Parliamentary Threshold Tidak (Melanggar) Hak Sipil-Politik
Hingga dua tahun lamanya publik (baca: rakyat Indonesia) melakukan penantian panjang agar RUU Pemilu atas revisi Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 disahkan. Akhirnya Undang-Undang Pemilihan Umum telah resmi ditetapkan pada Kamis (12/ 4). Sekalipun tidak ada perubahan yang amat “mencolok” dari revisi UU pemilu ini. Dari empat isu krusial, hanya satu isu yang mengalami perubahan “signifikan” yakni ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) yang diubah dari sebelumnya 2,5 persen menjadi 3,5 persen. Tiga poin lainnya bisa dikatakan identik dengan aturan di UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Poin yang dimaksud itu diantaranya; sistem Pemilu proporsional terbuka; metode konversi suara kuota murni; alokasi kursi per daerah pemilihan untuk DPR 3-10 kursi, sementara untuk DPRD 3-12 kursi. Ketiga poin tersebut tidaklah mengubah konstalasi mekanisme pemilihan umum sebelumnya.
Isu yang mencuat dengan adanya peningkatan ambang batas parlemen sebanyak 1 %, dari 2,5 % menjadi 3,5 % “disinyalir” akan mematikan partai-partai kecil, partai-partai yang baru tumbuh, partai-partai yang belum punya basis massa. Sehinga partai besar seperti Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) distigmatisasi sebagai partai “serakah” yang memakan partai-partai kecil (misalnya: PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura).
Partai-partai yang diklasifikasikan sebagai “partai kecil” oleh karena berkaca pada jumlah kursinya di parlemen (DPR Pusat), dimana kadang menjadi partai “koalisi pemerintah”, kadang “membelot”. Tidak terlalu “diperhitungkan” untuk “menggolkan” kebijakan pemerintah (baca: SBY-Boediono). Sehingga beberapa partai kecil yang dimaksud (terutama PPP, PAN dan PKB), dari awal sudah “terindikasi” melakukan tawar-menawar dengan partai koalisi utama (baca: Fraksi Demokrat), untuk melakukan “barter politik” dalam menekan angka Parliamentary Threshold (PT). Dan hal itu terbukti, ternyata parlemen berdasarkan keputusan akhir “ketok palu” masih “takut” untuk meningkatkan angka PT 5 %, sebagaimana yang diharapkan oleh para pengamat politik (baca: Burhanudin Muhtadi dan Hanta Yuda). Lagi-lagi ini menunjukan bahwa fungsi “representative” parlemen kembali “tergadaikan” dengan kepentingan oligarki partai.
Keputusan rapat paripurna yang harus diambil dengan cara pemungutan suara dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu (12/ 4), ditawarkan dua alternatif. Alternatif A ditawarkan angka PT sebesar 3,5 persen berlaku secara keseluruhan atau nasional, provinsi, kabupaten/ kota.Sedangkan alternatif B yakni angka PT ditawarkan berjenjang, yakni tiga persen untuk nasional, serta lima persen provinsi dan lima persen kabupaten/ kota.
Setelah voting dilakukan akhirnya enam fraksi memilih alternatif A. Yakni, Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Hanura, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Jumlah suaranya sebanyak 343. Sedangkan yang memilih opsi B diantaranya PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional. Jumlah suaranya adalah 187.
Dari hasil pemerolehan suara, yang diperoleh melalui voting dengan kemenangan pada opsi A. Fraksi Partai Demokrat semakin “solid” mendengarkan jeritan-jeritan partai-partai kecil (seperti PPP & PKB) untuk membayar “utang budi” yang sehaluan dengannya pada rapat paripurna perubahan RAPBN-P 2012 minggu lalu. Memang bukan opsi B yang dijadikan pilihan berdasarkan hasil voting oleh parlemen (dalam pembahasan akhir revisi UU No 10/ 2008). Oleh karena diantara kedua pilihan opsi A dan opsi B, tidak ada opsi yang ideal sebagai angka Parliamentary Threshold, yang sekiranya dapat dijadikan indikator dalam penyederhanaan partai (baca: jumlah fraksi di parlemen). Semuanya masih bermain dalam kisaran 3 % saja, meskipun opsi B mencantumkan juga angka 5 %. Itu hanya untuk skala provinsi/ kabupaten dan kota.
Secara sadar parlemen telah memeraktikan politik dagang sapi, “anda untung, saya untung, kami untung, dan kita semua sama-sama untung.” Untuk persoalan “keuntungan” rakyat hanyalah alternatif yang berada dalam urutan nomor kesekian saja.
PT Tidak Melanggar Hak Sipil-Politik
Sejatinya tujuan dari penetapan ambang batas parlemen (parliamentary Threshold: PT) tidak lain untuk “mensinergikan” antara kekuatan parlemen dengan sistem pemerintahan yang presidensial. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Scott Mainwaring, (1993) dari hasil observasi terhadap 31 negara yang sudah stabil demokrasinya, yaitu “negara-negara yang mampu mempertahankan demokrasinya sejak 1967 hingga 1992, menemukan bahwa semua negara yang menganut Presidensialisme dan berhasil mempertahankan demokrasi ternyata menganut sistem Dwipartai.” Penyebab utamanya sehingga demokrasi dari negara yang menganut dwipartai demokrasinya stabil. Adalah tidak lain karena hanya ada dua pilihan bagi partai (baca: fraksi) di parlemen, yakni partai koalisi atau partai oposisi.
Bagaimana dengan Indonesia ? dimana negara kita sudah terlanjur menganut sistem multipartai dan “style” pemerintahan yang presidensil. Solusi alternatif untuk menekan jumlah partai politik di parlemen. Agar parlemen tidak menjadi tempat “kegaduhan” lagi seperti biasnya (rapat hak angket “kasus century”; pembahasan rancangan APBN-P 2012).
Meningkatkan ambang batas persyaratan minimal yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan kursi di Parlemen. Bertujuan agar tidak terlalu banyak lagi fraksi-fraksi yang “tidak jelas”_ oposisi atau koalisi. Pada rapat Century misalnya “lari dan menyeberang” menjadi partai oposisi. Dan pada rapat-rapat paripurna yang lain berbalik arah, memutar haluan, dan melakukan “manuver politik” menjadi partai yang mendukung kebijakan pemerintah. “Oke, akhirnya fraksi dipartai kami juga sepakat “metode kuota murni”.
Konsekuensi dari koalisi dan oposisi yang tidak jelas. Pada akhirnya sistem pemerintahan menjadi presidensialisme yang “setengah hati” _ presidensialisme reduktif _ presiden “sial(an)”. Hanya gara-gara “overcapacity” fraksi dari perbuatan banyak partai. Negara difitnah, tidak pro rakyat. Negara telah melakukan “dosa” terhadap rakyatnya. Karena negara yang melakukan perbuatan “dosa” itu, maka “dosa” partai politik sebagai manifestasi suara rakyat. Ujung-ujungnya pasti “dosa” itu mesti ditanggung bersama.
Sistem yang perlu diubah, bukan rakyatnya. PT tidak bermaksud menekan partai-partai kecil. PT “sama sekali” tidak melanggar hak sipil-politik berdasarkan konstitusi (baca: UUD NRI Tahun 1945). PT yang terlalu tinggi presentasenya tidak bertentangan dengan Konvensi ICCPR. PT tidak bertentangan dengan UU No 39 Tahun 1999 (HAM). Karena Untuk lepas dari “dosa-dosa” parlemen. Penyederhanaan partai adalah sebuah “keniscayaan” dalam rangka menyeimbangkannya antara sistem presidensialisme dengan “multipartai yang sederhana”. Pilihannya adalah manakah yang memihak pada kepentingan rakyat ? multipartai sederhana dengan kebijakan pemerintah (baca: presiden) yang efektif, dimana pemerintahan pro pada rakyat. Ataukah konsisten mendengarkan “bisikan-bisikan” partai-partai kecil agar diperhatikan hak-hak sipil-politiknya. Lalu di parlemen kelak, mereka semua serentak (baik “partai kecil” maupun “partai besar”) bersuara kami bekerja atas nama “rakyat”, dan rakyat pasti “dibingungkan” dengan kondisi “chaos” demikian. Padahal sejatinya baik partai besar maupun partai kecil bekerja karena “oligarki partai”semata. Hemat penulis hanya “realitaslah” yang mampu menjawab. Bahwa “multipartai sederhana” dengan sistem PT-nya, representative in idea benar-benar terdengar dan dilaksanakan oleh lembaga negara (eksekutif dan legislatif) kita.