Implikasi Hukum Calon Tunggal Kepala Daerah
Ihwal syarat Calon Kepala Daerah, calon tunggal dan calon perseorangan memunculkan keadaan hukum baru melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pertama, Putusan MK Nomor: 100/PUU-XIII/2015; pada intinya menyatakan calon tunggal Kepala Daerah setelah dilakukan upaya maksimal agar terdapat dua Pasangan Calon (Paslon) Kepala Daerah oleh KPUD, tetapi hanya Paslon tunggal itu-itu saja, maka terhadap calon tunggal tersebut tetap diikutkan dalam Pilkada dengan desain surat suara secara plebisit atau referendum; meminta pemilih untuk menentukan pilihannya “setuju’ atau “tidak setuju.”
Kedua, terhadap putusan MK Nomor: 60/PUU-XIII/2015 terkait calon perseorangan, syarat dukungan perseorangan tidak lagi bersandar pada totalitas (semua) jumlah penduduk atas wilayah terselenggaranya Pilkada berikut dengan syarat presentasenya, tetapi standar penghitungan dukungannya didasarkan pada jumlah penduduk yang wajib pilih (Daftar Pemilih Tetap: DPT) saja di wilayah tersebut.
Selanjutnya dalam tulisan ini, akan dititikberatkan pada aspek hukum calon tunggal Kepala daerah sebagai konsekuensi yuridis penyelenggaran pemilihan kepala daerah akibat Putusan MK a quo, yang mengakomodasi daulat rakyat dalam hak untuk dipilih dan hak untuk memilih. Saban hari ketika telah tiba pada waktunya, maka kedaulatan rakyat tidak boleh ditunda-tunda. Bahwa dengan Pilkada calon tunggal dalam desain sistem referendum, ketika rakyat ternyata yang menyatakan mayoritas keridaksetujuannya terhadap calon tunggal, maka penundaan kepala daerah defenitif di suatu wilayah harus karena kehendak rakyat itu sendiri.
Implikasi Hukum
Dari awal sejak munculnya polemik calon tunggal Kepala Daerah, saya sudah berkali-kali menulis di harian ini dengan berada di posisi bahwa penyelesaian calon tunggal sebagai satu-satunya jalan yang terbaik, yakni dengan aklamasi, bukan pada kontestasi.
Namun persoalannya kemudian menjadi lain, oleh karena putusan MK yang bersifat final tersebut, dalam fungsinya sebagai guardian of constitution berada di garis “negative legislator” telah melakukan pembentukan norma baru; calon tunggal harus dikontestasikan secara plebisit (pemilih setuju atau tidak setuju).
Padahal konstitusional bersyarat calon tunggal yang harus dikontestasikan, pada dasarnya dapat mempengaruhi/berimplikasi terhadap ketentuan hukum lainnya yang terkait dengan tata laksana penyelenggaran Pilkada. Inilah salah satu kelemahan Putusan MK yang selalu menyatakan suatu pasal sebagai konstitusional bersyarat, perubahan terhadap satu ketentuan akan menyebabkan ketentuan lainnya rentan mengalami antinomi antar ketentuan, termasuk memicu akan terjadinya kekosongan hukum dalam perundang-undangan tersebut.
Implikasi hukum yang akan terjadi, akibat putusan MK terkait calon tunggal Kepala Daerah, paling mendasar dalam UU Pilkada terletak pada keadaan UU a quo mengalami kekosongan hukum bagi calon tunggal dalam tata laksana Pilkada.
Dalam hal tertentu, tahapan Pilkada berupa kampanye Paslon dan pencoblosan suara memang tidak menjadi soal bagi calon tunggal kepala daerah.
Hanya saja kekosongan hukum yang terjadi karena adanya pemilihan calon tunggal melalui kontestasi, terutama pada bagian ketentuan sengketa hasil ke MK. Sebab dalam UU Pilkada formulasi ketentuan sengketa hasil dari awal sudah didesain hanya untuk dua calon atau lebih Kepala Daerah saja. Sama sekali dalam pengaturan “standing konstitusi” untuk mengajukan gugatan sengketa hasil Ke MK tidak pernah ditujukan terhadap daerah yang hanya memiliki calon tunggal.
Kondisi ini semakin diperumit dengan syarat presentase selisih suara yang diatur dalam UU Pilkada terkait sengketa hasil (mulai dari 2 persen, 1,5 persen, 1 persen, hingga 0,5 persen) dengan dua standar pengukuran dapat tidaknya hasil suara dipermasalahkan ke MK (Vide: Pasal 158 UU Pilkada). Pertama, harus mengacu pada semua jumlah pendudukan di wilayah yang menyelenggarakan pilkada, tetapi di saat yang lain MK juga sudah melahirkan norma baru terkait syarat calon perseorangan yang didasarkan pada angka dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) saja. Tentu idealnya dalam Pasal a quo syarat 2 persen hingga 0,5 persen itu yang ditarik dari semua jumlah penduduk wilayah terselenggaranya Pilkada, seharusnya standar presentase demikian berubah pula ke standar angka DPT sebagai pijakan hitungan presentase untuk selisi suara itu.
Untuk menyikapi problematika hukum ini, melalui syarat calon perseorangan berdasarkan angka DPT a quo putusan MK. Sebagai syarat perseorangan berdasarkan angka dari totalitas jumlah penduduk, yang sudah terlaksana dalam tahapan Pilkada, maka untuk saat ini putusan MK a quo belum dapat diberlakukan atas syarat presentase dukungan calon perseorangan berdasarkan angka DPT.
Putusan MK dalam pemaknaan ketentuan yang nonretroaktif, setidak-tidaknya masih bisa digunakan bahwa standar hitungan semua jumlah penduduk dari wilayah penyelenggaran Pilkada sebagaimana standar tersebut digunakan untuk gugatan sengketa hasil ke MK.
Kedua, terkait selisih suara 2 Persen hingga 0.5 persen tersebut, dengan standar angka presentase selisi suara juga masih kabur: apakah berdasarkan selisi suara dari pemenang pertama ataukah selisi suara dalam hitungan presentase itu diukur berdasarkan suara pengklaiman. KPU/D menyatakan, adalah angka presentase demikian diukur berdasarkan selisi suara pemenang pertama. Berarti kalau demikian tafsirannya, dalam hal terdapat calon lebih dari dua, maka kecil kemungkinan, perolehan suara pemenang ketiga, keempat, dst, dapat mengajukan gugatan atas sengketa hasil ke MK.
Legal Standing
Soalnya akan menjadi lain, manakalah calon tunggal hendak mengajukan gugatan ke MK dalam hal suara mayoritas pememang dari rakyat pemilih “tidak setuju”. Apakah calon tunggal tersebut dapat mengajukan gugatan ke MK dengan memakai standar selisi suara terhadap suara dari rakyat pemilih yang tidak setuju? Sebaliknya, dapatkan pula rakyat melakukan gugatan sengketa hasil ke MK, kalau ternyata calon tunggal mendapat suara mayoritas “setuju” dengan alasan, bahwa perolehan suara calon tunggal terdapat indikasi kecurangan?
Dalam hemat Penulis, gugatan atas sengketa hasil in qasu a quo hanya bisa diberikan bagi calon tunggal saja. Kalau ada yang berpendapat, rakyat juga bisa mengajukan gugatan sengketa hasil terhadap suara calon tunggal ke MK, hal itu sulit mewujudkannya. Sebab perwakilan atas rakyat yang tidak setuju, dari awal tidak ada yang mewakilinya. Sungguh berbeda dengan calon tunggal yang sudah terkonkretisasi “hak daulat rakyatnya” dari awal.
Inilah kelemahan dari kontestasi calon tunggal yang harus diakui bersama. Bahwa dari awal dengan adanya sistem referendum antara suara setuju dan tidak setuju terhadap calon tunggal Kepala Daerah. Mustahil mereka memiliki perwakilan untuk terlibat dalam kampanye. Sehingga mutatis mutandis, mutahil rakyat pemilih “tidak setuju” akan memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan sengketa hasil ke MK.
Andaikata masih ada yang kukuh untuk memberi legal standing terhadap rakyat pemilih yang tidak setuju dalam sengketa hasil ke MK. Maka, kalau selama ini kita selalu berdalil “atas nama daulat rakyat” berarti dalam proses persetujuan mengajukan gugatan ke MK atas rakyat pemilih yang “tidak setuju” bagi calon tunggal; kenapa tidak dikontestasikan lagi atas nama daulat rakyat? Untuk menentukan mayoritas rakyat pemilih yang tidak setuju benar-benar hendak mengajukan gugatan ke MK. Sulit bukan! Kalau demokrasi selalu saja kita maknai harus dengan kontestasi.*