Hermeneutika dalam putusan hak asuh anak

Berikut ini penulis ilustrasikan putusan Pengadilan Agama Makassar, dapat diterapkan metode hermeneutika hukum atas putusan hak asuh anak, dimana putusannya berbeda antara putusan Pengadilan Agama Makassar dengan Pengadilan Tinggi Makassar.
Putusan Pengadilan Kasus Nurchalis Sumargono Versus Engel Berta Andit (2008)
Dalam posita perkara antara Nurchalis dan Engel, kedua pihak menikah berdasarkan hukum Islam, tetapi engel menikah dengan pemohon/Nurcholis yaitu karena Engel telah berbadan dua, dan tidak membuat agama Engel yang dianutnya pada saat itu akan pindah. Setelah dua tahun membina rumah tangga kedua pihak dikarunia dua orang anak.
Atas alasan beda keyakinan, Nurcholis/pemohon mengajukan permohonan perceraian dan menuntut untuk ditetapkan hak asuh anak untuk dirinya. Pengadilan Agama Makassar mengabulkan tuntutan pemohon/Nurchalis hak asuh anak dengan pertimbangan termohon/Engel bukan beragama Islam. Akan tetapi dalam tingkat banding pengadilan tinggi membatalkan putusan PA Makassar dan menetapkan hak asuh untuk ibu, dengan pertimbangan kondisi anak yang masih di bawah umur yaitu masih memerlukan pengasuhan dari ibunya/Angel.
Berdasarkan perkara di atas dapat digunakan metode hermeneutika hukum seperti berikut ini
a. Masa lalu: Angel menikah dengan Nurchalis, karena telah berbadan dua namun tidak pindah keyakinan.
b. masa kini: Terjadi perceraian antara Angel dan Nurchalis dan setiap pihak menginginkan hak asuh anak untuk kedua anaknya.
c. Masa depan: Jika diasuh oleh ibunya maka kedua anak tersebut akan beragama bukan agama Islam.
Dengan dalih tersebut di atas, disamping hakim dapat menggunakan pertimbangan/dasar hukum faktor psikologis anak/kepentingan terbaik anak dalam menetapkan hak asuh, menggunakan Undang-undang (KUH perdata, Undang-undang perkawinan, KHI, dan hukum agama Islam/ijtihad). Hakim harus melihat aspek nonhukum dari pertimbanngan dan aspek hukumnya sebagai satu kesatuan.
Dalam kasus seperti di atas Mahkamah Agung telah mengambil sikap (melalui putusan dan berbagai pelatihan) bahwa keimanan seorang ibu menjadi tolok ukur untuk menentukan haknya dalam mengasuh anak (bukan didasarkan pada pertimbangan umur sesuai Pasal 105 KHI). Penulis memberikan alternatif dalam penyelesaian sengketa seperti ini dengan tetap memberikan hak pengasuhan kepada ibunya (yang sudah murtad) dalam kurun waktu tertentu hingga anak tersebut mampu berinteraksi atau mengenal ajaran agama, setelah selesai jangka waktunya maka pengasuhan anak tersebut diserahkan kepada ayahnya. Alternatif ini lebih familiar, disamping tidak menyalahi hak asasi dari si ibu, juga demi kepentingan sianak, manakala anak tersebut benar-benar masih memerlukan kasih sayang ibunya.