Kontribusi Psikolog Terhadap Bidang Hukum
Suatu sistem pembuktian dalam praktik peradilan baik itu hukum acara pidana maupun hukum acara perdata, menggunakan keterangan ahli sebagai dasar pembuktian hakim dalam menjatuhkan keputusan. Psikolog, seringkali digunakan oleh pengacara sebagai salah satu sumber pembuktian, dengan argumentasi yang didasarkan pada keahlian yang teliti dan cermat. Peran yang sering dimainkan menurut Constanzo (2006:21-27) oleh para psikolog dalam bidang hukum antara lain.
a) Psikolog sebagai penasihat
Diantara kasus yang sering masuk di pengadilan seperti permohonan dispensasi perkawinan, permohonan izin poligami dan gugatan/permohonan perceraian, hakim hanya selalu memakai pertimbangan Undang-undang (Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), tanpa pernah meminta tanggapan psikolog untuk menentukan alasan yang patut seorang memperoleh dispensasi perkawinan dan izin poligami. Padahal psikolog dalam kondisi tertentu akan menjadi penasihat dalam perceraian (mediasi perceraian), yang disebabkan oleh perzinahan dan kekerasan dalam rumah tangga. Pecahnya rumah tangga untuk diajukan perceraian di pengadilan, dapat meminta pendapat psikolog, apakah sebuah rumah tangga masih patut dipertahankan?
Di negara Amerika pakar psikolog seringkali disewa oleh pengacara untuk membantu pembuktiannya berdasarkan pengetahuan psikologis dalam bersaksi di pengadilan. Sebagai contoh, seorang psikolog klinis pernah bersaksi kompetensi orang tua untuk mendapat hak asuh anak (Child custody).
b) Psikolog sebagai evaluator
Tanpa disadari seorang hakim yang memutus dengan ketukan palu dalam putusan perceraian, anak-anak dari keluarga yang bercerai akan menjadi anak jalanan, seorang hakim perlu pertimbangan psikologis untuk memutus perceraian, karena putusan cerai adalah sama dengan menghancurkan negara kecil. Olehnya itu psikolog dalam pengadilan perlu mengevaluasi kompetensi orang tua dalam hal hak asuh tunggal, mengenai siapa yang layak untuk mengasuh anak tersebut.
Dalam penjatuhan pidana, apakah dengan hukuman penjara, seorang kriminal, tidak akan jahat lagi setelah keluar dari tahanan? Apakah dengan menangkap preman juga akan mengurangi angka kejahatan? Apakah pengaruh media (televisi, internet, dan handphone) menyebabkan terjadinya kekerasan seksual? Apakah hubungan seksual di luar nikah tidak melanggar hukum? Apakah perlu ada revolusi hukum (meminjam istilah Lawrence M. Friedman) ketika pelacuran dilokalisir?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi bahan evaluasi psikolog dalam pembentukan peraturan dan penegakan hukum.
c) Psikolog sebagai pembaharu
Berita setiap tahun setidaknya 150.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran anak dan pornografi. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat dibanding data Unicef tahun 1998 yang berjumlah 70.000 anak, mereka berusia 14-16 tahun, setingkat anak usia SMP.
Kasus tersebut akan menjadi koreksi tersendiri bagi para peneliti anak, yang tentunya juga menjadi bahan penelitian psikolog, apakah perlu diadakan perubahan/pembaharuan terhadap Undang-undang perlindungan anak?, ataukah para penegak hukum yang kurang jeli memperhatikan kekerasan yang tejadi dalam dunia anak-anak?.
Selain itu psikolog juga dapat megadvokasikan perlunya Undang-undang disahkan berdasarkan temuan-temuan yang diperolehnya melaui penelitian, sebagai contoh pengesahan Undang-undang pornografi memang perlu, karena media banyak menayangkan tayangan sensual yang akan berpengaruh terhadap pembentukan pikiran dan krakter anak.