Kompetensi “Kegilaan” Dalam Persidangan

Ilustrasi kasus:

Pada suatu pagi di musim panas. Tahun 2011, Andrea Yates memenuhi bak mandi dan memanggil anak-anaknya ke kamar mandi satu persatu. Anak laki-lakinya yang berumur 3 tahun, Paul mendapat giliran pertama. Wanita itu memaksa Paul masuk ke bak dan membenamkan kerpala anaknya masuk ke bak sampai berhenti bernafas. Ia menggendong tubuh anaknya yang baash kuyup ke kamar tidur, membaringkannya, dan menyelimutinya. Lalu,  anak laki-lakinya yang berumur dua tahun, Luke dan John yang berumur lima tahun dibunuhnya dengan cara yang sama. Anak perempuan Yates yang berumur enam bulan, Mary yang terbaring di lantai kamar mandi dan menangis, ketika ketiga kakak laki-lakinya dibunuh _ mendapat giliran terakhir.

Baru saja Yates mengangkat putrinya yang tidak bernyawa itu dari bak, anak sulungnya Noah (7 tahun ) datang dan menanyakan kepada Ibunya apa yang terjadi dengan adik perempuannya. Ketika Yates mencoba menangkap Noah, anak itu lari. Ia mengejar putranya itu, menangkapanya, menyeretnya ke kamar mandi dan membenamkannya ke bak, di samping adiknya.

Setelah membunuh kelima anaknya. Andrea dn Yates menelepon 911 dan mengatakan kepada operator ia membutuhkan ambulans. Ia juga menelepone suaminya, Russel dan memintanya pulang “inilah saatnya, katanya kepada Russel, saya akhirnya melakukannya”.

Lalu, hubungan telepon itu putus. Ketika Polisi tiba di TKP, Noah ditemukan mengapung tertelungkup di bak, sementara keempat adiknya ditemukan  terbaring di tempat tidur yang sama. Kepala  Mary disandarkan ke bahu John. Ibunya melingkarkan lengan John, pada tubuh adiknya itu. Ia mengatakan kepada polisi bahwa  ia telah berpikir untuk membunh anak-anaknya “sejak saya menyadari bahwa saya bukan Ibu yang baik bagi Ibu mereka. “ ia mengatakan bahwa anak-naknya tidak tumbuh dengan benar.

Ironisnya, dan mengejutkan banyak orang, suaminya yang berduka itu tidak mau menyalahkan isterinya. “saya sama sekali tidak menyalahkan Andrea, katanya “jika ia mendaptakan perawatan medis yang dibutuhkan anak-anaknya pasti masih hidup dan baik-baik saja, dan andrea pasti akan sembuh (Springer, 2002).”

Kasus di atas menjadi awal dan tanda dimulainya, untuk mengukur kompetensi kegilaan dalam mengikuti persidangan di Negara Amerika. Dalam kasus tersebut yang menjadi pertanyaan untuk mengukur kegilaan Andrea Yates adalah, “APAKAH PILIHAN YANG DIBUATNYA IA KETAHUI SEBAGAI PERBUATAN DOSA DI MATA TUHAN DAN SEBAGAI TINDAK PIDANA DIMATA NEGARA.” Pada akhirnya Yuri-pun untuk memutuskan Andrea Yates bersalah hanya membutuhkan, lima menit untuk mengirim Andrea Yates ke penjara.

Competence to Stand Trial.

Pada kasus yang dialami oleh Andrea Yates, memang dibutuhkan peran psikolog klinis dan professional kesehatan mental, yang bermaksud mengevaluasi kompetensi terdakwa. Namun hukum tetap mengambil peran dominan untuk menentukan kompetensi untuk mengikuti persidangan_Competence to Stand Trial.

Competence to Stand Trial (CST) mengacu pada keadaan psikologis terdakwa pada saat persidangan, kedaaan mental terdakwa pada saat melakukan tindak pidana itu tidak relevan dalam penetapan CST (meskipun hal itu relevan bagi standar kegilaan).

Konsep CST bukanlah konsep psikologis melainkan konsep hukum. CST bukan berarti memiliki kesahatan mental yang kuat atau bahkan sekedar normal saja. Penilaian itu semata-mata berarti bahwa terdakwa memenuhi standar minimum untuk bekerja sama dengan seorang pengacara, dan menyadari hal ihwal serta konsekuensi tindakan hukum yang dikenakan terhadap dirinya. Dan pengacara biasanya lebih dominan untuk mengatakan bahwa klien-nya mengalami penyakit kegilaan. Maka yang harus membuktikan bahwa pelaku tindak pidana itu, sesungguhnya tidak berada dalam standar kegilaan dengan beberapa kesaksian atau pembuktian dari psikolog klinis adalah Penuntut. Penuntut dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa orang yang diduga mengalami kegilaan, sesungguhnya kompeten untuk menjalani persidangan_ Competence to Stand Trial.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...