Robohnya Wibawa Presiden Kita

Pasca pidato SBY kemarin, yang dianggap akan mengakhiri kisruh KPK Vs Polri. Dalam sengketa kewenangan penyidikan kasus simulator SIM. Agar kasus tersebut diserahkan sepenuhnya kepada KPK. Nampaknya memasuki babakan baru.

Babakan baru itu. Lagi-lagi KPK digugat melalui Pengadilan Negeri Jakarta dalam kasus perdata. KPK dituntut oleh Korlantas (Korps Lalu Lintas) agar membayar ganti rugi material sebesar Rp 425 miliar dan nonmaterial Rp 6 miliar. Karena KPK dianggap telah melakukan pelanggaran dalam proses penggeledahan.

Apakah gugatan tersebut merupakan pembangkangan sekaligus pengingkaran  Kepolisian kepada Presiden, yang masih setengah hati menyerahkan kasus Simulator SIM kepada KPK ? Jawabannya, boleh jadi, karena pidato SBY kemarin merupakan perintah kepada Polisi untuk mengakhiri ketegangan hubungan diantara kedua lembaga ini. Tapi tetap saja Polri menciptakan babak ketegangan baru.

Dalam konteks itu, posisi Polri seolah ingin meruntuhkan, meniadakan, bahkan merobohkan wibawa Presiden. Merobohkan atasannya sendiri.

Instruksi Presiden tidak di dengar oleh Polri. Polri tidak sadar, rupanya kalau berada di bawah koordinasi Presiden sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Kepolisian.

Walaupun gugatan Korlantas dibenarkan secara legal. Tetapi bukanlah momen yang tepat di tengah konstelasi politik nasional seperti ini. Karena langkah tersebut seolah-olah perlawanan terbuka bagi kepolisian terhadap pidato Presiden SBY.

Apalagi publik sudah terlanjur tahu polemik dibalik kisruh KPK yang kemarin kian meruncing dan memanas. Publik sudah tahu bahwa Polri pernah menarik 20 orang penyidiknya. Dan Kian hari, hingga kini KPK semakin mengalami krisis penyidik. Gara-gara enam orang lagi yang mengundurkan diri. Publik juga sudah tahu bahwa kemarin ada upaya penangkapan terhadap penyidik KPK, Kompel Novel Baswedan. Hingga menggiring pada opini publik, bahwa Polri disinyalir hendak mengamputasi dan melemahkan KPK.

Saat ini, penyidik di KPK  tersisa 62 orang. Apakah dengan jumlah penyidik yang semakin berkurang itu masih dapat menuntaskan pekerjaan rumah KPK dari semua deretan kasus-kasus korupsi ? Belum lagi harus mengalami tekanan dari Korlantas agar mengembalikan barang bukti yang disita untuk kepentingan penyidikan. Adakah rasa takut dari Polri hingga membiarkan lembaga bawahannya itu menggugat KPK, segera mengembalikan berkas yang disita ? Takutkah di lingkungan Polri itu akan ada muncul “Djoko-djoko Susilo” baru ?

Kita masih teringat, ketika SBY pernah mengakui dan menyampaikan secara terbuka bahwa kurang dari 50 persen instruksinya yang hanya dijalankan para pembantunya. Jangan-jangan yang dimaksud itu, juga adalah sikap pembangkangan Polri atas instruksi Presiden yang selama ini tidak pernah didengar oleh Polri.

Indikasi tersebut semakin terlihat, ketika kasus simulator SIM nanti selang beberapa hari kemudian pasca pidato SBY, baru benar-benar diserahkan kepada KPK. Polri sengaja mengulur-ulur waktu, dengan alasan masih dalam proses “koordinasi” dengan KPK. Di sini jelas sekali bahwa Polri tidak cekatan mendengar perintah Presiden sebagai atasannya.

Kasus simulator SIM bukanlah satu-satunya kasus yang menjadi bukti Polri melakukan pengingkaran atau pembangkangan terhadap Presiden. Kita juga pernah mendengar Presiden memerintahkan agar Polri melakukan penuntasan “rekening gendut” dari sejumlah perwira Polisi.

Presiden waktu itu menginstruksikan membuka hasil pemeriksaan rekening gendut tersebut di sejumlah perwira Polisi kepada masyarakat. Namun yang terjadi, Polisi justru bersikeras menyatakan rekening yang dituduhkan itu tidak benar. Kalaupun ada katanya masih dalam batas wajar yang dapat ditoleril.

Sungguh ironis nan memilukan tindakan Polri. Berkali-kali menulikan telinga atas instruksi Presiden. Di tengah harapan publik masih juga menaruh harapan agar Polri tetap juga dipertahankan. Save KPK, save Polri.

Jikalau tindakan Polri hanya ingin, terus-menerus mencari kesalahan KPK. Mencari celah hukum agar KPK juga ditimpahkan kesalahan oleh publik. Hemat penulis Motif dendam demikian malah akan semakin menghancurkan wibawa dan citra Polri itu sendiri.

Karena itu, tanpa membeda-bedakan KPK dan Polri. Tanpa bermaksud membela KPK. Namun mengamati ketegangan yang terjadi sejak tindakan penyitaan di Korlantas. Kita patut bertanya apa alasan sesungguhnya Korlantas “memaksa” agar KPK mengembalikan berkas yang disita oleh KPK ? padahal KPK masih membutuhkan waktu untuk memverifikasi semua dokumen yang disita ?

Bukankah perintah SBY yang memerintahkan kasus  simulator agar ditangani KPK, polisi baru menyerahkan penyidikan kasus tersebut kepada KPK beberapa minggu lalu ? Logikanya, bagaimana mungkin KPK dapat menyerahkan kembali berkas tersebut padahal waktu untuk bekerja serius, sebagai lembaga yang sudah diberikan kewenangan sepenuhnya baru selang beberapa hari yang lalu.

Jika kita masih menginginkan, wibawa Presiden kita tidak roboh. Hancur lebur di mata publik. Polri sudah mestinya, memerintahkan agar Korlantas mencabut gugatannya. Dalam rangka menjalankan amanat atau perintah Presiden secara holistik. Tidak setengah hati.

Polri harus rela, percaya dan menyerahkan sepenuhnya kasus simulator SIM kepada KPK. Kapolri tidak perlu mencari kesalahan KPK. Karena kalau Polri bersih dari tindak dan laku Korupsi. Jelas, masih ada waktu bagi Polri menyelamatkan wibawa institusinya, otomatis juga memulihkan wibawa Presiden kita.  Sadar atau tidak,  tentunya kita semua tidak mau wibawa presiden  benar-benar roboh.***

 

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...