Ganti Rugi Korban Kejahatan

Sumber Gambar: merdeka.com

Menarik mencermati pernyataan Kepala Bareskrim Polri Komjen Agus Andrianto bahwa uang investasi ilegal bisa dikembalikan kepada korban.

Para korban disarankan mengurus hal tersebut dengan cara membentuk paguyuban untuk menunjuk kuasa hukum yang akan menginventarisasi kerugian para korban. Selanjutnya, jika paguyuban itu sudah terbentuk, para korban dapat menuntut ke pengadilan agar seluruh aset sitaan yang berasal dari tindak pidana dikembalikan kepada paguyuban yang dibentuk oleh para korban, setelah hakim menentukan hal tersebut dalam putusannya.

Berbicara mengenai gugatan ganti kerugian yang digabungkan dalam tuntutan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebenarnya bukan hanya berlaku untuk kasus investasi ilegal, melainkan juga untuk semua tindak pidana yang menimbulkan kerugian bagi orang lain (korban).

Pada awal Maret 2022, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada korban tindak pidana. Namun, beleid ini hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu, antara lain kejahatan terhadap anak, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, serta tindak pidana lainnya yang ditetapkan berdasarkan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Dengan memetik pelajaran berharga dari kasus First Travel—di mana putusan Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana penipuan dan pencucian uang tersebut justru malah menyatakan aset sitaan kasus tersebut dirampas untuk negara—telah mengusik rasa keadilan masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan terobosan hukum sebagai solusi.

*Memaksimalkan KUHAP*

Paradigma lama yang masih mempertahankan ”jurang pemisah” antara kompetensi absolut dari peradilan pidana dan perdata kini perlu diurai dengan cara lain yang lebih progresif (Restatement). Alasannya, kekakuan semacam itu hanya akan menunda-nunda keadilan bagi para korban tindak pidana untuk segera dipulihkan kerugiannya.

Penyelesaian perkara tindak pidana yang menimbulkan kerugian korban juga sudah waktunya dilakukan dengan pendekatan interdisipliner, yaitu antara kombinasi hukum acara pidana dan hukum acara perdata secara hibrida.

Menurut Douglas W Vick, sebagaimana dikutip Herlambang P Wiratraman dan Widodo D Putro, pendekatan monodisipliner jelas memiliki keterbatasan, terutama untuk menjawab kompleksitas problematika masyarakat.

Dalam konteks tindak pidana korupsi, Pasal 35 Konvensi PBB Menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) bahkan mewajibkan Indonesia sebagai negara pihak untuk mengambil tindakan yang diperlukan, sesuai prinsip hukum nasionalnya, yaitu untuk menjamin agar pihak yang menderita kerugian sebagai akibat dari perbuatan korupsi, mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kerugian itu untuk memperoleh kompensasi.

Untuk itu, sambil menunggu pembahasan dan pengesahan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, pemerintah dapat memaksimalkan ketentuan BAB XIII KUHAP, mulai dari Pasal 98 hingga Pasal 101, yang mengatur tentang Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian, yang dapat ditempuh jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan suatu perkara pidana merugikan orang lain.

Selanjutnya, majelis hakim pidana atas permintaan korban atau kuasa hukumnya (advokat), melalui jaksa penuntut umum, dapat menetapkan penggabungan gugatan ganti kerugian dalam tuntutan di perkara pidana tersebut.

Sederhananya, mekanisme ini sebenarnya merupakan ganti rugi (perdata) yang digabungkan dengan dasar dakwaan suatu perkara pidana yang merugikan korbannya.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan penerbitan peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksanaan dari Pasal 98 hingga Pasal 101 KUHAP, yang mengatur teknis penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dengan lebih komprehensif.

Yang tidak kalah penting dan menjadi ”modal” untuk memulihkan kerugian korban adalah penyitaan sebagai upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik untuk mengambil alih atau menyimpan benda bergerak, tidak bergerak, berwujud, atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan (Pasal 1 Angka 16 KUHAP).

Penyitaan pidana yang dilakukan oleh penegak hukum ini sangat kuat kedudukannya, sekalipun terhadap sitaan yang sama telah dilakukan dalam perkara kepailitan. Penyitaan tersebut bisa berbentuk, pertama, perampasan terhadap harta kekayaan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumentum sceleris). Kedua, perampasan terhadap obyek yang berhubungan dengan tindak pidana (objectum sceleris). Ketiga, penyitaan terhadap hasil tindak pidana (fructum sceleris).

Bentuk penyitaan yang terakhir atau fructum sceleris itulah yang nantinya akan diputuskan oleh hakim, benda/barangnya dikembalikan kepada orang yang paling berhak, dalam hal ini adalah korban tindak pidana menurut ketentuan Pasal 46 KUHAP.

Dengan adanya kabar bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Perdata masuk dalam 13 RUU yang akan dibahas DPR di masa sidang IV tahun ini, penulis berharap peraturan pemerintah ini juga dapat memuat teknis penjatuhan putusan hakim yang bersifat declaratoir. Misalnya mengenai siapa yang berhak atas suatu sitaan dan bagaimana distribusinya karena diktum putusan itulah sebenarnya yang dibutuhkan untuk memulihkan kerugian korban tindak pidana.

Adanya pesimisme bahwa penggabungan gugatan ganti kerugian dan tuntutan perkara pidana ini tidak akan dapat memulihkan kerugian korban tindak pidana sepenuhnya harus bisa menjadi suatu cambukan yang kuat untuk mencari formulasi yang terbaik dari kombinasi hukum acara pidana dan hukum cara perdata.

*Dukungan ”asset recovery”*

Ikhtiar Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana saat memberikan arahan dalam Hari Antikorupsi Sedunia yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Desember 2021 sempat memberikan secercah harapan bagi penegakan hukum di Nusantara. Hal itu mengingat beleid ini bukan hanya untuk tindak pidana korupsi, melainkan juga aset yang berasal dari tindak pidana yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih.

Menariknya, perampasan aset tindak pidana dapat dilakukan oleh negara berdasarkan suatu putusan pengadilan, tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelaku tindak pidana (non conviction based). Misalnya, dalam hal pelaku meninggal, melarikan diri, sakit permanen, perkaranya tidak dapat disidangkan, atau dijatuhkannya putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).

Bahkan, proses pemeriksaan permohonan perampasan aset tindak pidana oleh penuntut umum dilakukan terhadap aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dikonversikan menjadi harta pribadi pelaku atau orang lain, sebagaimana modus yang sering dilakukan oleh pelaku pencucian uang (money laundering).

Model pemeriksaan yang identik dengan sistem peradilan perdata ini didahului dengan tindakan penelusuran atas adanya dugaan kuat asal-usul atau keberadaan suatu aset tindak pidana, yang kemudian diikuti pemblokiran, dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan tidak mengurangi hak pihak ketiga yang beritikad baik untuk mengajukan keberatan terhadap permohonan perampasan aset melalui pengadilan negeri.

Pertimbangannya, jangan sampai setelah perkara pidananya berkekuatan hukum tetap, para korban masih harus berjuang mengajukan gugatan perdata mulai dari nol. Apalagi, pelaku kejahatan dianggap memiliki ”darah segar” hasil kejahatannya untuk ”membiayai” perlawanan yang akan menghabiskan waktu bertahun-tahun. Jangan sampai keadilan yang tertunda justru semakin merugikan para korban dan masyarakat. Justice delayed is justice denied, demikian diungkapkan William E Gladstone.

 

Oleh:

ALBERT ARIES

Pengajar FH Universitas Trisakti dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

KOMPAS, 4 April 2022

Sumber : https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/03/ganti-rugi-korban-kejahatan

You may also like...