”Menakar” Demokrasi Minimalis
PENGANTAR
Pada suatu hari, saat rapat di badan legislasi DPR RI sekitar bulan Maret 2011, tiba-tiba handphone saya berbunyi. Pesan itu tidak langsung dibaca, karena masih serius mengikuti proses pembahasan RUU yang sedang berjalan. Setelah rapat selesai, penulis membuka pesan pendek, ternyata kawan lama, seorang aktivis HMI, Salahuddin (biasa dipangil Dino), meminta untuk menulis salah satu artikel singkat tentang demokrasi dalam struktur masyarakat lokal untuk menjadi bagian dari buku yang sedang dieditnya.
Dengan sigap penulis memencet nomornya dan menelpon balik, bahwa permintaan itu merupakan suatu kehormatan bagi saya, karena dalam rentang waktu yang lama, riset tentang demokrasi lokal sesungguhnya menjadi mimpi yang belum terlaksana. Permintaan ini merupakan bagian yang cukup penting bagi upaya untuk memulihkan nalar demokrasi sebagai virus yang ”menimpa” kita secara kolektif. Kita hanya diberi opsi tunggal, bahwa satu-satunya jalan untuk membangun peradaban adalah dengan menyukseskan seluruh syarat demokrasi liberal, padahal sejatinya demokrasi liberal tidak selalu paralel dengan perkembangan masyarakat transisional.
Saya menerima permintaan saudara Dino karena beberapa alasan: pertama, gegap gempita demokrasi liberal yang menohok aras tradisi lokalitas, mulai mengganggu kenyamanan kolektif kita sebagai bangsa, meskipun penulis belum melakukan studi secara langsung atas penerimaan masyarakat Bima pada tradisi demokrasi liberal itu. Tapi bisa dibayangkan, konflik horizontal dalam tiap episode suksesi selama 13 tahun terakhir, tidak saja menganggu kenyamanan kolektif yang terbina secara utuh dalam kurun waktu yang lama, tetapi juga meruntuhkan persaudaraan lokalitas yang tercipta dan terbentuk di jantung masyarakat Bima.
Kedua, hadirnya demokrasi liberal, menggeser secara vulgar tradisi musyawarah mufakat masyarakat Bima yang merupakan salah satu ciri khas masyarakat yang mengalami perkembangan kebudayaan. Institusi demokrasi lokal yang cukup efektif di Bima adalah ”Sarangge”, dimana Sarangge adalah merupakan tempat berkumpul beberapa keluarga dan beberapa kepala rumah tangga untuk membicarakan dan mendiskusikan berbagai masalah yang sedang mereka hadapi. Dari masalah dapur hingga politik, Sarangge menjadi tempat yang paling efektif untuk menjadi ruang diskusi bagi mereka. Inilah yang disebut dengan ”institusi demokrasi minimalis”, karena institusi demokrasi modern adalah merupakan partai politik. Eksistensi Sarangge hingga kini masih memadai sebagai institusi demokrasi minimalis itu, namun kesadaran untuk menjadikan Sarangge secara maksimal belum terlihat.
Ketiga, kecenderungan perkembangan demokrasi liberal menohok tradisi masyarakat Bima yang paling ”intim”. Etis politik dan etis kultural mulai kehilangan pijakan, karena keyakinan akan ”keampuhan” demokrasi liberal untuk menyelesaikan banyak persoalan tercipta di masyarakat. Karena itu, pertimbangan etis tidak lagi menjadi epicentrum nalar politik, sehingga demokrasi cenderung menjadi anarki. Fakta-fakta menunjukkan, bahwa masyarakat Bima sebagian bergeser dari etis kultural-nya. Tanpa merasa bersalah, pemerintah daerah menerabas hak-hak rakyat, mempecundangi hukum dan menjual ”tanah” rakyat untuk kepentingan kelas menengah dalam lingkaran kekuasaan. Kelas menengah dan kelompok intelektual yang menjadi penjaga gawang kekuasaan menekan kebawah dan menjilat ke atas. Atas nama pertambangan dan investasi dengan berselubung dibalik ”nalar demokrasi” pemerintah cenderung kehilangan akal sehat. Di sisi lain, masyarakat sipil juga tidak mau kalah dengan pemerintah. Mereka melakukan pengrusakan dan tanpa beban merusak fasilitas publik (seperti kantor camat). Akhirnya bukan keadaban yang tercipta dari ”mimpi” demokrasi liberal itu, tetapi kebiadaban. Inilah yang dikatakan oleh Hobbes, dengan homo homini lupus. Sebuah masyarakat tanpa tatanan, tanpa peradaban dan tanpa etika kolektif.
Meskipun masih banyak pertimbangan lain, maka pertimbangan itulah yang paling penting sehingga saya memenuhi pertimbangan saudara Dino, yang saya kira, anak muda ini masih memiliki optimisme untuk mendorong tradisi intelektual, di saat yang lain mulai tercerabut dari tradisi intelektual dan merambah jalan kekuasaan. meskipun tulisan dibawah ini tidak secara langsung menguji validitas konstruksi demokrasi lokal di Bima, tetapi paling tidak “perangkat” analisis transisi demokrasi ini bisa menjadi pijakan dasar bagi masyarakat sipil untuk memaknai apa itu demokrasi, bagaimana perkembangannya, pada konteks mana dia bisa berlaku, dan dalam tradisi masyarakat mana diskursus ini bisa tetap bertahan, dan bagaimana resiko dari transisi yang kita jalani.
”MENAKAR” TEORI DEMOKRASI
Membicarakan perkembangan politik modern, hampa rasanya jika tidak dilibatkan diskursus demokrasi, karena demokrasi telah menjadi darah daging bagi diskursus politik tersebut. Keberadaan demokrasi dalam arus politik yang penuh menantang dan sekaligus menjanjikan akan memberikan spirit bagi lahirnya proses partisipasi yang luas dari masyarakat, yaitu ketika demokrasi di selewengkan dari hakikat aslinya, sehingga keluar dari mainstream yang demokratis. Artinya, demokrasi dijadikan alat untuk melakukan perbuatan yang justru keluar dari preferensi demokrasi.
Kajian teoritis-konseptual tentang demokrasi mulai bergaung ketika terjadi transisi ke demokrasi yang mulai marak sejak perang dunia kedua, ketika banyak rezim otoritarian tumbang dari kursi kekuasaannya. Banyak ahli (expert) dan ilmuwan politik beralih perhatian yang semula bersifat eropasentris dan amerikasentris m
embuka mata terhadap perkembangan di Eropa Selatan kemudian beralih ke Amerika Latin dan Asia. (Gregorius Sahdan: 2004;2).
Secara de facto, demokrasi telah mendapat pengakuan dari masyarakat seluruh dunia, demokrasi merupakan satu-satunya sumber legitimasi politik yang masih bertahan dengan mengukuhkan hegemoninya sebagai konfigurasi politik yang dipertahankan dan disukai masyarakat dunia. Ia sekaligus meruntuhkan legitimasi kekuasaan – monarki sentralistik, aristokrasi turun temurun, oligarkis berdasarkan hak pilih yang terbatas dan sempit – dan kekuasaan non demokratis yang pernah mendominasi sistem perpolitikan dunia (Arbi Sanit dan Hendardi: 2005; 21).
Bertumbangnya rezim-rezim politik otoritarian di beberapa Negara Amerika Latin dibawah patung komunis dan Eropa Timur menandai arus deras perkembangan demokrasi di beberapa Negara di dunia. Itu pula menjadi alasan mengapa demokrasi menjadi virus yang mempengaruhi negara-negara berkembang (dunia ketiga) untuk di terapkan menjadi sistem politik universal. Sekalipun tidak selamanya demokrasi sepakat dengan sistem politik suatu Negara, tetapi hampir bisa dipastikan, bahwa demokrasi berubah “menyihir” Negara-negara yang pernah menerapkan sistem otoritarian tersebut untuk menerapkan demokrasi. Indonesia tidak bisa kita lepaskan dari jeratan sistem demokrasi yang berlaku universal tersebut. Dalam konteks inilah buku seorang “penyihir” intelektual dunia Francis Fukuyama, The End Of History and Last Man (1992) setahun sebelum keluarnya tesis Semuel P. Huntington dalam jurnal Foreign Affairs dengan judul The Clash Civilization (1993). Buku ini merupakan buku yang paling tidak, merupakan bentuk hegemoni intelektual yang bisa “memabukkan” setiap orang yang membacanya. Menurut Fukuyama, suatu ketika demokrasi liberal akan mengalami kemenangan atas sistem pemerintahan di dunia, karena setiap negara akan menjadikan demokrasi liberal sebagai pijakan mereka dalam menjalankan otoritas kepemimpinannya. Pada saat yang sama dia mengatakan The End Of History. Berakhirlah sejarah, katanya dengan nada optimis. Padahal Fukuyama sendiri tidak sadar, dirinya sedang digenggam oleh tesis Daniel Bell yang mengajukan The End of Ideology. Inilah yang dibantah oleh John Naisbitt dalam Global Paradoks (1994) dengan mengajukkan The End of politics. Naisbitt tidak berbicara tentang berakhirnya sejarah peradaban dengan kemenangan liberalisme Barat, tetapi ia membalikkan gagasan Fukuyama dengan mengajukan the Beginning of history, yaitu kelanjutan sejarah peradaban sebagai akibat dari kemenangan liberalisme Barat tersebut. Karena dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal tersebut, akan membentuk sejarah baru, yaitu terpecah belahnya negara- bangsa menjadi unit-unit kecil. Ia mengatakan bahwa di tengah “kampung global” (Fajar Ahmad Huseini: 2005) yang tidak kondusif disertai dengan ancaman partikularitas maka yang menguat adalah etnonasionalisme, dan setiap orang cenderung menyempitkan dirinya dalam komunitas-komunitas yang partikular. Dalam kacamata intelektual Naisbitt, semakin hari manusia semakin ingin bersatu secara jauh lebih bebas, namun pada saat yang sama mereka ingin bebas secara politik dan budaya. Maka, lanjut Naisbitt, tribalisme atau sukuisme, yaitu kesetiaan pada etnisitas, bahasa, budaya, agama dan profesi, menemukan lahan yang amat subur dan berkembang biak (Eep Saifullah Fatah:1999). Buku Fukuyama yang lain yang juga menarik adalah State-Building: Governance and World Order in the 21st Century (2004). Dalam buku ini pula Fukuyama masih sangat yakin dengan kemenangan demokrasi liberalnya. Dalam salah satu isi bukunya, ia mengatakan, “Jika melihat lebih dari 30 tahun kebelakang, tidak jelas apakah kemampuan negara (atau dalam istilah Huntington, pembangunan politik) dapat dipisahkan dari legitimasi sedemikian mudahnya. Pada akhir tahun 1980-an, Uni Soviet mulai runtuh dan kehilangan sejumlah kemampuan negara yang penting, persis karena watak diktatornya mendelegitimasi rezim tersebut di mata para warganya. Dengan kata lain, derajat pembangunan politiknya adalah suatu selubung politik (potemkin village) pada masa Huntington menulis buku Political Order. Meskipun secara historis terdapat banyak bentuk legitimasi, di dunia sekarang ini satu-satunya sumber legitimasi yang serius adalah demokrasi”.
Realitas yang diperdebatkan dalam konteks demokrasi global dan terjadinya proses afirmasi masyarakat di dalam memainkan peran-peran globalnya, juga pernah diungkapkan oleh sosiolog kondang dunia, Neil J. Smelser, ketika berpidato menutup kongres sosiologi se-Dunia di Jerman pada penghujung abad XX yang lalu. Ia mengatakan bahwa semakin sempit Dunia akibat arus informasi dan komunikasi, dan semakin tercitranya tatanan global, maka masyarakat semakin mengecil, primordialisme semakin kental, rasa egoisme semakin kuat, sukuisme semakin menemukan identitasnya dan agama semakin curiga pada realitas global, karena cenderung mereduksi nilai-nilai, membongkar tradisi lokalitas, merobohkan keyakinan, sehingga identitas lokalitas mengalami konsolidasi”. Pada saat yang sama watak demokratis mengalami pereduksian makna dan identitas. Demokrasi berhenti menjadi retorika kekuasaan dan demokrasi berhenti menjadi nafsu yang terpendam. Yang hadir adalah kecurigaan, ketakutan, frustasi dan tidak bisa menimbulkan sikap tasamuh, padahal dalam masyarakat yang multikultural, sikap toleransi (tasamuh) adalah sikap yang mesti menjadi bagian dari hidup bermasyarakat.
Ada dua faktor yang mendorong meluasnya demokrasi di era global, yakni sejumlah perkembangan domestik dan global. Faktor pertama bersumber dari tekanan masyarakat yang sudah diabaikan oleh Negara. Faktor kedua dipicu oleh tiga perkembangan penting yang terjadi di tingkat global, yaitu; runtuhnya Tembok Berlin dan hancurnya rezim komunis di Eropa Timur; tekanan diplomatik dan ekonomi dari negara-negara Barat dan lembaga-lembaga internasional (NATO, IMF, Bank Dunia, dsb); dan terciptanya iklim demokrasi yang di dukung oleh revolusi komunikasi (Jeff Haynes; 2000, 130-133). Hancurnya rezim-rezim komunis yang ditandai dengan proses awal bagi konsolidasi demokrasi khususnya Negara-negara Eropa Timur tersebut telah banyak membawa “berkah” bagi geliat demokratisasi. Pada saat yang sama, keruntuhan rezim komunis itu sebenarnya tidak bisa di pisahkan dari proyek kapitalisme Negara-negara raksasa terutama mereka yang ingin menciptakan deregulasi dan menghindari proteksi perusahaan Negara oleh Negara-negara yang bersangkutan, sehingga modal-modal kapitalis di Negara maju “seenaknya” bisa mengendalikan proses-proses ekonomi. Maka untuk bisa melakukan itu, harus diciptakan terlebih dahulu kondisi awal untuk menaklukan Negara, yaitu menerapkan demokratisasi atau paling tidak memberikan keyakinan kepada Negara-negara berkembang agar menciptakan sistem yang demokratis. Dengan sistem yang demokratis itu, mereka bisa memprovokasi rakyat agar diciptakan ruang yang bebas untuk melaksanakan prose-proses ekonomi yang bebas pula. Lahirlah hukum “tangan besi ekonomi”, siapa yang kuat, ialah yang menang.
Dari sinilah konsep demokrasi menjadi sebuah narasi penting dalam membangun negara-bangsa modern. Sebagai konsep, demokrasi adalah merupakan diskursus yang telah mampu menyihir manusia dari proses kesejarahan politik. Demokrasi bukan hanya sekedar teori “sihir” tetapi juga telah menjadi bagian dari darah daging dinamika politik yang ada. Menurut David Held dalam Models of Democracy (1987:2) demokrasi sering diartikan sebagai bentuk pemerintahan oleh rakyat (democratial). Oleh karena itu, demokrasi menghendaki rakyat sebagai pemegang otoritas tertinggi dari sebuah proses politik yang berjalan dalam masyarakat, sehingga segala keputusan politik yang ada harus di sandarkan kepada kepentingan rakyat. Rakyat adalah merupakan fakta politik yang harus menjadi pijakan bagi bagi penguasa dalam mengambil kebijakan politik. Tetapi demokrasi adalah merupakan cita ideal, yaitu sebuah teori politik. Maka demokrasi adalah teori yang menjadi cita ideal. Sejalan dengan itu, menurut Jean Francoisn Revel dalam Democracy Against Itself; The Future of The Democracy Impulse (1993:7) bahwa demokrasi sudah menjadi suatu cita-cita dalam pikiran rakyat dan realitas praktis politik.
Tetapi dalam kenyataannya, demokrasi selalu berbeda dengan cita ideal yang merupakan nalar filosofis politik, karena realitas politik adalah merupakan tafsir politik dari cita ideal. Dalam kaitannya dengan pendekatan prosedur dalam demokrasi, Schumpeter dalam Capitalism, Socialism and Democracy (1987: 269) menyatakan bahwa “metode demokratis” adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat. Artinya, demokrasi itu adalah merupakan proses, dan dalam proses itu ada mekanisme yang harus dilalui untuk memenuhi pra syarat terbentuknya demokrasi. Yang membuat mekanisme dalam konteks ini adalah lembaga-lembaga politik yang dibentuk secara demokratis dan membuat mekanisme demokrasi dengan cara-cara yang demokratis. Kekuasaan yang merupakan bentuk partisipasi dalam demokrasi adalah kekuasaan yang diperoleh dengan mengikuti proses yang kompetitif dengan mengikuti aturan-aturan yang dibuat secara demokratis tadi. Seorang penguasa yang duduk atau memegang lembaga kenegaraan dalam Negara demokrasi adalah penguasa yang telah terseleksi secara ketat melalui kompetisi demokratis, sehingga keberadaannya sebagai pemegang kekuasaan adalah bentuk representasi demokrasi. Berbeda dengan logika politik yang otoritarian, dimana penguasa politik kebanyakan di tunjuk oleh orang-orang tertentu untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
Konsep ini memberikan definisi yang jelas tentang demokrasi pada term sebagai “kehendak rakyat” (the will of the people) (sumber) dan “kebaikan bersama” (the common good), dengan merujuk pada satu metode demokrasi yaitu prosedur bagi kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan, melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat (Huntington: 2001; 4-5, Arbi Sanit dan Hendardi: 2005; 22). Kemudian konsep dan metode ini (definisi-definisi demokrasi) mengakhiri pertentangan antara kaum rasionalis, utopis dan idealistis di satu kubu dan kaum empiris, deskriptif dan institusional di kubu lainnya (Arbi Sanit dan Hendardi: 2005; 22).
Terhadap definisi dari Schumpeter, Huntington dalam Gelombang Demokratisasi Ketiga (1995: 4-5) menyatakan: “Perdebatan yang terjadi di kalangan teoritikus demokrasi akhirnya memunculkan definisi Schumpeterian ini sebagai pemenang. Semakin banyak teoritikus menarik garis perbedaan yang tajam antara definisi-definisi demokrasi yang rasionalistis, utopis, idealistis di satu pihak, dengan definisi-definisi demokrasi yang empiris, deskriptif, institusional, dan prosedural di pihak lain, dan yang menyimpulkan bahwa hanya definisi dari tipe yang disebut terakhir yang memberikan ketepatan analisis dan acuan empiris yang membuat konsep itu bermanfaat.” Schumputer (1947:269) memberi makna demokrasi yang relatif lebih realistis. Sebuah sistem politik disebut demokrasi sejauh para pengambil keputusan kolektifnya yang paling kuat dipilih melalui pemilu periodik, dimana para calon bebas bersaing untuk merebut suara dan di mana hampir semua orang dewasa berhak memilih. Dari sini metode demokratis dapat dilakukan dalam arti suatu rencana institutional (pengambilan keputusan) untuk mencapai keputusan politis dilakukan oleh individu yang memperoleh kekuasaan tadi. Dengan demikian maka demokrasi mengandung tiga dimensi makna yang saling terkait yaitu persaingan, partisipasi (Dahl 1971: 4-9), dan kebebasan. Bagi Indonesia, dimana peran parpol belum berfungsi sepenuhnya maka makna kebebasan, persaingan dan partisipasi belum dapat dilakukan sebagaimana didefinisikan oleh Schumputer. Yang terjadi di pedesaan (misalkan) adalah suatu demokrasi elitis yang baru menyentuh para elite pemegang kekuasaan baik formal maupun non formal (Suwondo: 1999).
Literatur politik modern (Barat) biasanya menyebut beberapa ciri pokok sebuah sistem yang demokratis. Diantaranya: (1) partisipasi politik yang luas; (2) kompetisi politik yang sehat; (3) sirkulasi kekuasaan yang terjaga, terkelola, dan berkala, terutama melalui proses pemilihan umum; (4) pengawasan terhadap kekuasaan yang efektif; (5) diakuinya kehendak mayoritas; dan (6) adanya tatakrama politik (fatsoen) yang disepakati dalam masyarakat (Eep Saifullah Fattah: 2000; xxxv-xxxvi). Menurut Fattah, secara umum, sistem yang demokratis pada hakikatnya ditandai oleh berjalannya tiga prinsip dasar. Pertama, tegaknya etika dan moralitas politik sebagai landasan kerja system politik, ekonomi dan social. Kedua, tegaknya prinsip konstitusionalisme, yakni tegaknya supremasi hukum dan adanya kepatuhan pada hukum dalam masyarakat. Ketiga, digunakannya mekanisme akuntabilitas atau pertanggungjawaban publik, yakni mekanisme yang memosisikan semua pemegang jabatan publik, sebagai pemegang mandat atau amanat dari rakyat.
Dalam kaitannya dengan etika, demokrasi menurut Nurtjahjo (2006; 144)., adalah perangkat politik dan etika yang berkembang secara dinamis dalam ruang dan-waktu sejarah. Di samping adanya ragam pendapat dan adaptasi lokal dari demokrasi, konsep demokrasi sendiri diyakini memiliki prinsip-prinsip universal sebagai ciri eksistensinya. Prinsip-prinsip eksistensial dari demokrasi itu adalah adanya: (1) Kebebasan; (2) Kesamaan; (3) Kedaulatan Suara Mayoritas, sebagai penentu suara demokrasi itu. Prinsip kebebasan dan kesamaan beserta derivatifnya dilaksanakan melalui kalkulasi kuantitatif melalui metode demokrasi, yaitu ‘majority principle’ (voting). Salah satu derivatif penting dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan suara mayoritas (rakyat) adalah dilaksanakannya pemilihan umum (Pemilu). Derivatif lain yang diinginkan dari pelaksanaan demokrasi ini adalah munculnya komitmen untuk suatu proses peralihan kekuasaan yang damai (tidak berdarah). Namun, komitmen ini tidak selalu hadir dalam praksis demokrasi.
Menelusuri kembali gagasan Fattah, bahwa demokrasi bukanlah system mudah dan murah. Salah satu sebabnya, demokrasi merupakan sistem yang dipenuhi oleh banyak paradoks (dua hal bertentangan yang mesti diwujudkan dalam waktu yang bersamaan). Beberapa paradoks yang ada dalam demokrasi adalah (1) kebebasan dan keteraturan atau keleluasaan dan kontrol; (2) kompetisi dan persamaan; (3) pengawasan yang efektif dan pemerintahan yang kuat; (4) dinamika dan stabilitas; serta (5) kesejahteraan dan keadilan.
Menurut Wodrow Wilson (Perveen Saukat Ali: 1978; 258-259) demokrasi akan menghilangkan lembaga-lembaga tiran yang ada dimasa lalu, dan menawarkan di dalamnya kekuatan imperative (keharusan) pemikiran popular (umum/khalayak) dan lembaga-lembaga kongkret suatu perwakilan popular, dan mereka menjanjikan untuk mereduksi (menyederhanakan) politik menjadi suatu bentuk tunggal dengan menggantikan seluruh lembaga dan kekuatan memerintah lainnya dengan sebuah perwakilan yang demokratis.
Dalam demokrasi, suara mayoritas adalah merupakan suatu syarat bagi terbentuknya sistem politik yang mencerminkan demokrasi. Oleh karena itu menurut Abu Daud Busroh (1994; 57) bahwa prinsip mayoritas (Majority Principle) paling sedikit terdiri dari tiga tipe: (1) mayoritas absolute (absollut majority), yaitu setengah jumlah anggota ditambah satu atau 50 plus satu; (2) mayoritas biasa (simple majority), yaitu apabila keputusan di setujui oleh sebanyak-banyaknya suara sehingga tampak perbedaan antara mayoritas dan minoritas; (3) mayoritas bersyarat (qualified majority) yang menetapkan keputusan berdasarkan perhitungan tertentu, sehingga ¾ atau 2/3 suara.
Model sistem mayoritasisme ini, menjadi model yang paten dalam sistem demokrasi, karena inti dari sebuah sistem yang demokratis adalah suara mayoritas. Tanpa suara mayoritas sulit dibayangkan sebuah rezim bisa dikatakan demokratis. Karena semua realitas politik yang muncul belakangan ini, memang menghendaki kekuasaan lahir dari suara mayoritas, maka praktis pada saat yang sama juga diterapkan demokratisasi politik. Dalam konteks inilah, minoritas harus menginisiasi perubahan dengan mengikuti kehendak mayoritas. Karena inisiator perubahan dalam sistem yang demokratis adalah mayoritas, maka sudah menjadi keharusan bagi minoritas untuk menginisiasi perubahan yang dikehendaki oleh suara mayoritas.
Corry dan Abraham (Perveen Saukat Ali: 1978) menyusun unsur-unsur tradisi demokrasi sebagai berikut (i) Respect for individual personality, (ii) Individual freedom, (iii) Belief in rationality, (iv) Equality, (v) Justice, (vi) Rule of Law (vii) Constitutinalism. Jack Lively (Perveen Saukat Ali: 1978) menyebut tiga kriteria kadar kedemokratisasian sebuah Negara: (1) sejauh mana semua kelompok utama terlibat dalam proses-proses pengambilan keputusan, (2) sejauh mana keputusan pemerintah berada dibawah kontrol masyarakat, (3) sejauh mana warga Negara biasa terlibat dalam administrasi umum (Nurtjahjo: 2006; 73).
Dialektika diskursus akan muncul jika ada penarikan garis pemisah antara demokrasi secara empirik dan demokrasi secara ideal. Kalau kita banyak melihat pada gagasan Schumpeter sebagai pijakan dasar kita dalam melakukan tindakan dengan mengatakan bahwa tindakan itu adalah merupakan bagian dari tindakan yang dekat dengan nalar demokrasi, maka nalar demokrasi apapun yang lahir akan selalu di hegemoni oleh nalar berpikir Schumpeterian. Karena legitimasi individu dalam menempati ruang institusi demokrasi akan di ukur dari keputusan politik dari lembaga-lembaga demokrasi. Maka keberadaan lembaga-lembaga demokrasi sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari institusi kemasyarakatan, yaitu masyarakat sebagai entitas yang harus bermain pada wilayah-wilayah penting dan menentukan dalam pengambilan keputusan secara demokratis. Sikap politik yang demokratis adalah sikap politik yang memberikan makna bagi proses konsolidasi demokrasi, sehingga proses konsolidasi demokrasi lebih di arahkan pada terbentuknya karakter demokrasi yang sesungguhnya. Legitimasi politik yang mengarah kepada cara berpikir demokratis menurut Schumpeterian adalah legitimasi kelembagaan, yaitu bagaimana lembaga-lembaga politik yang dibentuk secara demokratis mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan politik yang berpihak kepada masyarakat, tanpa harus melihat bagaimana partisipasi masyarakat setelah terpilihnya orang-orang yang menduduki lembaga demokratis tersebut. Karena partispasi seringkali diartikan sebagai keterlibatan rakyat dalam proses-proses hajatan demokrasi, seperti Pemilu, padahal pendefinisian seperti itu adalah menyesatkan, bahkan dapat menggiring demokrasi itu untuk dimanfaatkan agar bisa melegitimasi Pemilu, setelah Pemilu selesai, maka partsipasi dianggap selesai. Padahal, partipasi itu langgeng, sinergis, dan tidak bersifat laten.
Nurtjahjo (2006; 83) menyebutkan adanya dua klasifikasi dari adanya esensi demokrasi. Klasifikasi pertama yang dapat kita cerna adalah bahwa demokrasi dapat dimasukkan ke dalam konteks Negara maupun yang bukan dalam konteks Negara. Selanjutnya klasifikasi kedua, demokrasi yang dicerna sebagai ide atau semangat (spirit) yang membawa nilai-nilai pandangan hidup , way of life atau weltaunschauung, dan yang bukan hanya sebagai semangat tetapi sebagai proses pelembagaan tatanan kekuasaan yang rasional, dan efektif dikontrol oleh rakyat.
Rumusan lainnya yang selaras dengan definisi Schumpeterian adalah rumusan Robert A. Dahl dalam Poliarchy, Participation and Opposition (1997:2) yang menggunakan istilah “poliarki” (polyarchy) untuk menyebut demokrasi. Menurut Dahl, ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus-menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya. Tatanan politik seperti itu bisa digambarkan dengan memakai dua dimensi teoritik, yaitu (1) seberapa tinggi tingkat kontestasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan; dan (2) seberapa banyak warga negara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu. Berdasarkan dua dimensi itu, Dahl membuat tipologi empat sistem politik: “hegemoni tertutup”, “oligarki kompetitif”, “hegemoni inklusif”, dan “poliarki”.
Tatanan politik yang akan mampu memenuhi preferensi warga masyarakat adalah tatanan politik yang memainkan peran-peran politik signifikan, yaitu tatanan politik yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk mengikuti proses-proses demokratisasi yang berlangsung. Selain kompetisi, dalam demokrasi juga harus membuka peluang bagi mereka yang disebut sebagai oposisi, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menempatkan diri sebagai oposan dalam struktur kelembagaan politik. Keberadaan oposisi adalah merupakan syarat terbentuknya sebuah negara demokrasi yang lebih baik sekaligus sebagai salah satu ciri sebuah negara demokrasi. Tanpa keberadaan oposisi sulit untuk dbayangkan bagaimana proses politik mampu bertindak secara demokratis. Sikap politik yang demokratis adalah sikap politik yang membiarkan oposisi tumbuh subur sebagai penyeimbang negara, karena tanpa ada balance dari oposisi, negara biasanya lupa diri dalam memainkan peran-peran politiknya. Kemungkinan-kemungkinan hadirnya oposisi dalam memainkan peran-peran politik adalah merupakan bentuk partisipasi, karena partisipasi yang langgeng dan sinergis hanya terbentuk dengan memberikan ruang gerak bagi oposisi ini. Kontestasi bisa terjadi hanya dalam “pesta pora” demokrasi, tetapi kontestasi yang langgeng dan sinergis akan terbentuk menjadi watak jika negara memberikan ruang gerak untuk menduduki lembaga-lembaga politik yang bukan hanya berafiliasi dengan negara, tetapi juga yang bertentangan dengan ideologi negara. Kontestan dalam negara demokrasi bukan hanya terjadi dengan membludaknya massa yang tidak sadar pada saat kompetisi Pemilu, tetapi kontestan yang harus di tumbuhkan adalah kontestan yang memahami setiap perkembangan politik kenegaraan. Pada saat yang sama, negara membiarkan kontestan ini untuk memberikan masukan, mengkritik, dan sekaligus menuntut ketidakadilan dari penguasa negara terhadap mereka. Karena negara yang anti kritik adalah yang negara otiriter, yaitu negara tidak memberikan ruang gerak bagi gerakan oposisi.
Dalam menilai model keputusan yang demokratis, diperlukan tahapan-tahapan atau paling tidak diperlukan proses-proses sosial yang muncul. Bahkan Aidul Fitriciada Ashari (2000: 59-77) mengatakan bahwa keputusan yang demokratis mendasarkan diri pada tahap-tahap perkembangan masyarakat, yaitu sebagai berikut; (1) sistem konsensus, yaitu setiap orang harus menyetujui suatu keputusan sebelum keputusan itu dilakukan. Jadi, sistem ini menghendaki suatu keputusan secara bulat. Sistem ini berkecenderungan elitis, otoritarian, oligarkis, dan dapat melahirkan bentuk diktator. Umumnya berlaku pada masyarakat fasis dan sosialis. (2) Sistem ganda atau bergilir. Sistem ini ditemukan pada bentuk demokrasi-ganda (dual democracy) yang ditandai dengan adanya perwakilan secara bergiliran dari dua kelompok besar keluarga atau klan. Sistem ini menganut sistem dwi partai dan tidak didasarkan atas pemilihan umum melainkan pergiliran kekuasaan belaka. Umumnya berlaku pada masyaakat sederhana/tradisional. (3) Sistem mayoritas. Sistem ini mengambil keputusan melalui pemilihan bebas menentukkan suara mayoritas. Sistem ini merupakan konsekuensi logis dari berlakunya sistem perwakilan dalam demokrasi modern. Dalam pengambilan keputusan ini, rasionalisasi atas suatu kebenaran dan keadilan setelah melalui dialog atau discourse dapat dinyatakan dalam bentuk pemungutan suara (voting) (Nurtjahjo: 2006; 69).
Robert A. Dahl juga menyatakan bahwa untuk menjamin agar pemerintah berperilaku demokratis, harus ada kesempatan yang diberikan kepada rakyat untuk: (1) merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri; (2) memberitahukan perihal preferensinya itu kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif; dan (3) mengusahakan agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak didiskriminasikan berdasar isi atau asal-usulnya. Kesempatan itu hanya mungkin tersedia kalau lembaga-lembaga dalam masyarakat bisa menjamin adanya delapan kondisi, yaitu: (1) kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi; (2) kebebasan untuk mengungkapkan pendapat; (3) hak untuk memilih dalam pemilihan umum; (4) hak untuk menduduki jabatan publik; (5) hak para pemimpin untuk bersaing memperoleh dukungan dan suara; (6) tersedianya sumber-sumber informasi alternatif; (7) terselenggaranya pemilihan umum yang bebas dan jujur; dan (8) adanya lembaga-lembaga negara yang menjamin agar kebijaksanaan publik tergantung pada suara dalam pemilihan umum dan pada cara-cara penyampaian preferensi yang lain. Sedangkan selanjutnya Robert Dahl (1971:2) mengatakan bahwa suatu sistem politik demokrasi adalah suatu sistem yang benar-benar atau hampir mutlak bertanggung jawab kepada semua warga negaranya (accountability).
Bukan hanya Dahl yang membuat kategorisasi seperti itu, tetapi hampir semua pengamat politik juga memberikan pemaknaan yang sama terhadap peran-peran kelembagaan politik dalam mewujudkan kepentingan demokrasi. Artinya pemaknaan untuk meneguhkan keberadaan demokrasi menjadi penting ketika syarat-syarat itu terpenuhi. Akuntabilitas publik dalam demokrasi itu diutamakan supaya proses demokratisasi seperti Pemilu bisa lebih terbuka. Keputusan-keputusan politik penting harus diketahui oleh rakyat apalagi menyangkut kepentingan rakyat banyak, sehingga rakyat bukan sebagai korban dari kebijakan tersebut. Inilah yang disebut sebagai timbal-balik kepentingan antara arus politik di tingkat bawah dengan arus politik di tingkat yang lebih tinggi yaitu dengan penguasa negara.
Frans Magnis Suseno (1995; 58) menyebutkan bahwa ada lima ciri hakiki dari negara demokratis, yaitu; (1) negara hukum, (2) pemerintah dibawah kontrol masyarakat, (3) pemilihan umum yang bebas, (4) Prinsip mayoritas, (5) adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis. Tipe Suseno dalam menempatkan kategorisasi ciri negara demokrasi tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh sejumlah parameter politik yang berkembang dalam kontek ke-indonesiaan. Sikap pemerintah yang tidak menghargai hukum dan kompetisi politik yang tidak adil yang selalu memenangkan negara adalah bentuk dari pemasungan politik rezim yang tidak menghendaki adanya pesaing dalam memainkan peran-peran politik mereka yang signifikan.
Larry Diamond (1999) menjelaskan tesis ilmiah dari demokrasi liberal, secara gamblang berhasil mendedah dua point pokok; pertama, sangat menolak kehadiran kekuasaan militer maupun aktor-aktor politik lain yang secara langsung maupun tidak langsung tidak memiliki akuntabilitas kepada pemilih. Kedua, selain akuntabilitas vertikal para penguasa kepada rakyat (yang terutama dijamin lewat pemilu), demokrasi liberal menghendaki akuntabilitas secara horizontal diantaranya para pemegang jabatan, yang membatasi kekuasaan eksekutif dan juga melindungi konstitusionalisme dan legalitas dan proses pertimbangan. Kualitas eksplanatif dari pada akuntabilitas kekuasaan, maupun formal konstitusionalisme bisa di telisik dari konfigurasi rezim; tentang hal ini kita dapat mereduksi dari konstruksi tesis ilmiah (politik demokrasi liberal) Richard L. Skar, konsep akuntabilitas lateral, atau konstitusional itu, dalam sistem developmental democracy (Richard L. Skar: 1987; 686-714, Arbi Sanit dan Hendardi: 2005; 29).
Sistem yang demokratis ditandai oleh sikap tanggap negara (responsive) terhadap perferensi warganya. Respons tersebut mensyaratkan warga negara harus punya peluang untuk (1) merumuskan preferensi mereka, (2) memberitahukan preferensinya pada warga lain dan pemerintah lewat aksi individu maupun kolektif, (3) memperimbangkan preferensi tersebut dalam tata aturan pemerintah (Dahl: 1971; 2). Tugas negara sebagai regulator adalah membuat aturan yang memberi perlindungan bagi warga negara, dan perlindungan itu mencerminkan sikap akomodasi negara terhadap warganya. Maka negara harus memahami dan mengapresiasi kepentingan-kepentingan dari warganya, dengan membuka ruang partisipaif seluas mungkin. Pada saat yang sama, komunitas-komunitas masyarakat yang sadar ingin menyalurkan hak-hak politiknya harus dibiarkan berjalan secara fair, selama tidak mengganggu kepentingan pihak lain. Oleh karena itu, regulasi-regulasi yang lahir adalah hasil konsensus mayoritasisme.
Sargent (1986: 44) mengatakan bahwa demokrasi mensyaratkan adanya keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan, persamaan hak antara warga negara, kebebasan dan kemerdekaan yang diakui dan di pakai oleh para warga negara, sistem perwakilan rakyat serta sistem pemilihan yang menjamin di hormatinya prinsip mayoritas. Arbi Sanit dan Hendardi (2005; 23) mengatakan, kebangkitan demokrasi sedang memposisikan eksistensi manusia dalam tataran yang cukup manusiawi di bandingkan kondisi, kondisi pra demokrasi atau transisi negara pasca kolonial; bahwa kita telah hidup dalam demokrasi dalam maknanya yang luas. Pemaknaan leksikonnya, “demokrasi” adalah “kekuasaan di tangan rakyat”, maka “demokratisasi” walaupun istilah itu mencakup hal-hal diluar politik mempunyai pengertian bahwa sturktur yang secara hirarkis sedang ambruk, sistem-sistem yang tertutup mulai terbuka dan tekanan massa menjadi mesin utama perubahan sosial. Demokrasi telah berjalan lebih dari sekadar merupakan bentuk pemerintahan, menjadi suatu jalan hidup (a way of life) (Fareed Zakaria: 2004; 1, Arbi Sanit dan Hendardi: 2005; 23).
Demokrasi dalam konteks ini lebih banyak dimaknai sebagai kekuasaan ditangan rakyat, karena tuntutan utama dari sebuah sistem demoratis adalah keterlibata rakyat secara langsung dalam proses-proses demokrasi. Perubahan-perubahan yang di gerakkan secara serempak muncul sebagai sebuah kenyataan politik, bahwa demokrasi merupakan alternatif bagi kungkungan rezim politik otoritarian. Maka kompetisi dalam pemilihan adalah bentuk dari tuntutan pemakaan demokrasi tersebut.
Yang terpenting dari sistem mayoritasisme dalam demokrasi adalah; (1) Kebebasan berkespresi dan menyampaikan pendapat. Publik sudah mafhum bahwa pra syarat terpenting dari sebuah rezim yang demokratis adalah di ukur dari sejauh mana hak-hak politik rakyat tidak dipasung. Jika sebuah negara sudah tidak menghargai lagi pendapat masyarakat dan mengutuk kritikan yang dilakukan oleh rakyatnya, maka negara itu sudah bisa dipastikan anti demokratis, karena kebebasan itu merupakan upaya terpenting dari pengembangan demokrasi. Sebuah negara demokratis, hanya akan memberikan kebebasan kepada rakyatnya dengan seluas-luasnya selama kebebasan itu masih berada di bawah koridor hukum yang di bangun secara demokratis. Tidak bisa di jadikan patokan bahwa rezim yang demokratis, untuk menegakkan demokratisasi, menggunakan instrumen-instrumen politik yang konservatif/otodoks. Menurut Nurtjahjo (2006; 78) kebebasan dalam konteks politik dipahami sebagai kemampuan untuk memilih secara bebas. Hak untuk menentukkan pilihan sendiri secara bebas (self determination priniple) dan eliminasi terhadap pemaksaan kehendak dari banyak kemungkinan pilihan yang ada menjadi esensial dalam konteks politik yang dianggap demokratis. Disini kedudukan kebebasan individu menjadi signifikan terhadap kondisi politik yang dianggap paling demokratis. Kebebasan yang sama didalam hukum, kebebasan sipil dan politik dan terlepas dari gangguan “luar” ini menjadi ciri dan prinsip dari teori demokrasi modern. (2) Akuntabilitas publik, yaitu pertanggungjawaban penguasa terhadap sikap-sikap politik yang dijalankannya. Kebijakan-kebijakan politik yang diambil harus mampu diperrtanggungjawabkan kepada publik, karena dengan menekankan tanggung jawab kepada publik tersebut pemerintah yang berkuasa sebagai alat negara mampu meneguhkan keinginan demokrasi. (3) Transparansi. Dalam negara demokrasi, transparansi adalah persoalan yang paling signifikan. Karena menyangkut kebolehan masyarakat untuk mendengar dan melihat arah perjalanan politik bangsanya yang dikendarai oleh pemimpin yang telah mereka pilih. Keterbukaan ini sangat penting untuk menghindari penghkianatan pemerintah terhadap hak-hak rakyat dan rakyat dapat mengukur sejauh mana perjalanan politik kebangsaan berpihak kepada mereka. (4) Prinsip mayoritas harus tetap di junjung tinggi. Setiap keputusan-keputusan politik yang lahir harus menghargai hak-hak mayoritas. Tuntutan-tuntutan politik masyarakat yang merupakan representasi mayoritas harus di hargai dan di jalankan, karena yang utama dan pertama dalam sebuah negara demokrasi itu adalah mayoritas, yaitu kehendak masyarakat harus menjadi referensi dalam menjalankan roda pemerintahan sebuah negara. (5) Rezim politik yang demokratis itu selalu melakukan Pemilihan Umum (Pemilu) secara rutin dengan tenggang waktu yang telah ditentukkan. Pemilu ini dilakukan adalah untuk menunjukan bahwa rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka secara adil dan bertanggung jawab. Pemimpin yang lahir itu harus disepakati oleh rakyat dan kesepakatan itu tercermin dari pilihan-pilihan politik yang diambil oleh rakyat tersebut. (6) Partisipasi. Kalau Pemilu adalah merupakan sarana untuk memilih pemimpin, maka Pemilu juga adalah parameter dalam sebuah negara demokrasi untuk menilai sejauh mana partisipasi masyarakat menghendaki kepemimpinan seseorang. Selain itu, partisipasi ini juga ditentukkan oleh sejauh mana ruang publik dibuka selebar-lebarnya agar rakyat dapat terlibat secara langsung dalam upaya menumbuhkan demokratisasi. (7) Persamaan. Didalam negara demokrasi, semua warga negara dianggap sama, dan kedudukan sama saja di hadapan hukum. Tidak ada yang membedkan antara rakyat dan penguasa, antara raja dan hamba. Setiap yang melanggar aturan main yang telah dibuat secara demokratis, maka harus sama-sama diseret ke hukum dan masing-masing diberi hak yang sama dan di bebankan kewajiban yang sama pula. (8) Adanya lembaga pengontrol negara yang berdiiri independen diluar dari strukrut negara. Lembaga pengontrol negara ini diharapkan untuk melakukan gebrakan-gebrakan politik dalam rangka mendidik rakyat disatu sisi dan melawan hegemoni negara pada sisi yang lain. (9) Elemen civil society bisa tumbuh dengan subur. Yang disebut sebagai elemen civil society dalam kontek ini adalah simpul-simpul demokrasi yang hidup secara independen tanpa ketergantungan dalam negara. Menurut sebagaian ahli, bahwa yang dimaksud dengan elemn civil society itu adalah mereka kaum menengah keatas yang memiliki daya kritis dan tidak memiliki kepentingan apa-apa dalam melakukan gerakan penyadaran. (10) Sirkulasi kepemimpinan yang berjalan secara rutin. Negara demokrasi menghendaki lahirnya apa yang kemudian proses re generasi kepemimpinan. Kepemimpinan di tangan individu tunggal yang di wariskan secara turun-temurun harus dikutuk, karena hanya akan menciptakan korporatisme negara, sehingga bisa menciptakan sebuah negara otoriter. Sirkulasi kepemimpinan dengan pembatasan-pembatasan tertentu dalam negara demokrasi adalah merupakan cara efektif untuk menghindari terbentuknya watak otoriterisme, karena tanpa sirkulasi, kemungkinan resistensi terciptanya rezim otokratik sangat mungkin terbentuk. Karena terbentuknya watak otokratis itu di sebabkan oleh proses demokrasi yang tidak berjalan dan proses terbentuknya formasi kepemimpinan yang tidak ingin diganti.
Demokasi sebagai gagasan (ide) dan sebagai pelembagaan kekuasaan politik yang rasional telah nyata menawarkan suatu metode untuk menyingkirkan keragu-raguan dalam pengambilan keputusan politik (Lorens Bagus: 1996; 156, Nurtjahjo: 2006; 67). Dalam ide demokrasi, keputusan politik yang pasti hanya dapat diukur lewat prinsp suara terbanyak (majority principle) (Nurtjahjo: 2006; 67). Robert Dahl dan Larry Diamond dalam Developing Democracy Toward Consolidation (1999:221) menilai demokrasi Shcumpeterian. ia mengatakan bahwa ciri penting dari demokrasi Shcumpeterian adalah penekanannya pada apa yang disebut sebagai electoral democracy.
Peter Bachrach (1980:24-98) menunjukkan bahwa tujuan tertinggi dari demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang memaksimalkan perkembangan diri setiap individu di mana kebebasan mutlak dijamin. Samuel P. Huntington dalam The Third Wave: Democratization in The Late Twentieth Century, yang merupakan salah satu karya monumentalnya, membuat peta tentang gelombang demokratisasi di seluruh dunia sampai menjelang akhir abad ke-20. Peta itu memuat tiga gelombang besar demokratisasi dan dua gelombang balik demokratisasi. Indonesia dipetakan larut dalam gelombang demokratisasi kedua bersama negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka dari penjajahan kolonial. Tapi itu tidak bertahan lama, sebab kemudian Huntington memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang tersapu gelombang balik demokratisasi kedua. Artinya ia menjadi salah satu negara yang tidak demokratis, atau paling tidak menghilang dari pembicaraan tentang negara demokratis. (Saidiman:: 28/03/2005). Penempatan Huntington terhadap Indonesia sebagai negara yang anti demokratis tersebut lebih di sebabkan karena faksionalisme politik yang di ciptakan oleh rezim yang bekuasa, sehingga pada saat yang sama pemaknaan sebuah rezim politk untuk memainkan peran-peran signifikannya menjadi sesuatu hal yang penting.
Hendri B Mayo mengatakan bahwa, “sistem politik yang demokratis adalah sistem yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukkan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik”.
”MENAKAR” TRANSISI DEMOKRASI.
Bertumbangnya rezim-rezim sipil dan militer yang otoriter dan menggeliat tumbuhnya demokratisasi secara global menurut Eep Saifulah Fatah (1999) adalah sebuah musim semi demokratisasi. Fatah juga meminjam ramalan Zbigniew Brzezinski mengenai kedatangan musim semi demokrasi dengan menggambarkan kejatuhan komunisme dalam The Grand failure; The Bitrh and Death Communism in The Twentieth Century (1989). Kemudian Karl Graf Ballestrem juga mencoba merekonstruksi kehadiran musim semi demokrasi dengan menunjukkan kegagalan “totalitarianisme di Eropa Timur”. Ballestrem membedah struktur-struktur paradoksal dan mengundang tanda tanya dalam rezim-rezim totaliter. Tetapi yang paling menarik analisis Fatah adalah mengenai pertautan antara Samuel P. Huntington dengan The Third wave-nya (1991), Robert Dahl dalam Democracy and Its Critics (1989) dan Francis Fukuyama dalam The End of History and the last Man (1992) serta John Naisbit dalam global Paradoks (1994).
Huntington menyebut sejarah dramatis terjadinya episode demokratisasi di Negara-negara berkembang – Argentina, Filipina, Cile, Amerika Tengah, Nigeria, Thailand, Afrika Selatan dan Columbia sebagai “gelombang demokratisasi ketiga”. Dahl menyebutnya dalam istilah lain, yaitu “transformasi demokrasi ketiga”. Berbagai Negara berdaulat kata Dahl, beriringan menuju “demokrasi yang lebih maju”. Yaitu demokrasi yang lebih menghargai perbedaan dari pada memaksakan persamaan. Sedangkan Fukuyama, lanjut Fatah, menafsirkan secara optimistik perubahan sejarah diatas. Fukuyamamenggambarkan menyebarnya virus demokrasi keseluruh pelosok bumi dan berkibarnya tanda-tanda kemenangan demokrasi liberal. Menurut Fukuyama terbentuklah “abad demokrasi”. Sejarah peradaban pun berakhir (the end of history) pada satu titik; kejayaan demokrasi liberal. Dalam kacamata Fukuyama, sosialisme telah menjadi pecundang dan mati. Jika Fukuyama begitu optimis, kata Fatah, tidak demikian halnya dengan John Naisbit. Dalam Global Paradoks-nya, Naisbit memang sependapat tentang terjadinya demokrasi global. Namun berbeda dengan fukuyama yang mengajukan teori The End of History; Naisbit kata Fatah, justru bercerita dan mengajukan teori The End of Politics. The End Politic-nya Naisbit tidak berbicara tentang berakhirnya sejarah peradaban. Naisbit justru berbicara tentang the beginning of histoy. Yaitu bagaimana kelanjutan sejarah peradaban.
Definisi transisi yang paling menarik di tulis oleh Eddie Riyadi Terre dalam Keluar Dari Dilema Transisi; Sebuah Pendekatan Paradigmatik Menuju Keadilan Transisional (Dignitas/vol. I No. I Tahun 2003). Menurutnya secara epistemologis, transisi terutama bermain pada tataran nalar ruang dan waktu. Transisi adalah sebuah perjalanan menghidupi kekinian dan menyambut masa depan tetapi dengan menggendong masa lalu yang sarat beban tak tertanggung. Secara antropologis, transisi adalah sebuah pergulatan kemanusiaan terutama antara kekuatan meracuni dan kehandalan mengobati, antara nafsu jahat dan energi mengampuni, antara keharusan mengngat dan kesediaan melupakan. Secara ontologis-politik, transisi adalah perjuangan menjemput harapan akan tatanan sosial yang lebih demokratis dan humanistik sembari tetap menepis ketakutan akan kembalinya otoritarianisme. Secara etis transisi adalah bagai sebuah diskursus dialektis yang kental watak heuristik antara etika preskriptif – etika yang mengedepankan nilai-nilai yang di idealkan – dengan etika deskriptif – etika yang mengedepankan nilai-nilai yang bersumber pada realitas empiris yang pada gilirannya semoga tertelorkan norma-norma aplicable.
Transisi adalah sebuah pergulatan antara cita dan harapan yang saling bergantung para ranah idealitas, tetapi cenderung mengalami a-historis. Ia menjanjikan masa depan yang ideal tetapi kadang utopis dan mengecewakan. Dikatakan utopis karena tidak ada kepastian apakah transisi itu mampu menuju kepada cita-cita yang telah di rencanakan atau tidak akan sangat bergantung pada konfigurasi realitas dan paradigmatik yang sedang berjalan. Apakah realitas menjanjikan untuk melewati masa transisi tersebut mampu memberikan konstribusi bagi masa depan demokrasi atau tidak itu sangat tergantung pada paradigma para aktor pencetus perubahan. Jika masih banyak bercokol paradigma statu quo maka masa depan transisi akan bisa diramalkan dalam kondisi terancam.
Menurut Guiseppe Di Palma (1997; 144) sebagai proses, konsolidasi sama dengan fase transisi, karena tidak pasti dan kurang dapat diprediksi arahnya. Fase konsolidasi terkait erat dengan pencapaian kesepakatan sebelum institusi dan praktek yang ditopang oleh kesepakatan itu dijalankan. Palma (1997; 142) mengatakan bahwa konsolidasi demokrasi dapat dicapai bila institusi demokrasi yang sah dan kultur politik yang demokratis telah terbentuk. Proses ini hamper selalu dilakukan, namun sangat menentukan sukses atau gagalnya konsolidasi demokrasi.
Juan Linz dan Alfred Stephan (1996; 3) menggambarkan demokrasi terkonsolidasi sebagai situasi politik dimana demokrasi menjadi “the only game in town”. Menurutnya ada tiga kondisi yang harus terpenuhi untuk mencapai status ini. Pertama, dari aspek perilaku, hanya sedikit kelompok politik yang serius berniat menjatuhkan rezim demokrasi atau memisahkan diri dari Negara. Kedua, dari aspek sikap, mayoritas rakyat mempercayai prosedur dan institusi demokratis sebagai cara paling handal mengatur kehidupan bermasyarakat. Ketiga, aspek konstitusional, semua aktor politik terbiasa untuk memecahkan konflik dengan mengacu pada resolusi hokum, prosedur dan institusi pemaksa pada proses demokrasi yang baru.
Menurut Guillermo O’Donnel dan Philippe Schimitter (1993; 6) fase transisi adalah interval (selang waktu) antara satu rezim politik otoritarian ke rezim yang lain. Mereka mengatakan, transisi adalah fase awal terpenting yang sangat menentukkan proses demokratisasi. Diawali dengan jatuhnya rezim otoriter lama, diakhiri mantapnya konfigurasi institusi politik yang relative stabil dalam rezim demokratis (Richard Gunter, P. Nikiforos Diamandourus, Hans –Jurgen Puhle: 1995; 3).
Menurut Semuel P. Huntington (1991), gelombang terakhir, yakni Gelombang Ketiga, terjadi sejak 1974 hingga kini. Secara umum, Huntington menggambarkan ketiga gelombang itu melalui jumlah Negara yang mengalami demokratisasi sepanjang abad ke-20. Di sela-sela setiap gelombang, terselip arus balik, yakni terjadinya proses penguatan kembali otoritarianisme atau totalitarianisme.
Gelombang demokratisasi ketiga yang melanda Negara-negara Eropa Timur dan Amerika Latin serta beberapa Negara Asia adalah merupakan realitas politik sekaligus meneguhkan proses hegemoni demokrasi di Negara-negara tersebut. Kegagalan Negara-negara komunis mempertahankan otoritarianismenya dan “tumpah”nya demokrasi yang diterapkan bagi Negara-negara tersebut adalah merupakan bentuk dari kemenangan demokrasi liberal sebagaimana yang di ramalkan oleh Fukuyama (1992), yaitu diterapkannya demokrasi di hampir semua Negara yang menandai berakhirnya sejarah.
Prezeworski (1996; 39-55) melakukan survey statistik terhadap 135 negara antara kurun waktu 1950 sampai 1990. survey itu menemukan bahwa dari 135 negara tersebut, terdapat 224 rezim pemerintahan yang datang silih berganti. Sebanyak 101 diantara adalah rezim yang menerapkan demokrasi dan 123 berada dibawah rezim otoriter. Di antara ke 101 rezim demokratis tersebut, 50 menggunakan system parlementer, 46 mempraktekkan system presidensil dan 5 sistem campuran. Hal yang senada juga di katakan oleh Stephan dan Skach (1994). Mereka mencatat bahwa ada 43 rezim demokrasi yang telah terkonsolidasi pada periode 1979 dan 1989 (Matthe Shuggart: 1997; 18-19, Philips Jusario Vermonte: 2002; 34-35).
Survey tersebut menandakan perjalanan panjang pergulatan Negara-negara di dunia dalam upayanya menegakkan demokratisasi dalam menata kehidupan masyarakat. Sekalipun banyak negara-negara yang mengalami masa rekonsolidasi ke rezim otoritarian, tetapi upaya untuk menegakkan demokratisasi menjadi penting bagi proses pemerintahan yang memiliki akuntabilitas publik.
Dalam meneguhkan sebuah rezim politik yang demokratis, diperlukan keterlibatan elit secara langsung dalam memainkan peran-peran politiknya, utamanya adalah untuk pendidikan bagi masyarakat. Posisi politik yang berada dibawah rezim demokratis agar perjalanan demokrasi menjadi jauh lebih baik, diperlukan kesadaran sepenuhnya untuk memainkan peran-peran politik yang bisa mendidik rakyat. Keberadaan elit politik, baik yang ada dalam struktur kekuasaan maupun diluar dari struktur kekuasaan mesti menekankan proses pembelajaran politik bagi masyarakat, sebagai upaya untuk mengapresiasi perkembangan demokrasi yang lebih baik. Menurut Vermonte (2002; 33), faktor pembelajaran politik adalah merupakan bagian penting dalam demokratisasi. Patut dicatat bahwa political learnig tidak hanya di lakukan oleh elit-elit politik pro-demokrasi yang belajar dari pengalaman pahit hidup rezim otoritarian. Sebaliknya, para veteran rezim lama pada dasarnya menjalani proses serupa. Menurut Vermonte, berhasilnya proses demokratisasi di Spanyol tahun 1970-an adalah contoh ekstrim dari proses political learning dan elit settlement. Setelah kematian diktator Franco, proses demokratisasi di Spanyol hampir menemui jalan buntu. Proses tersebut berhasil dilalui setelah elit-elit politiknya belajar bahwa sikap-sikap anti negosiasi tidak memberi konstribusi positif. Pada titik ekstrimnya, kekuatan kiri yang radikal dan kekuatan kanan yang monarkis di Spanyol mencapai kata sepakat, yakni kelompok kanan yang dipimpin oleh Juan Carlos membiarkan kelompok kiri komunis mendirikan partai politik, sementara pada saat yang sama kelompok kiri menerima diberlakukannya kembali monarki di Spanyol.
Untuk mencapai proses konsolidasi demokrasi dalam sebuah negara yang mengalami transisi, yang paling penting untuk dilakukan adalah mempertemukan kubu status quo dan kubu pro demokrasi. Perjumpaan antara elemen status quo dan kubu pro-demokrasi adalah langkah penting setelah upaya penumbangan rezim otokratis dilakukan. Jika kedua kubu ini tidak mampu bertemu dalam upaya menuntaskan agenda demokratisasi, maka bisa dipastikan proses demokratisasi akan menemui jalan buntu.
“MENAKAR” DEMOKRASI LOKAL DI BIMA
Apa pentingnya tulisan diatas adalah merupakan refleksi atas fakta yang sedang kita hadapi, bahwa demokrasi dan transisi yang melingkupinya tidak saja merupakan berkah bagi masyarakat, tetapi juga mengidap sejumlah kegagapan yang menganggu “kenyamanan kolektif” masyarakat.
Masyarakat lokal ditandai dengan diskusi, konsultasi dan dialog antar mereka, yang sulit diurai dalam studi demokrasi liberal. Karena sejatinya, masyarakat memang tercipta dari dialog dan diskusi tatap muka. Masyarakat Bima, sebagaimana juga pada masyarakat lain, terjadi hal yang sama, yakni dialog, diskusi dan konsultasi antar mereka dalam upaya menyelesaikan masalah. Karena kebiasaan ini merupakan kebiasaan umum pada masyarakat yang mengalami transisi menuju modernitas. Diskusi dan dialog serta konsultasi inilah yang disebut sebagai demokrasi deliberatif.
Demokrasi bersifat deliberatif jika “proses pemberian suatu alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat diskursus publik.” (F. Budi Hardiman, 2004:18).
Jika demokrasi liberal yang diterjemahkan dalam konteks demokrasi perwakilan sebagaimana yang kita alami saat ini, adalah ditandai dengan kompetisi politik, kemenangan, dan kekalahan satu pihak. Sementara demokrasi deliberatif ditandai dengan argumentasi, dialog, saling menghormati, dan berupaya mencapai titik temu dan mufakat, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Bima yang komunal. Kita saksikan, Demokrasi Liberal mengandalkan pemilu sebagai salah satu syarat penting terciptanya keadaban, tetapi pada demokrasi deliberatif adalah saling memahami dan menduskusikan urusan kolektif mereka untuk mencapai mufakat. Menurut Sutoro Eko dalam buku “Memperdalam Demokrasi Desa”, dalam Orde Partisipasi, ciri khas demokrasi deliberatif ditandai dengan adanya proses pemilihan pemimpin dan pembuatan keputusan yang dilakukan melalui proses partisipasi warga secara langsung, bukan melalui voting atau perwakilan, melainkan melalui dialog, musyawarah dan pengambilan kesepakatan.
Model demokrasi deliberatif ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bima, seperti musyawarah dan mufakat untuk mencari konsensus tanpa voting. Kehadiran sejumlah sarjana yang cukup banyak dengan kampus yang menyebar diberbagai sudut kota, telah mengakibatkan terjadinya pergeseran makna lokalitas dan deliberasi menjadi tidak berfungsi. Rasionalitas individual menonjol dan kalkulasi materialistis mengemuka, sehingga kolektivitas terganggu dan kebersamaan masyarakat di dasari oleh kepentingan pragmatis. Hanya saja, hal itu baru melanda generasi baru hasil produk perguruan tinggi yang mulai menyebarkan virus dalam masyarakat sehingga “terkadang” kebersamaan komunal berubah menjadi “individu yang materialistis”.
Sarangge sebagai institusi demokrasi lokal perlahan namun pasti akan segera tergusur secara substansial, meskipun secara fisik akan bisa ditemukan diberbagai desa, dan digantikan oleh mesin demokrasi modern yang berupa partai politik. Hal ini terjadi karena Pemilu, Pilkada dan Pilkades menjadi rantai yang sulit untuk dipisahkan, sehingga suksesi bakal terjadi secara berulang dalam satu Desa.
Sarangge berfungsi untuk mempertemukan perbedaan pada konteks yang artifisial, bukan lagi yang substansial. Permusuhan antar kelompok dan faksi politik antar keluarga muncul secara mengejutkan hanya karena perbedaan pilihan dalam tiap episode pemilihan. Semuanya merupakan kesuksesan demokrasi liberal menginjeksi di dalam masyarakat tradisional.
Dalam konteks inilah penulis berpendapat, bahwa demokrasi deliberatif harus dipertahankan, untuk menjaga kolektivitas dan eksistensi masyarakat Bima. Dengan demokrasi deliberatif, tradisi kolektivitas bisa tetap eksis, masyarakat bisa tetap bersama dalam komunitas dan tradisi mereka, serta keutuhan system sosial bisa tetap kokoh. Pada saat itulah, demokrasi tumbuh, yakni ketika “yang lokal” dihargai eksistensi, kebiasaan masayarakat dihormati dan kultur kolektif dijaga secara bersama-sama.
Makassar- Jakarta, Maret 2011