Daming Sunusi
Di dalam sebuah ruangan kelas program Doktor. Tiba-tiba sang guru besar yang mengajar di ruangan itu bertanya kepada peserta kuliah. “Kira-kira apa yang membedakan antara malam dan siang ?”
Dalam ruangan itu, Mahasiswa A langsung saja angkat tangan. Dan memberi jawaban: kalau siang ditandai dengan terbitnya matahari, kalau malam ditandai dengan tenggelamnya matahari. Namun sang guru besar rupanya belum puas dengan jawaban dari seorang Mahasiswa tadi. Ia masih menanti jawaban dari peserta mata kuliah lainnya.
Lalu, seorang Mahasiswa B juga memberi jawaban: kalau siang kita biasanya mendengar bunyi kokok ayam, kalau malam biasanya kita mendengar suara jangkrik. Sang guru besarpun, seolah sudah puas dengan jawaban dari dua Mahasiswa tadi. Sekiranya mungkin dapat menjadi pembanding dalam materi kuliah yang ingin di sampaikan dalam kuliah tersebut.
Ironisnya, di dalam ruangan kelas, masih ada Mahasiswa hendak juga memberi jawaban. Sambil tersenyum sinis Mahasiswa C menjawab: kalau malam makan nasi, kalau siang minum susu.
Langsung saja seisi ruangan membahana, semua mahasiswa program Doctor yang berasal dari berbagai kalangan, profesi yang berbeda. Ketawa hingga lupa kalau di depannya yang mengajar adalah seorang guru besar. Tapi sang guru besar juga turut tersenyum dengan jawaban Mahasiswa C tadi.
Di benak pikiran sang guru besar, jawaban dari Mahasiswa tadi terkesan “nyeleneh” dan layak dipertanyakan kembali jawabannya. Akhirnya, sang guru besar kembali bertanya pada Mahasiswa C. “Memang siapa yang kalau siang makan nasi, dan kalau malam minum susu ?” Tanya sang guru besar.
Mahsiswa C semakin bersemangat memberi jawaban. “Itu kan syair lagu jika anak saya mau dinina bobokan Profesor.” Dan lagi-lagi semua Mahasiswa dalam ruangan kembali tertawa gara-gara jawaban Mahasiswa C tadi yang sudah jauh dari pertanyaan sang guru besar.
Singkat kata singkat cerita, akhirnya sang guru besar memecah suasana 1tawa ruangan kelas. Kembali suasana ruangan menjadi hening, hanya terdengar suara sang guru besar memberi penjelasan.
Penjelasannya seperti ini: dari semua jawaban tadi, maka dapat disimpulkan bahwa antara siang dan malam terdapat tanda-tanda yang dapat menjadi pembeda satu dengan yang lainnya. Tanda-tandanya ada yang dapat dilihat, ada yang dapat dirasakan, ada yang dapat didengar saja. Sama halnya peristiwa hukum yang ada di dunia ini. Peristiwa hukum yang satu juga memiliki ciri pembeda dengan peristiwa hukum yang lainnya. Demikian pula dengan jabatan akademik yang melekat dalam diri saya sebagai seorang Profesor. Anda semua bisa memanggil saya sebagai Profesor saat berada di kampus ini, tetapi jika saya sudah berada di luar kampus cukup anda memanggil nama saya saja atau menyapa saya dengan panggilan bapak.
Kira-kira statement dari sang guru besar di atas, kalau dianalisis dalam kacamata hukum. Benar adanya, karena Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ditegaskan bahwa guru besar atau Profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi Dosen yang mengajar di lingkungan Pendidikan Tinggi.
Terkait dengan jawaban Mahasiswa C tadi, apakah karena jawaban yang terkesan nyeleneh. Apalagi Mahasiswa C tersebut juga adalah seorang Hakim. Lantas sang guru besar dapat berkata, karena kode etik kehakiman. Berdasarkan jawaban anda, mulai besok anda berhenti jadi Mahasiswa saja. Padahal, pertanyaan dari sang guru besar perihal perbedaan siang malam, adalah pertanyaan yang sangat muda, orang awampun dapat menjawabnya.
Maka dari cerita di atas, yang patut ditelaah terkait dengan rekomendasi Komis Yudisial (KY) atas pelanggaran Daming Sunusi pada saat mengikuti fit and proper tes di Komisi III DPR RI kemarin. Apakah hakim itu sebuah jabatan atau identitas ?
Identik dengan penjelasan dari sang guru besar dalam cerita di atas. Menyoal rekomendasi KY terhadap kode etik hakim yang merugikan Daming Sunusi. Mari kita menelaah peristiwa hukum yang dikatakan terdapat tanda-tanda atau ciri yang membedakan dengan peristiwa hukum lainnya.
Pertama: dalam perekrutan Hakim Agung, Komisi Yudisial dapat merekrut dari berbagai kalangan praktisi hukum seperti akademisi, hakim, dan advokat. Oleh karena itu jabatan Daming Sunusi sebagai Hakim Pengadilan Tinggi (PT) bukanlah sebagai jabatan prioritas karena Hakim Pengadilan negeripun dapat mendaftar dalam perekrutan Hakim Agung. Dalam kondisi yang demikian ketika Daming Sunusi mengikuti fit and proper test, sebagai Hakim PT memiliki kedudukan yang sama dengan peserta lainnya. Artinya pada saat itu Daming Sunusi sebagai peserta ujian dari tes pemilihan Hakim Agung. Sehingga rekomendasi KY akibat desakan media massa yang dibolow up kemana-mana, KY telah bertindak gegabah. Karena tidak ada prasyarat bahwa bagi Hakim Pengadilan Tinggi saat mengikuti perekrutan terikat dengan kode etik kehakiman. Tidak ada perlakuan yang istimewa bagi hakim PT sebagai peserta ujian dalam perekrutan Hakim Agung dibandingkan dengan peserta lainnya yang berasal, misalnya dari kalangan Hakim Pengadilan Negeri.
Kedua: kalau kita juga merujuk pada tanda-tanda pembeda gelar Profesor dalam cerita di atas. Maka kapan kira-kira seorang dapat disebut sebagai hakim. Tentunya dapat dilihat pada Pasal 19 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Sedangkan defenisi kekuasan kehakiman lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan: kekuasaan kehakiman adalah kekuasan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Unsur kekuasan kehakiman dari Pasal 19 tersebut sudah jelas bahwa seorang dapat dikatakan sebagai hakim manakalah ia melaksanakan kekuasaan kehakiman. Dengan demikian saat Daming Sunusi mengikuti fit and proper test itu berada di luar kekuasaan kehakiman. Daming Sunusi berada dalam kepentingan pribadi untuk mengikuti seleksi Hakim Agung.
Dari dua tanda pembeda di atas. Sudah sangat jelas bagi kita semua bahwa Daming Sunusi tidak dapat disangkutpautkan kepentingan pribadinya untuk melamar sebuah jabatan Hakim Agung. Kecuali hal itu terjadi dalam ruang pengadilan menangani kasus pemerkosaan. Baik itu kasus pemerkosaan anak oleh ayah kandungnya ataupun kasus pemerkosaan hingga menyebabkan matinya korban, maka Daming Sunusi memang harus tunduk pada kode etik kehakiman.
Jadi sangat tidak adil, bahkan janggal karena desakan LSM, ruang sosial maupun dunia maya lalu akhirnya KY gegabah memberi rekomendasi kepada DPR RI bahwa Daming Sunusi melanggar kode etik. Dan akhirnya Daming Sunusipun pupus mimpinya menjadi Hakim Agung. Boleh saja Daming Sunusi dapat menguji rekomendasi Komisi Yudisial itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena telah merugikan kepentingan hukum pribadinya.***