Pilkada Serentak (Harus) Melantik Calon Tunggal

Pilkada serentak terancam gagal, rasa pesimisme itu rasanya tidaklah berlebihan, sebab kini kondisi faktual membuktikan bahwa terdapat empat daerah yang hanya memiliki satu Calon Kepala Daerah, dan telah dipastikan oleh KPUD di daerah tersebut tidak dapat melangsungkan Pilkada pada 9 Desember 2015 nanti.

Kini, sudah banyak “terobosan hukum” yang ditawarkan untuk mensiasati hadirnya calon tunggal Kepala Daerah. Diantaranya, Pertama: KPU menawarkan penundaan Pilkada bagi daerah yang hanya memiliki calon tunggal, sedianya diikutkan pada Pilkada 2017 nanti.

Kedua, berseliweran juga pendapat yang menawarkan untuk calon tunggal agar menggunakan mekanisme pemilihan sistem Pilkades, yakni dengan mengadu calon tunggal dengan lawan tanding bumbung kosong.

Ketiga, ada pula yang mewajibkan bagi Parpol untuk mengajukan calon kepala daerah berbeda, dan jika tidak mengajukan calonnya bisa dikenakan sanksi admnistratif. Alternatif yang terakhir ini bisa dikatakan tawaran yang paling tidak masuk akal, sebab untuk mengajukan tidaknya calon yang sama ataukah yang berbeda, berada dalam sentrum “hak”. Tentunya “negara” tidak dapat memaksakan “subjek hukum sebagai pemangku hak”, apalagi menghukum jika tidak menunaikan hak-haknya.

Sedangkan untuk dua alternatif sebelumnya, kendati kelihatan mengakomodasi prinsip daulat rakyat, namun tetap rentan untuk mengancam proses untuk menuju pilkada serentak yang sesungguhnya.

Tidak ada jaminan bahwa dengan penundaan Pilkada hingga tahun 2017 terhadap daerah yang hanya memiliki calon tunggal, akan muncul lagi calon tunggal pada periode kedua pilkada serentak itu. Hal yang sama juga berlaku dengan mekanisme Pilkada sistem bumbung kosong, siapa yang bisa memberi jaminan penuh, setelah calon tunggal dinyatakan tidak terpilih dengan lawan tanding bumbung kosongnya, lalu dibuka lagi pendaftaran Calon Kepala Daerah, ternyata pendaftarnya lagi-lagi yang tersedia hanya satu calon. Jika demikian terus kejadiannya, lalu kapan Pilkada serentaknya akan jadi-jadi?

Sumber Gambar: static6.com

Sumber Gambar: static6.com

Lantik Langsung!

Maka dari itu, memang satu-satunya jalan yang paling solutif, agar calon tunggal tidak mengganggu Pilkada serentak, calon tunggal harus langsung dilantik. Dengan melantik calon tunggal dipastikan tidak akan mengganggu semua tahapan Pilkada serentak yang saat ini sudah terprogram dengan matang.

Arifnya, agar pelantikan langsung calon tunggal tidak terkesan menyimpangi prinsip daulat rakyat. Perlu dibentuk aturan yang memberi batasan; dalam ihwal hanya tersedia calon tunggal, maka perpanjangan pendaftaran Calon Kepala Daerah untuk mencari lawan tanding dari calon tunggal, sudah harus mempermuda syarat pendaftaran dengan menurunkan batasan dukungan kursi DPRD perwakilan Parpol, dan demikian halnya juga calon perseorangan untuk limitasi dukungan KTP juga harus diturunkan kuantitasnya.

Dan jika KPUD misalnya sudah membuka perpanjangan pendaftaran calon kepala daerah, tetapi tetap tidak bisa diperoleh calon tambahan, maka pada konteks itulah jalan terakhir digunakan; harus melantik calon tunggal Kepala Daerah tersebut demi menghindari terjadinya pemerintahan yang tak bertuan.

Masih Konstitusional

Pelantikan langsung calon tunggal kepala daerah perlu dipahami, tidaklah melanggar kaidah hukum tertinggi kita, pada sesungguhnya masihlah konstitusional. Syarat konstitusional pemerintahan meniscayakan harus ada pengisian agar tidak terjadi kevakuman, dan prinsip demokrasi yang dituangkannya melalui bingkai negara hukum mewajibkan “kompetesi demokrasi haruslah diakhiri”. Apapun putusan terakhirnya haruslah dipercaya legitimasinya —– judicis posteribus fides est adhibenda.

Mengakhiri kompetesi demokrasi dengan pelantikan langsung Calon Tunggal Kepala daerah jauh lebih kecil mudharatnya, dari pada mencarikannya “lawan tanding”. Alih-alih bermaksud mengakomodasi dua hak (hak untuk dipilih dan hak untuk memilih) tetapi pada akhirnya bisa merusak sendi-sendi demokrasi itu sendiri.

Dalam hemat penulis, seabrek bantahan terhadap peantikan langsung calon tunggal tidak ada yang bisa langgeng preposisi hukumnya. Justru pada pelantikan langsung calon tunggal Kepala daerah meniscayakan demokrasi akan berjalan dalam tatanannya.

Kita sudah mafhum bersama bahwa partai politik yang diharapkan menjadi aktor utama dalam perekrutan pejabat publik (baca: Kepala Daerah), tetapi kentalnya budaya patron-clien dan state capture yang mengidap Parpol kita selama ini, hajatannya selalu tampak ingin “menjegal dan memboikot” pemerintahan saja.

Toh kalau memang Parpol dilanda “penyakit selalu ingin menjegal”, pelantikan langsung calon tunggal yang diakomodasi undang-undang, justru praktik “jegal” mereka akan menguntungkan Pilkada. Bahwa kalau hanya ada calon tunggal, dan mereka ingin menjegalnya agar tidak melenggang mulus terpilih, silahkan dijegal dengan mengajukan “lawan tanding”. Dan munculnya lawan tanding karena motif jegal parpol, bukankah “hukum” sebagai sarana pengendali dalam poin itu, telah mengelola partai politik kembali pada keadabannya.

Terakhir, konstitusionalnya pelantikan langsung calon tunggal tidak pernah bermaksud melucuti onderdil demokrasi dalam perangkatnya “hak untuk memilih”. Bahwa hak untuk memilih bukanlah hak yang tak terbatas, bukan hak yang dengan sehari-harinya bisa digunakan oleh tiap individu untuk memilih perwakilan dirinya. Hak pilih tidaklah bercokol dalam diri selama-lamanya, ruang pilih itu ditentukan jika memang ada dua pasangan Calon Kepala Daerah. Tetapi jika hanya tersedia calon tunggal, maka nalar sehat kita akan mengatakan “hak pilih yang kita miliki pada sesungguhnya terdapat dalam calon tunggal itu. Jika pembaca belum juga mengerti, silahkanlah renungi sebuah pertanyaan: “jika hanya ada satu pilihan haruskah kita memilih?”

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...