Permainan Catur Anas Vs SBY

Rabu 13 Juni 2012 silaturahmi para pendiri Partai Demokrat di Hotel Sahid Jaya Jakarta. Dihadiri langsung  SBY ex officio sebagai ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mengundang sejumlah tanda Tanya. Oleh karena hingga SBY melantunkan pidato “Demokrat tetap Demokrat” batang hidung Anas sebagai Ketua Umum (Ketum) tak sedikitpun kelihatan. Anas tak kunjung datang hingga acara silaturrahmi Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat (FKPD-PD) tersebut selesai. Ini adalah kali kedua  Anas tak hadir dalam acara Demokrat sehari sebelumnya di kediaman SBY di Cikeas.

Apakah Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat (PD) sengaja tidak diundang ? ataukah dari awal Anas yang sadar, sengaja tidak menghadiri undangan tersebut, karena acara silaturhami tersebut adalah pembicaraan menyangkut dirinya sebagai Ketua Umum PD ?

Argumen yang semakin memperkuat bahwa Anas sengaja tidak diundang. Adalah munculnya foto berukuran besar wajah SBY dan Ventje Rumangkang (Ketua Umum Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat). Tanpa satupun sosok foto Anas dari kedua foto pembesar Demokrat. Padahal beliau merupakan Ketua Umum Partai Demokrat.

Suatu hal ironis, jika sekiranya foto sang Ketum dilupakan begitu saja. Hanya karena gara-gara namanya selalu dikaitkan dengan korupsi dalam kasus proyek Wisma Atlet dan kasus Hambalang.

Para pendiri Demokrat, rupanya sadar ingin mencoret, mem-black list nama Anas dari daftar Partai demokrat.  Namun Anas sendiri pasang badan, head to head, tidak rela, tidak lapang dada, agar mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum.  Meskipun namanya selalu disangkutpautkan, sebagai penyebab utama citra Demokrat semakin menurun. Ketika para kader Demokrat kaget dengan survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) Maret 2012. Elektabilitas Demokrat hanya 13,4%. Padahal  tingkat keterpilihan Demokrat stagnan dalam tiga survei terakhir, 14% pada Desember 2011 dan 13,7% pada Februari 2012.

Ibarat pemain catur. Hingga sekarang Anas  pasang badan terhadap SBY. Agar dirinya tidak dinonaktifkan. Anas lebih menunjukan kuasanya sebagai Ketum tanpa ada yang bisa menggoyahkannya. Termasuk SBY sebagai ketua Dewan Pembina Demokrat. Terlebih konstitusi partai, karena pintu konstitusi Partai (baca: ADRT Demokrat) telah menutup celah penonaktifan atas dirinya. Kecuali ia benar-benar dijadikan tersangka terhadap kasus korupsi yang dituduhkannya.

Di satu sisi Anas menggunakan strategi bertahan, head to head dengan SBY. Pada saat yang sama melalui rekaman suara SBY dalam acara silaturahmi FKPD-PD menggunakan strategi “bermain cantik”. Dari pidatonya SBY kemarin, SBY bermanufer dengan petinggi-petinggi Demokrat (terutama Anas). SBY bermanufer dengan taktik soft, halus, kasat-mata, multitafsir, abu-abu, agar dirinya tidak  dihakimi oleh publik sebagai pemimpin machievellian. Dalam diri SBY tetap melekat krakter pemimpin  “melo-dramatika.”

 Semakin terlihat juntrungannya. Ketika SBY bertutur dalam acara silaturamhi FPKD-PD, bahwa  bagi kader partai yang tidak bersedia bersih-bersih dari korupsi, dari pada memalukan kita di kemudian hari, lebih baik mundur sekarang juga. Tinggalkan partai ini.

Makna dari substansi pidato tersebut memberi signal atau sinyalemen. Siapa yang diinstruksikan sebenarnya agar mundur ? kalau bukan Anas. Karena Anas telah menyebabkan elektabilitas Demokrat semakin menurun akhir-akhir ini.

Manufer SBY  merupakan “dendam lama”. Ketika faksi yang dijagokan kalah dalam pemilihan Ketua Umum pertarungan kursi Ketum di Kongres 2010 lalu di Bandung ketika ada 3 kandidat. Yakni Andi Mallarangeng, Marzuki Alie dan Anas Urbaningrum. Andi Mallarangeng adalah representasi kepentingan SBY.

 Andi Mallarangeng kalah telak dari kejeniusan politik Anas Urbaningrum. Meskipun luka itu adalah luka lama. Tapi hingga sekarang masih tersimpan di hati SBY. Ada semi-faksi dalam lingkungan Demokrat. Faksi itu adalah faksi Anas dan faksi Andi Mallarangeng.

Bukti kuat Anas sebagai Ketua Umum berada diluar faksi SBY. Setelah kemenangannya di Bandung. Hari-hari  kemenangannya banyak disi dengan melakukan pendekatan ke hampir semua Ketua DPD dan DPP Partai Demokrat. Mereka semua adalah orang-orang dekat Anas. Sehingga manufer SBY mengharap iba agar Anas dijatuhkan dari arus bawah. Suatu hal yang mustahil.  Mustahil seorang teman dekat. Orangnya Anas sendiri yang akan berteriak  “jatuhkan dia dari kursi panas terhormatnya”. Anas lagi-lagi head to head dengan SBY.

SBY yang bermain cantik  dengan gaya bahasa soft-nya. SBY sangat berhati-hati sekali. Ibarat menarik benang dari dalam tepung agar tidak banyak yang tumpah. Beliau tidak ingin instruksi pengunduran diri itu menghantam faksi Anas kelak dikemudian hari. SBY tidak mau Demokrat tersandera dalam Demokrat.

Meskipun SBY meng-instruksikan agar Anas mengundurkan diri secara lapang dada.  Melalui bahasanya yang berdimensi ganda. Dirinya tidak mau ketahuan, bahwa orang yang dimaksud tidak dapat bersih-bersih dari korupsi. Adalah Anas. Karena dirinya takut. Kata-katanya sebagai senjata yang menghantam tuannya sendiri. SBY takut kalau Demokrat menghancurkan Demokrat. Sayang sekali jika partainya hancur padahal Demokrat sekarang adalah partai besar.

Bermain Cantik Kemana-Mana

Permainan cantik ala SBY  tidak berhenti di lingkungan partainya sendiri. Partai Demokrat. Permainannya cantiknya menyebar kemana-mana. Masih ada lawan yang lebih kejam di luar sana. Lawan itu adalah media yang konon katanya selalu memfitnah partainya sebagai partai korupsi. Tak kalah lawan lebih ganas, adalah partai lain yang dapat menghapus jejak rekamnya. Untuk berkompetisi kelak di parlemen.

SBY sebagai ketua dewan Pembina Demokrat memang bermain cantik. Namun beliau tidak berani bersikap sportif. Ketika mengalami kekalahan merebut simpati publik. Dibalik kekalahannya meraih simpati, ia mengungkit-ungkit kesalahan partai lain sebagai partai, juga tak jauh lebih korup dibandingkan partainya. Bahwa tak hanya kader Partai Demokrat  yang korupsi. Para kader di parpol lain juga turut terlibat kasus korupsi. Bahkan menurutnya, korupsi yang dilakukan politisi parpol lainnya lebih parah.

SBY mengaku memiliki data terkait fakta dan angka kasus korupsi yang dikumpulkan selama ini. Di jajaran DPRD tingkat provinsi selama 2004-2012. Korupsi yang dilakukan oknum Partai Demokrat mencapai 3,9 persen. Di atas Partai Demokrat, masih ada 4 partai lainnya. Persentasenya berturut-turut adalah 34,6 persen, 24,6 persen, 9,2 persen, dan 5,32 persen. Totalnya 75 persen. Bandingkan dengan Partai Demokrat yang hanya 3,9 persen.

Selain itu, kasus korupsi di jajaran DPRD tingkat kabupaten/kota, jumlah oknum Partai Demokrat yang terlibat mencapai 11,5 persen. Di atas Partai Demokrat ada dua parpol lainnya, masing-masing 27 persen dan 14,4 persen. Sedangkan di level jajaran menteri, anggota DPR, gubernur, hingga bupati/ wali kota, jumlah kader Partai Demokrat yang terlibat ‘hanya’ 8,6 persen. Di atas Partai Demokrat, ada dua parpol, masing-masing 33,7 persen dan 16,6 persen.

Inilah suatu kondisi ketika demokrasi ditafsir ulang, teman sehaluan sebagai the others (orang lain) bukan teman, kawan, atau karib (friend). Maka dianggapnya kesalahan plus kesalahan akan menghasilkan kebenaran. Sebuah logika dan alur berpikir yang salah (eror). Sebuah permainan menihilkan kebenaran untuk mencapai kejahatan berdimensi sempurna (the perfec crime).

SBY boleh saja bermain cantik, halus, soft tapi jangan sampai menggiring penyakit “amnesia” ke mana-mana.  Korupsi bukan lagi sebagai kejahatan yang luar biasa. Halal dilakukan oleh siapa saja. Halal dilakukan oleh para petinggi partai.

 Seyogianya sebagai the ruling party. SBY di bawah naungan rumah Demokrat yang bersih, santun  dan cerdas. Lebih baik mengajak kembali semua kalangan konsisten untuk mengatakan, katakan tidak pada korupsi. Bukan “yes” untuk korupsi.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...