Ramadan Ajang Refleksi Atau Komersialisasi

Ramadan kini telah kehilangan esensi. Bulan untuk refleksi diri telah berubah menjadi bulan penebar komersialisasi. Tampilan-tampilan yang didominasi kesenangan (hedonism) terlihat dimana-mana. Seolah ingin menenggelamkan tujuan utama kedatangan Ramadan.

Ramadan. Bulan penuh rahmat dan ampunan. Bulan dimana setiap tindak tanduk manusia dinilai ibadah olehNya. puasa sebagai amalan wajib juga memiliki keistimewaan tersendiri. Imam An-Nasai telah meriwayatkan dengan sanad shahih dari Abu Umamah radhiallahu ‘anhu dia bertanya, “Ya Rasulullah suruhlah aku dengan satu amalan, bila aku mengerjakannya akan bermanfaat untukku.” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu berpuasa, karena puasa (manfaatnya) tidak ada bandingnya”.
Dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa tidak ada yang membuat seseorang dekat dari Rabbnya dan jauh dari azabnya kecuali puasa.

Selama sebulan penuh, umat muslim diberi keleluasaan untuk mengumpulkan pahala. Bahkan tidurpun dinilai ibadah. Disinilah tempat yang tepat untuk melakukan refleksi laku hidup 11 bulan sebelumnya. Sayangnya, kesakralan Ramadan sebagai bagian dari konsep religiusitas kini perlu dipertanyakan? Alih-alih meningkatkan kualitas hidup. Ramadan justru dimanfaatkan sebagai instrumen bisnis yang sangat menggiurkan. Tak ayal, komersialisasi Ramadanpun semakin menjadi-jadi.

Tak menunggu waktu lama. Bahkan sebelum sidang itsbat digelar. Media cetak dan elektronik sudah lebih dulu ambil bagian. Berbagai merk dagang dan paket hemat mulai ditawarkan. Iklan spanduk dan iklan elektronik beraneka produk diganti dengan nuansa islam yang kental. Untuk lebih memikat konsumen, format iklanpun diubah. Kali ini, pelaku bisnis ‘memaksa’ para bintang iklannya berjilbab ataupun memakai koko. layaknya muslim yang taat. Atas dasar ketaatan kepada kontrak, para artis itupun dengan senang hati beratribut islam. Seolah mereka adalah ahli ibadah. Padahal, 11 bulan sebelumnya mereka doyan mengumbar aurat.

Produk Kapital
Selama Ramadan, umat dibuat sesak oleh bombardir produk kapital. Semakin mendekati akhir, semakin gencar beraneka promo ditawarkan. Berbagai produk memberikan potongan harga. Belum lagi pemberian hadiah tunai. Akibatnya, Ramadan yang seharusnya menjadi bulan meningkatkan amalan. Justru dijadikan tempat untuk berburu beraneka barang belanjaan. Masjid-masjid semakin sepi. Di sisi lain, mall-mall dan pusat perbelanjaan semakin sesak oleh pengunjung.

Ramadan kini tak ubahnya budaya pop. Budaya pop, menurut John Storey merupakan kebiasaan yang merupakan praktek keseharian. Kata “pop” singkatan dari “popular” arti sederhananya adalah disukai banyak orang. Karena itu, budaya pop bisa bermakna budaya yang disukai oleh banyak orang dan menyenangkan. Praktik-praktik budaya pop bisa kita lihat dari maraknya novel-novel bergenre islam pasca boomingnya ayat-ayat cinta.

Atau, bisa juga dengan munculnya band-band beraliran melayu. Yang tak boleh ketinggalan tentu saja, semaraknya Ramadan oleh nafas komersialisasi. Ramadan tak ubahnya perayaan euro ataupun piala dunia. Kedatangannya selalu ditunggu oleh penggemarnya (dalam hal ini umat muslim) juga oleh produsen produk kapital (pelaku bisnis) untuk menjajakan produknya.
Komersialisasi tidak hanya terjadi di dunia bisnis barang saja. Dunia pertelevisianpun tak mau ketinggalan. Saat Ramadan, hampir semua stasiun televisi menawarkan program-program Ramadan. baik disaat sahur maupun menjelang buka puasa. Ironisnya, hampir semua program yang ditawarkan tidak menampilkan konsep beragama yang sebenarnya. Jamuan televisi tidak lebih dari sekedar produk guyonan. Yang penting menguntungkan, begitu jargon mereka.

Tontonan yang ditampilkanpun lebih banyak yang tak pantas. Misalnya, saling menghina dan mencela fisik sesama pemain. Atau, menampilkan adegan yang menyalahi aturan agama. Bahkan sinetron religi yang digadang-gadang sebagai media dakwahpun tak luput dari kesalahan. Para pemain yang notabene bukan muhrim, begitu luwes memainkan peran mereka sebagai sepasang suami istri. Seolah mereka telah terikat pernikahan. Uniknya, banyak tokoh agama menyambut baik fenomena ini. Bahkan tak jarang, tokoh agama turut serta meramaikan sinetron tersebut. Ujung-ujungnya tentu saja, rating yang tinggi. Masalah ummat yang terbohongi urusan belakang, yang penting duit datang. Stasiun tv tertentu malah berani membayar mahal artis asing demi mengeruk keuntungan.

Kehilangan Esensi
Ramadan kini telah kehilangan esensi. Bulan untuk refleksi diri telah berubah menjadi bulan penebar komersialisasi. Tampilan-tampilan yang didominasi kesenangan (hedonism) terlihat dimana-mana. Seolah ingin menenggelamkan tujuan utama kedatangan Ramadan. Entah disengaja atau memang lalai. Umat  seolah tak peduli dengan penyimpangan-penyimpangan yang ada. Beberapa bahkan menganggap bahwa nuansa islami yang muncul saat menjelang Ramadan hingga idhul fitri adalah sesuatu yang positif. Padahal, jelas-jelas itu adalah kepalsuan. Tentu saja, yang berujung pada keuntungan materi di pihak mereka.

Umat lupa, ketika berpuasa yang dilatih seharusnya adalah kesabaran. Tujuan puasa adalah membumikan Kesederhanaan, juga memupuk sensitifitas social atas mereka yang hidup kelaparan. Bukan malah mengejar produk diskon, ataupun menikmati paket buka puasa di hotel berbintang yang nominalnya mencapai ratusan ribu. Ramadan harusnya bisa menjadi tempat yang tepat untuk kita berbagi. Bukannya mengikuti undian sms berhadiah dengan harapan akan mendapat keuntungan. Lalu apa bedangnya program seperti itu dengan judi? Sayangnya tak banyak yang menyadari penyimpangan-penyimpangan tersebut.

Bukankah sangat ironis, saat kita mendapati uang puluhan juta rupiah dihambur-hamburkan. sedang diluar sana, masih banyak orang yang bahkan untuk sahur dan berbuka saja sulit. Bagi mereka, uang seolah tidak ada harganya. Sementara di sisi yang berbeda. Banyak penderitaan masih tercipta. Lalu dimana letak empatinya. Bukankah itu yang seharusnya dipupuk selama Ramadan. Daripada membeli aneka barang diskon yang belum tentu ada manfaatnya, bukankah lebih baik uang tersebut diberikan kepada kaum dhuafa. Ataupun dialihkan dalam kegiatan-kegiatan dengan tema social. Selain memberi manfaat bagi orang lain. Juga memberi manfaat bagi dirinya. Karena harta yang dibelanjakannya untuk mereka yang membutuhkan, akan menjadi pembersih bagi harta-hartanya.

al-Ghazali dalam magnum opusnya, Ihya Ulumuddin, memilih dan memilah orang berpuasa menjadi tiga golongan. Pertama, puasa orang kebanyakan (awwam) yang sekadar menahan haus dan dahaga. Kedua, puasa orang khusus (khawwash) yang tidak asekadar menahan haus dan dahaga tetapi juga memelihara diri dari segala jenis perbuatan maksiat. Ketiga, puasa orang yang palibng istimewa (khawwashul khawwash) bertujuan untuk mencapai derajat Nabi yang mendedikasikan seluruh hidupnya demi Tuhan semata. Dalam dua tingkat terakhir inilah, puasa dapat menunjukkan misi kritis dan profetisnya. Begitu tulis Damang SH, dalam salah satu artikelnya.

Mengacu pada itu, setidaknya kita bisa melakukan refleksi diri, mengenai tujuan berpuasa kita. Benarkah puasa yang telah dilakukan hamper dua pekan ini memiliki niat yang akan mendatangkan kebaikan? Atau malah sebaliknya. Hanya kesia-siaan yang kita dapatkan.

Benar bahwa kita harus menyambut Ramadhan dengan kegembiraan. Namun kegembiraan yang dimaksud disini bukan bermakna hura-hura dan agenda seremonial. Tetapi hadirnya suasana hati yang melahirkan sikap tawadu, peduli, sabar disiplin dan qanaah. hal ini pulalah yang diungkapkan oleh Prof  Quraish Shihab.

Terlepas dari polemic, dominasi refleksi diri atau komersialisasi. Ramadan tetaplah menjadi bulan yang istimewa. Tujuan keberadaannya pun jelas, untuk meningkatkan derajat diri seorang hamba. Hal ini sebagaimana termaktub dalam al-quran, surat Al-baqarah (183), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”

jadi, sudahkah anda bertakwa hari ini? Karena kesempurnaan iman seseorang dilihat dari derajat ketaqwaaannya. Dan akan menjadi sia-sia seluruh puasa ketika tidak ada iman yang bersemayam di dalamnya.  Selamat berpuasa. Semoga mendapat barakah dari Allah Ta’ala.

Tulisan ini juga dimuat di harian Tribun Timur Makassar (Jumat, 3 Agustus 2012): http://makassar.tribunnews.com/2012/08/03/ramadan-ajang-refleksi-atau-komersialisasi

Wahyu Desy N

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Makassar

You may also like...