Psikologi In Law (dalam Putusan hak asuh anak)
Apabila hakim diajukan perkara kepadanya, maka ia harus menerima perkara tersebut walaupun tidak ada hukum yang mengaturnya (ius curia novit), apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya, ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan hakim tersebut disusun apabila pemeriksaan sudah selesai dan pihak-pihak yang berperkara tidak lagi menyampaikan suatu hal kepada hakim yang memeriksa perkaranya. Menurut Andi Hamzah (1986: 485) putusan adalah hasil atau kesimpulan dari perkara yang dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan. Demikian juga Sudikno Mertokusumo (1988:167-168) mengemukakan bahwa putusan adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara. Ditinjau dari segi sifatnya (dalam Abdul Manan: 2006, 297-298), putusan pengadilan terdiri atas:
- Putusan declaratoir, putusan pengadilan yang amarnya menyatakan suatu kedaan dimana kedaan tersebut dinyatakan sah menurut hukum.
- Putusan constitutive, putusan yang bersifat menghentikan atau menimbulkan hukum baru.
- Putusan condemnatoir, putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh hakim.
Putusan hak asuh anak oleh hakim termasuk dalam kategori putusan yang bersifat constitutif yaitu, menciptakan hukum baru/keadaan baru tentang siapa yang berhak untuk mengasuh anak dari para pihak. Para pihak dalam sengketa penentuan hak asuh anak adalah antara ayah dan ibu yang memposisikan diri sebagai tergugat dan penggugat.
Berdasarkan hasil analisis psikologi tentang hak asuh anak untuk menentukan siapa yang berhak atas pengasuhan tersebut (dalam Constanzo: 2004, 368), terbagi atas lima kriteria:
- Keinginan orang tua anak.
- Keinginan anak.
- Hubungan antara anak, orang tua, sudara kandung dan orang lain yang memberikan pengaruh signifikan pada kepentingan terbaik anak.
- Penyesuaian anak di rumah, sekolah, dan masyarakat.
- Kesehatan fisik dan mental orang-orang yang terlibat dengan anak.
Tetapi yang lebih sering terjadi, pengadilan selalu memakai pertimbangan Undang-undang seperti Kompilasi Hukum Islam yang menetapkan hak asuh anak pada ibu jika anak berada dibawa umur 12 tahun. Padahal hakim dimungkinkan untuk menggali hukum bahkan menciptakan hukum yang baru, karena tidak selamanya hak asuh ibu yang ditetapkan dalam Undang-undang dapat menjamin apa yang terbaik (the best interes of the children)untuk seorang anak selama bertahun-tahun kedepan.
Dalam sistem peradilan Amerika, pengaturan hak asuh anak dibedakan antara legal custody dan physical custody. Legal custody (hak asuh legal) berhubungan dengan hak dan tanggung jawab orang tua. Sebagai contoh orang tua yang memiliki hak asuh legal memiliki wewenang untuk menentukan wewenang untuk menentukan anaknya harus sekolah di sekolah mana dan, bila perlu penanganan medis seperti apa yang harus diterima anak. Physical custody mengacu pada seberapa lama seorang anak dapat menghabiskan waktu bersama salah satu orang tuanya. Physical custody menjadi alternatif dasar atas penentuan hak asuh tunggal dan hak asuh bersama. Di dalam hak asuh tunggal, salah satu orang tua memiliki hak asuh legal dan fisik, sementara yang lainnya hanya diberi hak-hak terbatas untuk mengunjungi anaknya dengan interval yang teratur. Sedangkan hak asuh bersama yaitu memberikan kesempatan kepada anak untuk menghabiskan waktu yang sama dengan masing-masing orang tuanya.
Secara psikologis yang lebih menguntungkan baik bagi anak maupun orang tuanya yaitu hak asuh bersama, karena dukungan finansial untuk anak lebih stabil dibanding penatalaksanaan hak asuh tunggal, dimana orang tua yang diberi hak asuh harus selalu meminta pembayaran biaya pengasuhan anak dari orang tua yang tidak memiliki hak asuh. Hak asuh tunggal digunakan, jika salah satu orang tua tidak kompeten, seperti mengalami ketergantungan obat, suka menganiaya anak secara fisik dan emosional.
Sedangkan negara Indonesia, dalam pengaturan hak asuh anak dapat dilihat pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yaitu
- Pemeliharaan anak yang belum Mumayyis atau belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya.
- Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemeliharaannya.
Berdasarkan Pasal tersebut berarti indonesia, hanya menganut hak asuh tunggal yaitu hak asuh ibu (mother custody) atau hak asuh ayah (father custody), padahal kedua-duanya (ayah dan ibu) tetap mempunyai hak untuk mengasuh dan menjalankan hak/kewajibannya sebagai orang tua dari anak tersebut..