“Menyandera” Ketua KPK

Ketua KPK “tersandera”. Itulah drama yang tersaji dalam pemilihan pimpinan dan ketua KPK pada Jum’at (2/12) lalu yang akhirnya berhasil mengantar Abraham Samad selaku Ketua KPK bersama empat pimpinan KPK lainnya. 43 dukungan suara dari Komisi III sudah cukup mengantarkan Abraham, figur yang sering menyebut dirinya “orang kampung” ke singgasana Ketua KPK. Sebuah sejarah baru jika dibandingkan dengan sejarah pemilihan ketua KPK sebelumnya. 

Namun kemudian, “sejarah baru” ini juga dihinggapi sejumlah “kecurigaan” dan “kekhawatiran”. Proses pemilihan yang melibatkan fraksi (parpol) di Komisi III ini kemudian menyiratkan keraguan publik akan independensi dan integritas KPK di kemudian hari. Tentang “kontrak politik” yang (mungkin saja) ada antara calon pimpinan dan Ketua KPK terpilih dengan DPR (parpol). Dari awal mengikuti hingga pada proses pemilihan, publik berada dalam “dua ruang”; antara optimis dan pesimis.  

Optimistis Publik

Optimistis publik terletak pada dua hal; kelembagaan KPK dan kelima figur yang menjabat sebagai pimpinan KPK. Untuk kelembagaan KPK, UU No 30 Tahun 2002 telah mendesain KPK sebagai lembaga superbody dengan kewenangan powerfull. Melebihi kewenangan yang dimiliki lembaga penegak hukum lainnya. Termasuk kepolisian dan kejaksaan sebagai kompatriotnya selama ini.

Pasal 12 UU No 30/2002 memberikan sejumlah kewenangan besar kepada KPK untuk melakukan penyidikan. Diantaranya; melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti diluar negeri; meminta bantuan kepolsian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Tiga kewenangan itu merupakan kesatuan dari sembilan kewenangan inti yang dimiliki KPK. 

Sejak berdiri hingga kini, kewenangan besar tersebut sudah cukup membantu KPK dalam melakukan tugas-tugas penyidikan. Ditambah kolaborasi dengan pengadilan Tipikor, sudah banyak koruptor kelas kakap, baik dari kalangan pebisnis dan politisi, menyerah dihadapan KPK. Orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan juga masuk dalam jaring yang dibuat KPK, termasuk aparat penegak hukum. 

 Sepak terjang KPK ini perlahan-lahan menumbuhkan optimisme dalam pemberantasan korupsi selama ini yang dinilai gagal. Pihak-pihak yang selama ini pesimis melihat prospek pemberantasan korupsi, akhirnya optimis dan mendukung KPK. KPK dianggap representasi “sang ratu adil” dalam mitologi Jawa.

            Sementara kelima figur yang mengisi kursi pimpinan KPK memiliki rekam jejak plus minus di mata publik. Sekalipun Abdullah Hemahua dan Yunus Husein tidak terpilih, asa publik umumnya dibebankan kepada Bambang, Busro dan Abraham selaku figur dengan integritas teruji. Ketiganya ibarat tiga mata pisau atau “trisula” yang siap menghadapi medan laga dengan segala resikonya. 

 

Pesimisme

Namun pada ruang yang lain, publik juga dihinggapi keraguan. Hal ini terkait proses pemilihan pimpinan dan ketua KPK yang melibatkan Komisi III DPR yang merupakan representasi parpol. Sekalipun proses tersebut juga melibatkan Pansel KPK yang diisi kalangan “independen”, namun keterlibatan fraksi di DPR dalam pemilihan pimpinan dan ketua KPK menyiratkan sejumlah kekhawatiran terkait adanya kontrak politik antara calon terpilih dengan fraksi di DPR. Kekhawatiran akan adanya kontrak politik ini jelas mempengaruhi persepsi publik tentang integritas dan independensi KPK. Seolah-olah, ketua KPK dikepung dan “dipenjara” oleh tuntutan fraksi di DPR tentang program-program apa yang harus dilakukan KPK menurut kontrak politik yang sudah disepakati.

Persepsi ini lumrah adanya. Mengingat di republik ini, jarang ada sebuah pemilihan yang tidak dilandasi kepentingan di dalamnya. Istilah “tidak ada  makan siang gratis” atau “ada udang di balik batu” adalah pakem yang sudah menjadi “falsafah politik” sekian lama. Pakem itu kemudian menjadi alat penekan yang kemudian digunakan oleh setiap fraksi di DPR untuk “menekan” siapa saja yang terlibat dalam proses pemilihan, termasuk KPK.

Pengalaman banyak memberikan pelajaran bagaimana proses politik di DPR telah mereduksi legitimasi sejumlah kewenangan lembaga negara. Mulai dari seleksi hakim Agung, Komisioner KPU, dan beberapa model pemilihan lain yang melibatkan DPR. Hampir kesemuanya mewarisi gejala yang sama; mandul ketika berhadapan dengan partai dan kekuasaan. 

Kembali ke KPK. sekalipun undang-undang memberikan status  “independen” kepada KPK, namun keterlibatan DPR bersama sejumlah kepentingan di dalamnya dikhawatirkan mereduksi independensi KPK. KPK dikepung kepentingan politik yang diwarisi dari proses pemilihan. KPK dikhawatirkan tidak leluasa bekerja karena berada dibawah tekanan politik.  

Selama proses pemilihan, KPK telah dikepung beragam kepentingan yang menyebar di berbagai fraksi. Setiap fraksi menekan KPK dengan tuntutannya. Mulai dari penuntasan kasus Century yang disuarakan oleh Timwas Century, serta kasus-kasus korupsi besar lainnya yang semuanya bermuara pada satu kepentingan; kekuasaan. 

Fokus

Mencermati hal tersebut, tidak ada hal lain yang bisa dilakukan KPK selain bekerja secara fokus dan menggunakan kewenangannya secara cermat. Undang-undang sudah memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyidikan dan penuntutan. Dukungan publik berada dibelakang, siap mengawal  dan siap mati untuk KPK kapan saja dengan catatan KPK bekerja sesuai koridor yang benar. Tinggal KPK yang memanfaatkan potensi tersebut untuk digunakan dalam perang melawan korupsi. Tentang siapa yang menang; antara KPK atau koruptor, kita serahkan kepada KPK dan political will pemerintah untuk mendukung agenda bersama memberantas korupsi yang telah menjatuhkan wibawa negara ini sekian lama.   

 

Dimuat di Opini Koran FAJAR, Makassar, Sabtu 10 Desember 2011

Wiwin Suwandi, S.H., M.H.

Advokat, Pegiat Tata Negara dan Antikorupsi di ACC Sulawesi

You may also like...