabes Polri pernah “memulangkan” sejumlah penyidik yang telah menangani kasus Anggodo Widjojo. Kasus korupsi besar “disinyalir” melibatkan Komjen Pol Susno Duadji. Dalam rekaman KPK orang ketiga (Trunojoyo 3) Mabes Polri, sering disebut-sebut tersangka Anggodo. Orang ini pula yang memperkenalkan istilah “cicak melawan buaya”. Berujung kepada pengkriminalisasian pimpinan KPK (Bibit-Chandra).

“Permusuhan” tidak sampai di situ. Pada awal perjalanan KPK jilid III. Ketua KPK Abraham Samad dianggap arogan memimpin KPK. Tatkala menetapkan tersangka Angelina Sondakh dan Miranda S. Goeltom. Sejumlah penyidik juga protes terhadap pemulangan rekan mereka ke Mabes Polri. Hingga isu keretakan di internal KPK berhembus kencang.

Rentetan “perseteruan” tentunya mempengaruhi kinerja KPK. Penuntasan kasus-kasus korupsi makin lambat. KPK sebagai lembaga superbody tidak akan maksimal menjalankan fungsi penindakan. Apalagi sumber daya manusia KPK bidang penyidikan masih kurang. Abraham Samad saat wawancara di Warkop Poenam mengatakan saat ini KPK hanya memiliki 195 penyidik perkara dengan 700 pegawai. Padahal laporan perhari rata-rata 80 kasus. Bahkan pernah sampai 100 kasus. Bila kita bandingkan sumber daya manusia Independen Commision Against Corruption Hongkong. Di tahun 1999 saja jumlah pegawai 1.299 orang, khusus bidang operasi (penindakan) 943 orang. Selisih yang sangat besar dibanding jumlah personil KPK jilid III.

Tingginya kasus korupsi yang ditangani KPK. Mengakibatkan ketergantungan penyidik dari kepolisian sangatlah besar. Dari 195 penyidik KPK hanya 78 perwira polisi. Bila dikurangi 20 penyidik yang ditarik ke Mabes Polri maka tinggal 58 orang. Kondisi ini tentu berbanding lurus dengan akan “melemahnya” kinerja KPK. Ketergantungan juga berimplikasi terhadap tarik-ulur kepentingan. Polri memiliki posisi tawar besar. Emerson Juntho (ICW) melihatnya sebagai “ketidakindependenan” KPK meski KPK bersifat independen.

Antisipasi persoalan tersebut, melahirkan wacana penyidik independen KPK. Pertanyaan kemudian, apakah KPK bisa merekrut penyidik independen?

Dimungkinkan

Perekrutan penyidik independen KPK dimungkinkan dalam peraturan perundang-undangan. Meski dalam kajian Criminal Justice System menempatkan Polri sebagai aparat “penegak hukum”. Pihak yang mememiliki kewenangan penyidikan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga mengatur tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang (Pasal 6 ayat 1 huruf b KUHAP). Penjelasan pasal ini, mengatur  penyidik diluar dari kepolisian. Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada dasarnya diatur dalam undang-undang pidana khusus (lex specialis).

Hal ini juga berlaku terhadap perekrutan penyidik independen KPK. UU Nomor 30 Tahun 2002 sebagai lex specialis dari KUHAP memberikan peluang perekrutan penyidik sendiri. KPK berhak mengangkat dan memberhentikan penyidik KPK (vide: Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 2002). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi juga mengatur tentang perekrutan pegawai KPK.

PP Nomor 63 Tahun 2005 memberikan kewenangan KPK untuk mengangkat pegawai komisi. Baik pegawai tetap, pegawai negeri yang dipekerjakan, dan pegawai tidak tetap. KPK juga tidak dianjurkan untuk merekrut penyidik dari kepolisian maupun kejaksaan. Sehingga tindakan pimpinan KPK menolak sejumlah penyidik baru yang disodorkan Bareskrim Polri sah-sah saja. Pengangkatan pegawai komisi haruslah memenuhi syarat pengakatan yang ditentukan oleh pimpinan KPK (vide: Pasal 4 PP Nomor 63 Tahun 2005).

Buah Simalakama

Penyidik independen KPK kembali  “mencuat”. Tatkala Komisi III DPR melakukan rapat kerja dengan tiga pimpinan instansi penegak hukum. Aboebakar Alhabsy anggota Komisi III (baca: Fraksi PKS) mengatakan penarikan 20 penyidik Polri tidak berpengaruh terhadap kinerja KPK. “Penyegaran” penyidik hal lumrah. KPK juga diharapkan merekrut penyidik independen. Penyidik yang memang direkrut dan dipekerjakan oleh KPK. Dia menegaskan akan lebih baik bila perekrutan secara mandiri diatur dalam Undang-Undang KPK.

Hemat penulis terhadap pernyataan Aboebakar Alhabsy sangatlah keliru. Penarikan penyidik kembali ke instansi kepolisian “mengganggu” kinerja KPK. Apalagi seorang penyidik yang sementara melakukan penyidikan kasus proyek Simulator SIM.

Perekrutan penyidik independen KPK juga sangat dilematis. Ibaratnya KPK makan buah simalakama. Bila perekrutan dilakukan maka akan menguntungkan KPK. KPK nantinya akan lebih fokus terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Penambahan jumlah pegawai KPK bisa disinergikan dengan intensitas kasus korupsi yang ditangani. Akan tetapi, KPK harus menelan “pil pahit” revisi UU Nomor 30 Tahun 2002. Revisi yang berpotensi “mengebiri” kewenangan KPK. Sedangkan bila perekrutan penyidik independen tidak dilakukan, maka KPK “tersandera” kepentingan penegak hukum lain.

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...