Mendiskusikan Imunitas KPK

Kabar buruk menyebar buat kami dari alumni fakutas hukum Unhas. Adalah pentolan kami, yang kini masih menjabat pimpinan KPK tersandung masalah. Kapolda Sulselbar telah mengumumkan statusnya sebagai tersangka dalam tindak pidana pemalsuan dokumen.

Dalam sebuah kamar kost yang lusuh, sudah berpuluh-puluh tahun tak pernah di renovasi, kabar buruk itu tak luput dari perhatian kami dengan dua orang teman. Beliau adalah Muh Nursal NS (Praktisi Hukum) dan Wiwin Suwandi (mantan Sepri Abraham Samad), datang di kamar saya dalam rangka mendiskusikan kasus yang kini sedang menimpa Abramam Samad (AS).

Jarum Jam sudah menuju sepertiga malam, malam sudah merangkak fajar, kantuk juga belum mengunjungi kami bertiga. Sontak kaget tak menyangka, pengacara kondang itu, Nursal langsung melontarkan ide bernasnya: “Damang! Walau AS (Abraham Samad) kini seoleh-olah dikriminalisasi, tetap saya tidak sepakat jika KPK diberikan imunitas penuh, tak terbatas untuknya”. Pernyataan itu langsung saja tertanggap balik oleh saya dengan Wiwin; “Kenapa kawan? Bukankah kita harus melindungi KPK, sebagai satu-satunya lembaga anti rasuh yang masih terpercaya, dan tak lebih bukankah kita harus melindungi senior kita; Abraham Samad yang sudah “dikriminalisasi” tak wajar selama ini”. Berkembanglah diskusi ini pada esok harinya dalam berbagai forum. Mulai dari diskusi- kecil-kecilan yang diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH), Forum Diskusi Pasca Sarjana FH Unhas, hingga melebar di lembaga yang pernah didirikan oleh Abraham Samad: Anti Corruption Commite (ACC).

Saya tegaskan, bahwa kamar lusuh dan hiasan buku-buku tua di tempat saya, adalah forum yang menghargai perbedaan, berusaha untuk terlepas dari segala kepentingan subjektif, maka terlahirkanlah ide cemerlang atas soal imunitas KPK. Berdiri di garda terdepan untuk selalu memperjuangkan pemberantasan korupsi, bukanlah sekedar eforia atau taqlid semata. Kita harus kembali ke prinsip fundamental sebagaimana apa yang disebut asas-asas hukum.

Adakalanya sebagai seorang yuris, sebagai seorang sarjana hukum, bahkan sebagai pengajar yang bergelut dalam segala persoalan ilmu hukum. Lidah kita sudah terlalu fasih dan tak asing untuk mengatakan “all man are equal before the law”. Tetapi pada sesungguhnya, kadang kita sendiri “meledek” prinsip hukum fundamental ini. Bukankah dengan memberi imunitas penuh kepada komisioner KPK sama halnya sebagai perbuatan meruntuhkan dinding “equal” semua orang sama di hadapan hukum? Bukankah pula kekebalan hukum mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar?—impunitas simper ad deteroria invitat. Lalu, mengapa begitu kita sangat “getol” untuk memberi imunitas kepada KPK jika demikian ceritanya?

Sebuah kata untuk mempermaklumkan; sebab KPK tidak lain sebagai anak kandung reformasi yang harus kita pelihara. Dan dari tiga peristiwa “beruntun” dalam setiap eranya, selalu “dikriminalkan”, segala kasus hukum seolah “direkayasa” terhadap komisionernya. Maka dari situlah cikal bakal “proteksi” untuk KPK penting untuk ditiupkan.

Namun sebelum itu, jangan berpikir memberi “imun” untuk KPK secara kebablasan lagi melampaui batas. Hanya perlakuan istimewa (privilege right) yang bisa diberikan kepadanya; tidak mesti kebal hukum. Sebab kebal hukum itu bukanlah imunitas, tetapi impunitas.

Metodenya adalah dengan mulai membagi; kejahatan apa saja yang kemungkinan besar dilakukan oleh komisioner KPK dan kiranya “rentan” untuk direkayasa kasus-kasus hukumnya. Tempus delicti-nya terklasifikasi dalam dua item.

Pertama, kejahatan masa lalu yang mungkin terjadi sebelum komisioner KPK menjabat. Kedua, kejahatan yang kemungkinan terjadi pada waktu komisioner KPK menjabat. Untuk pembagian kejahatan semasa menjabat masih terbagi lagi dalam dua bagian. Yaitu, kejahatan yang terkait dengan jabatannya dan kejahatan yang sama sekali tidak terkait dengan jabatannya.

Sumber Gambar: tempo.co

Sumber Gambar: tempo.co

Sebelum Menjabat

Terdapat beberapa limitasi dan agenda hukum yang harus diperhatikan, jika imunitas diberikan terhadap komisioner KPK untuk kejahatan yang dilakukan sebelum Ia menjabat. Pertama, tidak berlaku untuk kejahatan yang sifatnya serious crime, seperti narkotika, korupsi, dan terorisme. Sebab bagaimana mungkin KPK yang sengaja didirikan untuk memberantas serious crime, lalu cacat masa lalu dalam tipe kejahatan yang sama.

Kedua, pada saat komisioner KPK diseleksi, harus di buka ruang terbuka selebar-lebarnya, seluas-luasnya, ke pada seluruh publik. Transparansi seleksi ini bertujuan untuk membuka ruang kepada seluruh rakyat Indonesia, agar melaporkan segala rekam jejak calon komisioner KPK yang tidak lama lagi akan diberikan imunitas. Dalam bahasa sederhananya, komisioner KPK kelak hanya dapat diproses secara hukum atas kejahatan masa lalunya, jika selesai menjabat. Maka dari itu, gunakanlah waktu lowong ini, untuk melaporkan segala rekam jejak buruknya. Biar namanya bisa dicoret.

Ketiga, penting untuk dipikirkan pula, batas waktu kejahatan bagi anggota komisioner KPK, agar dapat diproses pidana atas kejahatan masa lalunya, dikala hendak dituntut pasca menjabat. Dapatkah diproses secara hukum kalau masa berlakunya sudah daluarsa? Oleh karena itu, masa daluarsa tidak boleh menjadi angka perhitungan di saat menjabat sebagai Komisioner KPK.

Saat Menjabat

Hanyalah yang terkait dengan jabatan komisioner KPK pantas untuk diperlakukan secara istimewa. Sedangkan yang sama sekali tidak ada kaitannya tidak perlu diistimewakan. Adapun makna dari frasa “istimewa” di sini: kalau disaat menjalankan tugas dan kewenangannya terdapat indikasi kejahatan maka perlu diistimewakan. Dengan cara, harus diproses secara etik lebih awal, namun jika berimplikasi pidana barulah dapat diproses secara hukum. Contoh kecilnya, silahkan amati pada kasus pembocoran sprindik dua tahun silam.

Dalam hal yang tidak terkait dengan segala tugas dan kewenangan komisioner KPK. Seperti tiba-tiba saja ia melakukan pembunuhan, penganiayaan, saat melakukan perjalanan dinas. Tak perlulah “diistimewakan” secara hukum. Langsung bisa disidik oleh pihak yang diberi kewenangan berdasarkan Undang-Undang. Mari terus menggelorakan, Save KPK tapi jangan melupakan prinsip kesamaan di depan hukum. *

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...