Prorogasi Sebagai Upaya Mewujudkan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Concept prorogasi in creating a simple and speedy justice is to give authority to the High Court as a court of first and last (only to put forth the effort Judicial decision) to handle civil cases prorogasi way. As well as absolute (imperative) for the defendant to follow the will of the plaintiffs who want to directly resolve the claim (disputes) prorogasi way. Legal factors affecting prorogasi concept in its application due to, among other things: conditions governing the issue prorogasi in Article 324 s / d is the provision of Article 326 BRV long, by some jurists did not recognize it anymore. Then prorogasi other provisions are still in the draft Civil Procedure, but the design of the Civil Procedure Code until now has not been ratified. While factors such nonhukum law enforcement resources from the judge who is experienced, the response of the judicial institutions that are ready to apply the concept prorogasi, and willing community to get speedy justice is beginning to implement the judicial capital is fast, simple, and low cost (Abstract).
Pendahuluan
Banyaknya perkara yang masuk ke Mahkamah Agung (MA) dengan penyelesaian perkara kasasi sebanyak 8.500 kasus setiap tahun, sedangkan penerimaan perkara dalam jumlah yang hampir sama atau lebih besar dapat diperkirakan bahwa penumpukan perkara di Mahkamah Agung tidak dapat diselesaikan. Pada tahun 2010, MA dibebani perkara 13.480 perkara baru, jumlah perkara baru tersebut belum termasuk pekara pada tahun 2009 yang belum terselesaikan yang jumlahnya mencapai sekitar 8000-an.
Sebuah perkara yang pernah ditangani di Pengadilan Negeri Pare-Pare menunjukan MA tidak mampu menyelesaikan perkara tersebut dalam waktu yang cepat. Mulai dari PN, PT dan MA sebagai penyelesaian perkara yang masing menganut sistem berjenjang pada akhirnya perkara perdata tersebut, untuk mendapatkan salinan putusan pengadilan ternyata menghabiskan waktu, tenaga, dan finansial yang tidak sedikit.
Kronologi kasus tersebut yaitu, perkara sebidang tanah diajukan oleh AOM sebagai Penggugat dan IK sebagai tergugat I, SA sebagai tergugat II dan BPN sebagai Turut Tergugat. Perkara tersebut yang diregister di Pengadilan Negeri Parepare pada tahun 1998 (Nomor 06/ Pdt/ 1998/ PN Pare-Pare) kemudian diajukan banding di PT Ujung Pandang (Nomor 427/ Pdt/ 1998/ PT UJ PDG) yang salinan putusannya diterima pada tahun 2000 atas kasasi pada tahun 2000 (Nomor 2032 K/ PDT/ 2000/ MA).
Perkara tersebut pada akhirnya dimenangkan ditingkat kasasi oleh Penggugat (AOM) yang salinanan putusannya sampai di tangan Penggugat nanti pada 7 Agustus 2012, itupun tergugatnya sudah meninggal, hingga diterima oleh ahli warisnya (AW). Hal ini menunjukan pengadilan lambat memberikan kepastian, ketika perkara tersebut sudah diputus pada tahun 2009, hingga tiga tahun putusan tersebut mengendap di MA.
Kalau dikembalikan fungsi negara dalam hubungan dengan warganya, negara harus memberi dan menjamin perlindungan terhadap hak-hak warganya. Namun dalam konteks hak masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum dari lembaga negara (pengadilan), justeru diabaikan hak-hak bagi warga negara itu, sebagai pencari keadilan.
Hasil perubahan terakhir Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman sebenarnya sudah mengakomodasi hak pencari keadilan untuk mendapatkan kepastian hukum yang cepat. Melalui UU Nomor 48 Tahun 2009 sudah ditegaskan asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Namun dalam kenyataannya, praktik di lapangan kinerja hakim disemua jenjang pengadilan tidak mampu melaksanakan asas tersebut. Masih banyak perkara di PN, PT, hingga MA waktu penyelesaian perkaranya melewati dari batas-batas yang telah ditentukan.
Beberapa faktor yang menyebabkan sehingga perkara diselesaikan dalam waktu yang lama, ada yang berasal dari regulasi yang masih lemah kaena bagi hakim yang melewati batas untuk menyidangkan perkara hanya diwajibkan menyampaikan laporan ke Pengadilan di atasnya kalau perkara yang sedang ditanganinya melwati batas penyelesaian perkaranya, termasuk karakter hakimnya sendiri, sampai pada Panitera pengadilan yang melakukan pencatatan dan yang ditugaskan untuk mencatat ulang putusan dalam ketikan yang rapih, sehingga masa pengajuan banding di PT mesti menunggu salinan putusan di PN terlebih dahulu.
Untuk mengatasi tidak efektifanya implementasi asas peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan telah lahir berbagai ketentuan penyelesaian perkara yang tidak menjadikan pengadilan sebagai satu-satunya lembaga yang dapat menyelesaikan perkara di bidang perdata, misalnya penyelesaian perkara perdata melalui jaur nonlitigasi sebagaimana yang digariskan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang ADR dan Arbitrase. Bahkan dalam penyeleaian perkara perdata di pengadilan selanjutnya sudah diwajibkan melalui tahap mediasi terlebih dahulu, sebelum tergugat mengajukan jawaban atas gugatan terhadap dirinya. Mediasi di dalam pengadilan dapat dilaksankan oleh Hakim pengadilan. Juga bagi pihak yang berperkara sendiri dapat mengambil mediator dari pihak luar yang sudah berlisensi sebagai mediator di pengadilan.
Selain terobosan melalui jalur mediasi agar perkara perdata tidak menggunkan waktu yang lama di pengadilan, masih ada terobosan yang lain pernah dijalankan, yaitu pembatasan perkara untuk dapat diajukan banding di PT, dengan membatasi hanya pada objek perkara yang nilainya di atas Rp 100 ke atas. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan banding menegaskan “syarat untuk dapat dimintakan banding bagi perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri adalah apabila nilai gugatan perkara yang telah diputus itu lebih dari Rp. 100 (seratus rupiah).” Tampaknya pembatasan nilai objek perkara tersebut dalam situasi sekarang tidak tepat lagi digunakan karena semua perkara yang masuk di pengadilan sudah pasti melewati batas niai objek perkara yang telah ditentukan dalam UU No. 20 Tahun 1947
Dua terobosan yang sudah dan pernah dipraktikan sebagaimana di atas, sebenarnya masih ada metode yang dapat diterapkan saat ini, cuma saja penyelesaian perkara dengan cara prorogasi tidak pernah lagi diterapkan, karena dulunya hanya berlaku untuk golongan Eropah, sementara untuk gologan pribumi tidak dapat diberlakukan. Praktik penyelesaian perkara dengan cara prorogasi dilaksanakan langsung melalui Pengadilan Tinggi (PN), tanpa melalui Pengadilan Negeri (PT), sehingga metode penyelesaian perkara dengan cara prorogasi sering dikatakan sebagai pengadilan lompatan langsung pada PT. Praktik prorogasi ini pertama kali diungkapkan oleh Subekti (1984) sebagai salah cara menyelesaikan perkara dengan cara langsung melompat ke PT.
Atas pembagian daya keberlakuan praktik prorogasi yang hanya berlaku untuk golongan Eropah di zaman kolonial menyebabkan tidak pernah diterapkan dalam praktik hukum acara perdata sekarang. Apalagi ketentuan yang mengatur penyelesaian perkara dengan cara prorogasi diatur dalam ketentuan BRV (Reglement op de Rechtsvorderin) yang tidak diakui lagi sebagai sumber hukum acara perdata. Padahal jika dilihat berdasarkan sifatnya, prorogasi dapat digunakan untuk menerapkan penyelesaian perkara secara cepat, sederhana dan berbiaya ringan.
Mekanisme prorogasi dilihat dari praktiknya dapat menyelesaikan perkara dengan menerapakan asas peradilan cepat, maka dalam konteks sekarang penting untuk difungsikan cara penyelesaian perkara dengan mekanisme prorogasi, dengan memperbaiki beberapa ketentuan mekanisme acaranya serta kesiapan para pencari keadilan dan lembaga yang akan menjalankannya. Oleh karena itu tujuan dari pengkajian prorogasi adalah untuk mengetahui konsep konsep prorogasi dalam mewujudkan peradilan sederhana dan cepat, dan untuk mengetahui faktor-faktor hukum dan nonhukum yang mempengaruhi pelaksanaan prorogasi dalam mewujudkan peradilan sederhana dan cepat.
Hasil Penelitian
Kehadiran prorogasi merupakan salah satu lembaga judicial yang dihadirkan untuk menyelesaikan kepentingan para pihak, hubungan hukum atau konflik kepentingan hak antara individu. Sebagaimana Peter Mahmud Marzuki (2009) mengemukakan “ciri khas dari hukum perdata adalah menyangkut kepentingan individu. Lembaga peradilan umum diberiksan salah satu tugasnya mengadili konflik kepentingan dibidang hukum perdata atau privat.”
Meskipun dalan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman sudah empat kali mengalami revisi, konsisten mencantumkan penyelesaian perkara di pengadilan harus bersandar pada asas peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Namun dalam kenyataannya di semua jenjang pengadilan belum dapat sepenuhnya berjalan asas hukum tersebut. Oleh karena itu sebagai salah satu terobosan hukum menjembatani berlakunya asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan dengan memfungsikan kembali mekanisme prorogasi dalam penyelesaian perkara perdata.
Dalam rangka memenuhi hak para pencari keadilan yang sedang berperkara di pengadilan tidak salah untuk menerapkan konsep pembaharuan hukum untuk mencapai tujuan tertinggi hukum itu sendiri yakni pada sisi keadilannya. Terobosan hukum yang dapat digunakan salah satunya yakni dengan menggunkan paradigma hukum progresif seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo.
Menururt Sadtjipto Rahardjo (2007a) mengemukakan “penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum.”
Sejalan Nonet-Zelznik (1978) menamakan terobosan hukum untuk kepentingan masyarakat yang hendak menggunkan aturan diistilahkan sebagai hukum responsif. Tegasnya Nonet-Zelznik mengemukakan “dalam tipe tatanan hukum responsif, hukum dipandang sebagai fasilitator respon atau sarana tanggapan terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial.”
Pandangan ini mengimplikasikan pada dua hal sebagaimana dikemukakan oleh Bernard Arief Sidharta (2008) yakni Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan dan rasional. Kedua, tujuan menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang berjalan.” Dalam tipe ini, aspek ekspresif dari hukum lebih mengemuka ketimbang dua tipe lainnya dan keadilan substantif juga dipentingkan disamping keadilan prosedural.
Dasar kajian hukum progresif atau hukum responsif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan hukum progresif mengajak untuk memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh karena itu, hukum progresif menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku hukum di dalam masyarakat.
Perilaku hukum manusia (behavior of law) yang dimkasud oleh Satjipto Rahardjo terkait dengan penyelesaian perkara perdata dengan menggunakan mekanisme prorogasi sebangun dengan konsepsi hukum sebagaimana keinginan masyarakat yang akan menggunakan hukum sehingga dirasa bermanfaat terapan hukum tersebut. Dengan menggunakan prorogasi berarti menyesuaikan keinginan masyarakat sebagai pencari keadilan agar perkaranya yang diajukan di pengadilan, dapat diperoleh putusannya dengan cepat, serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan haknya tidak menggunakan biaya yang mahal.
Penggunaan peradilan dengan menggunakan mekanisme prorogasi pertama kali dikemukakan oleh Subekti (1989):
“Suatu keputusan lagi yang mungkin dapat menyingkatkan waktu tercapainya putusan pengadilan yang berkekuatan mutlak, adalah yang dinamakan prorogasi yang adalah suatu persetujuan yang dicapai antara kedua pihak yang berperkara di muka pengadilan banding, yang dalam hal ini akan bertindak selaku hakim tingkat pertama seolah-olah mereka itu meloncat dengan melampaui satu tingkatan. Dalam hukum acara di muka pengadilan negeri yang sekarang terdapat dalam HIR, lembaga prorogasi tersebut tidak dikenal tetapi lembaga itu, kita dapatkan dalam RV (titel V, Pasal 424 sampai dengan Pasal 426). Dalam hal adanya prorogasi itu, Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkaranya memutus dalam tingkat pertama dan penghabisan. Tingkat penghabisan di sini artinya sekedar mengenai pemeriksaan tentang fakta-fakta, sehingga masih ada kemungkinan untuk mengajukan permohonan kasasi.”
Konsep prorogasi yang dikemukakan oleh Subekti sudah ditegaskan dalam ketentuan BRV pada Pasal 324 sampai dengan Pasal 326. Pasal 324 BRV menegaskan “dalam hal perkara yang mungkin banding kepada raad van justitie atau H.G.H, maka para pihak bebas bersepakat dengan suatu akta untuk memohon agar perkara mereka sejak semula langsung diperiksa oleh badan peradilan yang seharusnya akan mengadili perkara itu dalam tingkat banding. (ISR. 136; RO. 127, 163 dst; KUHPerd 1851A dst; Rv. 133, 351, 354, 615, 63).
Selanjutnya dalam Pasal 326 BRV ditegaskan lagi “Bagi raad van justitie dan H.G.H. dalam proses perkara‑perkara ini berlaku aturan‑aturan tentang pemeriksaan perkara dalam tingkat pertama. Badan peradilan yang memeriksa karena prorogasi memutus perkara yang bersangkutan dalam tingkat pertama dan terakhir dengan tidak mengurangi peninjauan kembali, dan bagi raad van justitie juga dengan tidak mengurangi kasasi bila untuk satu dan lain ada dasar hukumnya. (Rv. 385 dstt., 402 dst.)
Berdasarkan ketentuan tentang prorogasi tersebut yang diatur dalam ketentuan BRV, harus ada kesepakatan para pihak, baru mereka yang ingin menyelesaikan perkaranya dengan cara langsung melompat ke pengadilan Tinggi atau apa yang disebut prorogasi, hanya dapat terlaksana jika para pihak baik penggugat mapun tergugat sepakat untuk langsung berperkara di pengadilan Tinggi.
Dalam telaah secara psikologi bagi pihak tergugat yang digugat objek miik tidak selamanya mau sepakat dan mengikuti kehendak pihak penggugat, karena pihak tergugat disatu sisi untung baginya untuk menikmati objek milik yang digugat jika tetap mengikuti model pengadilan berjenjang. Oleh karena itu ketentuan Pasal 324 BRV tetap tidak dapat dilaksanakan peradilan dengan mekanisme prorogasi kalau harus menunggu kesepakatan dari tergugat.
Kemudian pada Pasal 326 juga masih dibuka celah, agar perkara yang diselesaikan dengan mekanisme prorogasi masih dapat dikasasi. Berarti jika dikembalikan pada penggunaan asas peradilan yang harus dilaksanakan dengan cepat sudah menyalahi asas tersebut.
Selain ketentuan tersebut tidak dapat mengefektifkan asas peradilan cepat dari segi penerapan pasalnya, jika diterapkan konsep prorogasi sebagimana yang ditegaskan dalam BRV, sebagian pakar hukum di bidang hukum perdata tidak mengakuinya lagi, sehingga dalam praktik peradilanpun tidak pernah diterapkan lagi. Di Pengadilan Negeri Makassar dan Pengadilan Tinggi Sulselbar tidak ada data putusan yang pernah diajukan oleh salah satu pencari keadilan menyelesaikan perkaranya dengan mekanisme prorogasi. Termasuk sudah diaturnya prorogasi dalam RUU Hukum Acara Perdata namun karena RUU tersebut hingga sekarang belum juga disahkan, maka tidak ada sifat hukum yang imperaif dapat dijadikan pedoman bagi para penegak hukum dan pencari keadilan untuk menggunakain penyeleaian perkara dengan menggunakan mekanisme prorogasi.
Prorogasi sebagai salah satu metode penyelesaian perkara dengan mengimplementasikan asas peradilan cepat dari segi manfaatnya rata-rata ditanggapi positif oleh para hakim, pengacara, dan pencari keadilan.
Dari responden yang telah ditentukan sebanyak 30 orang yang dipilih dari kalangan Hakim, Panitera, dan Pengacara dominan mengungkapan kesepakatannya, jika konsep prorogasi diterapkan saat ini dan diberikan kewenangan untuk mengadili perkara prorogasi kepada Pengadilan Tinggi. Responden yang menjawab setuju untuk menerapkan konsep prorogasi sebanyak 26 orang (87 %), selebihnya sebanyak 4 orang (13 %) menyatakan tidak setuju jika konsep prorogasi ingin diterapkan di Pengadilan Tinggi saat ini.
Responden dari kalangan Hakim yang sepakat untuk menerapkan konsep prorogasi mengemukakan, “konsep prorogasi saat ini adalah metode untuk mengefesienkan perkara, yang kian hari saat ini hampir melalui semua tingkatan peradilan, akhirnya di MA banyak kasus yang menumpuk gara-gara pembatasan perkara tidak pernah dipikirkan, dalam pengajuan upaya hukumnya.”
Hal ini dibenarkan oleh oleh ZA sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Sulselbar
“Menerapkan konsep prorogasi pada pengadilan Tinggi merupakan terobosan baru, yang tidak hanya menguntungkan bagi pencari keadilan untuk cepat mengetahui hasil perkaranya. Tetapi juga menghidupkan pekerjaan hakim pengadilan tinggi saat ini, yang terkesan pekerjaannya kurang sibuk menangani perkara. Oleh karena hanya memberi penilaian terhadap perkara banding yang sudah demikian lengkap berkas acara bandingnya.”
Manfaat lain yang dapat dperoleh dengan diterapkannya penyelesaian perkara perdata dengan menggunakan mekanisme prorogasi, dapat mengurangi terjadinya “kriminalisasi” kasus-kasus perdata seperti dalam kasus utang piutang. Seorang yang berutang karena tidak mampu membayar hutangnya setelah jatuh tempo, maka oleh seorang pengacara melaporkan perkara tersebut sebagai penipuan, padahal bukan tindak pidana penipuan, karena ketidakmampuan seorang yang berhutang untuk membayar setelah jatuh tempo merupakan hubungan keperdataan, yakni para pihak ingkar janji, tidak memenuhi apa yang telah diperjanjikan sebelumnya (wanprestasi).
Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap salah satu responden dari kalangan pengacara yang berkerja di PBHI menyatakan:
“Tujuan dari pada pelaporan ke kepolisian bagi yang berutang selalu ditempuh PBHI karena perkara yang nilai utang piutangnya misalnya Rp. 20 Juta terlalu banyak menelan biaya kalau mau diajukan melalui gugatan perdata. Supaya ada terapi atau efek psikologis agar pihak yang berutang hendak membayar utangnya. Padahal oleh pihak PBHI juga tahu kalau kasus utang piutang bukan dalam ranah delik penipuan. Disaat yang sama kondisi dilematis PBHI juga sering mendampingi kasus dari seorang berutang, yang sedang diperiksa oleh kepolisian karena delik penipuan. Lalu pihak PBHI melakukan pembelaan dengan alasan perkara tersebut adalah murni wanprestasi. Dengan adanya peradilan prorogasi inilah dapat mencegah proses kriminalisi yang terjadi baik ditubuh kepolisian maupun di lembaga PBHI.”
Dari kalangan Hakim, pengacara berdasarkan hasil wawancara dan jumlah responden yang setuju dengan penggunaan mekanisme prorogasi tidak berbanding lurus dengan pengetahuan masyarakat tentang prorogasi. Hal tersebut disebabkan, tidak pernah memang jalur prorogasi diperkenalkan kepada masyarakat, karena mekanisme prorogasi hanya diatur dalam ketentuan BRV, oleh sebagian yuris dan hakim di pengadilan tidak berani menggunakan cara penyelesaian perkara dengan mekanisme prorogasi, disebabkan asas dalam hukum acara perdata hakim bersifat menunggu (pasif), seorang hakim akan mengadili perkara berdasarkan apa yang diminta oleh penggugat dan tergugat saja. Sehingga mustahil bagi hakim untuk memaksakan penggunaan prorogasi pada setiap perkara perdata.
Dari 30 orang responden yang diambil dari kalangan penggugat dan tergugat baik di PN maupun PT Sulselbar hasil penelitian menunjukan responden semua tidak tahu (30 orang), kalau ada konsep prorogasi yang dapat digunakan untuk mempercepat perkara diputus oleh pengadilan, dengan cara langsung diadili oleh Pengadilan Tinggi. Namun jika diajukan pertanyaan, apakah perkara yang sedang diajukan sekarang kalau tidak menang di Pengadilan Negeri, anda akan mengajukan banding? Rata-rata responden menjawab akan melakukan banding, kemudian diajukan lagi pertanyaan, kenapa tidak langsung saja mengajukan gugatan ke PT, supaya putusan itu dapat dipercepat oleh PT? Responden kemudian memberi jawaban bahwa yang lebih berperan dalam pengajuan gugatan adalah kuasa hukum mereka, seandainya kuasa hukum mengajukan prosedur yang demikian juga akan diikuti. Selanjutnya, pada saat ditanya apakah anda mau peradilan menyelesaikan kasus anda dengan cepat? Rata-rata responden ingin perkaranya cepat diputus oleh peradilan.
Berdasarkan jawaban responden tersebut menunjukan, meskipun mereka tidak tahu kalau ada mekanisme prorogasi untuk peradilan dalam penyelesaian kasus-kasus perdata, namun kalau mekanisme prorogasi diterapkan sebagai langka untuk mempercepat penanganan perkara-perkara perdata di pengadilan, para penggugat dan tergugat pasti mau menggunakan mekanisme peradilan dengan cara prorogasi. Hal tersebut harus didukung oleh para pengacara untuk memperkenalkan konsep prorogasi kepada kliennya, kalau metode prorogasi ini mau diterapkan dan berjalan secara efektif.
Pembahasan
Sebagai langkah awal untuk mengefektifkan berlakunya prorogasi yang dapat mengimplementasikan peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan, sekaligus memenuhi kehendak, hak dan kepentingan para pencari keadilan dalam menggunakan pengadilan untuk mendapatkan hak-haknya, juga dalam mengapliksaikan pemikiran hukum progresif terhadap lembaga peradilan. Pengauran masalah prorogasi dalam ketentuan BRV perlu diperbaiki agar dapat memenuhi asas peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiatya ringan.
Langkah tersebut dilakukan dengan memberikan kewenangan tambahan ke pada Pengadilan tinggi sebagai lembaga yang dapat menyelesaikan perkara dengan menggunakan mekanisme prorogasi. Tentunya dengan perubahan beberapa pasal tentang tugas dan kewenangan Pengadilan Tinggi dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena ketentuan prorogasi sudah diatur dalam RUU Hukum Acara Perdata, mestinya kewenagan tersebut ditegaskan dalam RUU Hukum Acara Perdata sebelum disahkan.
Pengadilan Tinggi sebagai satu-satunya lembaga yang mengadili perkara dengan menggunakan mekanisme prorogasi, sebagai metode yang baru digunakan, untuk pertama-tama penyelesaian perkaranya dsielesaikan hanya pada perkara yang mengandung sengketa hak atau yang disebut sebagai gugatan. Tidak untuk perkara yang termasuk dalam permohonan, oleh karena tidak mungkin juga kasus yang termasuk dalam permohonan akan menggunakan waktu yang lama, tidak ada pihak lawan yang menyebabkan para pihak harus sanggah mneyangga di Pengadilan.
Sengketa hak tersebut dapat diklasifikasi pada kasus sederhana diantaranya sengketa hak milik (tanah), gugatan ganti rugi, perbuatan melawan hukum, sengketa yang muncul dari jenis perikatan (jual beli, sewa-menyewa, utang piutang, tukar menukar), wanprestasi dan lain-lain.
Sebagai langkah awal, konsep prorogasi diterapkan untuk perkara perdata yang sedrhana saja dulu, tetapi untuk perkara dibidang HAKI, Niaga, Konsumen, tetap diberikan kewenangan tersebut ke Pengadilan Negeri, oleh karena hampir semua pengadilan khusus yang dibentuk dari perkara tersebut, pengadilan khususnya dibawah nauangan Pengadilan Negeri, kecuali hal itu, ke depan dirasakan PT sudah mampu menyesuaikan diri sebagai peradilan yang menerapkan konsep prorogasi, maka dapat dipikirkan ulang juga untuk perkara perdata di bidang ekonomi, maka perkara tersebut sudah dapat langsung melompat penanganannya ke PT.
Untuk perkara perdata biasa itu, agar tidak terjadi penumpukan perkara dilakukan limitasi objek perkara, dengan pembatasan minimal objek parkara yang nilainya satu milyar saja ke atas, dengan alasan alasan pembatasan dalam jumlah Rp. 1 Milyar tersebut, karena berpedoman pada dasar filsufis hukum, jangan sampai perkara yang nilainya dalam taksiran tersebut jika menempuh peradilan dalam tiga tingkatan, nilai objek gugatan sudah habis semua untuk digunakan dalam membayar jasa pengacara saja dalam beracara di pengadilan
Selanjutnya, agar asas peradilan cepat dapat dilakukan melalui mekanisme prorogasi, ketentuan yang diatur dalam Pasal 327 BRV yang hanya dapat terlaksana jika para pihak telah sepakat. Ketentuan tersebut perlu dibah dengan mewajibkan bagi phak tergugat untuk tunduk pada mekanisme prorogasi tanpa menunggu kesepakatannya. Jadi begitu si penggugat sudah mengajukan di PT gugatannnya dengan tunduk pada mekanisem prorogasi berlaku imperatif (memaksa) bagi pihak tergugat untuk mengajukan jawaban terhadap hak-haknya yang digugat.
Dengan demikian ketika si tergugat diwajibkan untuk mengajukan jawaban pada saat si penggugat telah mengajukan gugatan melalui mekanisme prorogasi, maka waktu, fase dan biaya untuk bersidang ketika si tergugat sudah merasa wajib untuk memberi jawaban atas perkaranya yang digugat di PT, konsep prorogasi dapat tercapai, tanpa lagi ada keinginan si tergugat sengaja memperlambat perkara. Kalaupun dalam pemeriksaan di PT terhadap salah satu pihak itu tidak hadir maka yang berlaku adalah sama dengan ketentuan hukum acara biasa, bisa terjadi putusan jatuh, tanpa kehadiran tergugat (verstek), dapat terjadi upaya perlawanan (voeging, vrijswaring, tusenkomst), demikian halnya juga dapat diajukan sita conservatoir beslaag.
Dengan berlakunya ketentuan yang harus diikuti oleh pihak tergugat jika pihak penggugat sudah mengajukan gugatan dan memakai mekanisme prorogasi, Pengadilan Tinggi sebagai satu-satunya lembaga yang menyelesaikan perkara tersebut, PT dijadikan sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk menyelesaikan perkara yang telah menggunakan meknisme prorogasi.
Para pihak yang salah satunya jika kalah tidak dapat lagi mengajukan upaya kasasi ke MA. Jika ini yang diterapkan berarti asas peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan sudah pasti akan terimplementasikan, karena tidak lagi melalui tiga jenjang peradilan dari PN, PT, hingga MA.
Hanya saja permasalahan yang harus diantisipasi karena mekanisme prorogasi diselenggarakan oleh PT, padahal PT bertempat di Ibukota Provinsi, berarti ide awal yang pada dasarnya agar peradilan dapat berbiaya ringan, malah akan menggunakan anggaran yang banyak jika para pihak yang bertempat tinggal di pelosok desa misalnya harus datang ke ibu kota provinsi. Oleh karena itu jalan keluar yang mesti ditempuh agar perkara dengan mekanisme prorogasi tetap dapat digunakan, dengan tetap mengakomodasi pemberian fungsi peradilan prorogasi kepada PT, tanpa pembentukan lagi lembaga PT di setiap kabupaten. Efektifnya persidangan dapat dilaksanakan di Pengadilan Negeri, tetapi registrasi perkaranya tetap atas nama PT.
Pengadilan Negeri dalam posisi tersebut diberikan tugas menerima perkara kemudian diteruskan langsung ke PT, nanti kemudian pemeriksaan perkaranya tetap melibatkan hakim-hakim yang berasal dari PT, agar hakim-hakim yang ada di Pengadilan Tinggi tidak kekurangan job, yang hanya menilai putusan yang pernah di putus di Pengadilan Negeri.
Dengan Memberikan pekerjaan baru bagi hakim Pengadilan Tinggi, bukanlah masalah baru, tetapi koordinasilah yang paling penting antara setiap tingkatan pengadilan, selain hakim PT yang bekerja langsung menangani perkara perdata biasa dalam mengefektifkan waktu berperkara di pengadilan, keuntungan lainya dengan difungsikannya hakim Pengadilan Tinggi, dapat mengurangi beban kerja bagi hakim PN harus menyidangkan banyak perkara perdata khusus dan perkara pidana lainnya. Minimal dengan difungsikannya hakim Pengadilan Tinggi melalui konsep prorogasi, dapat mengurangi kelebihan kasus yang banyak ditangani oleh Hakim PN.
Terakhir yang harus diintegrasikan dalam ketentuan prorogasi jika RUU Hukum Acara Perdata disahkan nantinya, meskipun PT sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir, tetap masih terbuka upaya hukum peninjaun kembali bagi pihak yang kalah tetapi merasa putusan tersebut janggal karena ada bukti baru (novum) yang ditemukan oleh salah satu pihak, maka yang harus berperan sebagai lembaga yang akan menangani perkara yang telah melalui prorogasi yatu MA. Kewenangan ini diberikan kepada MA dengan alasan, untuk menghindari terjadinya sikap melindungi para rekan sejawat dalam satu lembaga peradilan. Kenetralan atau transpransi pengadilan hanya dapat terpenuhi, jika seorang hakim berbeda tempat kerja.
Upaya hukum terhadap putusan yang diperiksa secara prorogasi, PK nya diperiksa oleh MA, karena suasana yang muncul dalam satu lembaga biasanya ada kehendak ingin melindungi masing-masing kesalahan rekan kerja, sehingga logis jika upaya peninjauan kembali tersebut diperiksa oleh Hakim yang bekerja di Mahkamah Agung saja.
Berdasarkan telaah konsep prorogasi di atas, dikaitkan dengan fakta di lapangan dengan aturan tentang prorogasi dalam RV sebagai satu-satunya ketentuan yang masih mengakui keberlaku prorogasi. Namun dalam praktiknya prorogasi tidak pernah lagi diterapkan dalam pengadilan. Berarti RUU Hukum Acara Perdata setelah diperbaiki dengan mengikuti konsep prorogasi yang sejalan dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan, secepatnya disahkan dan dilembagakan, karena tidak mungkin melaksanakan penyeelsaian perkara perdata dengan mekanisme prorogasi, kalau ketentuan dan prosedurnya belum diatur secara jelas hingga sekarang.
Respon masyarakat, hakim dan pengacara yang menginginkan agar mendapatkan putusan pengadilan yang tidak menyita waktu yang lama, sebagai pemenuhan hak serta kepentingan para pencari keadilan dapat berjalan jika sumber daya penegak hukumnya yakni hakim yang akan mengadili perkara yang menggunakan mekanisme prorogasi juga mendukung. Oleh sebab itu perlu penambahan jumlah hakim di Pnegadilan Tinggi agar hakim yang akan menangani perkara tersebut seimbang kasus yang hendak ditangani dengan kemampuannya.
Kesimpulan dan Saran
Konsep prorogasi dalam mewujudkan peradilan sederhana dan cepat dapat dilakukan melalui penambahan kewenangan bagi Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk menangani perkara perdata dengan cara prorogasi, tetapi perkara yang ditangani hanya perkara yang mengandung sengketa hak (gugatan), yang bersifat mutlak (imperatif) bagi pihak tergugat agar mengikuti mekanisme peradilan prorogasi. Kemudian bagi pihak yang kalah di PT atas perakara dengan mekanisme prorogasi tersebut, hanya dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
Dari segi faktor nonhukum yang terdiri atas sumber daya manusia, respon lembaga judicial dan pengetahuan masyarakat terhadap penyelesaian perkara dengan mekanisme prorogasi rata-rata menginginkan hadirnya lembaga penyelesaian dengan model demikian, walaupun ketentuannya belum menghendaki diterapkan oleh karena ktentuan BRV oleh sebagaian ahli di bidang hukum acara perdata tidak mengakuinya, maka sebagai langkah terobosoan hukum yang progresif dan responsif setelah melakukan perbaikan terhadap beberapa ketentuan prorogasi dalam RUU Hukum Acara perdata dalam konteks sekarang, mestinya RUU tersebut segera disahkan. Di samping itu, perlunya penamnahan jumlah hakim di Pengadilan Tinggi agar perkara yang ditangani oleh para hakim seimbang dengan kemampauannya.
Daftar Pustaka
Herziene Indonesische Reglement (H. I. R). stbld. No. 16 jo 57 Tahun 1848.
Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.
Putusan Nomor 06/ Pdt/ 1998/ PN Pare-pare
Putusan Nomor 427/ Pdt/ 1998/ PT UJ PDG
Putusan Nomor 2032 K/ PDT/ 2000/ MA
Rahardjo, 2007a, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
____________, 2007b, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvorderin/B.Rv.), S.1847 No‑52 Jo. 1849 No. 63.
Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg.). stbld. No. 227 Tahun 1927.
Sidharta, 2009, Refleksi Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.
Subekti, 1987, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung.
______, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 atas perubahan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang ADR dan Arbitrase
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Banding
Zelznik, 1978, Law And Society In Transition, Phillippe Nonet And Philip Selznik, Harper & Row, New York.
Penelitian ini dikerjakan oleh Ahmad Tawakkal Paturusi, S.H., M.H. dan Damang, S.H.